Menuju konten utama

Soal Aturan Keagamaan, Mahfud MD: Tak Boleh Ada Seperti Itu

Mahfud menyebut tidak boleh ada aturan semacam perda syariah yang mengatur soal naik haji dan membayar zakat mal.

Soal Aturan Keagamaan, Mahfud MD: Tak Boleh Ada Seperti Itu
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD berbicara dalam Kuliah Umum Kebangsaan bertema Generasi Z-Alpha, Generasi Pancasila, di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Senin (8/10/2018). ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Ahli Hukum Tata Negara Mahfud MD menyebut, secara ideologis-kenegaraan, aturan keagamaan yang terlalu pribadi, misalnya mengatur soal haji dan zakat mal tak boleh ada. Hal itu ia ungkapkan melalui akun Twitter resminya @mohmahfudmd pada Senin (19/11/2018).

"Saya pernah semobil dengan seorang mantan bupati yang mempelopori Perda Syariah. Orangnya sangat baik. Dia bercerita, di masanya yang mau jadi pejabat eselon II harus sudah naik haji dan sudah membayar zakat mal. Saya bilang niat bapak baik, tapi secara ideologis-kenegaraan tidak boleh ada aturan seperti itu," tulis Mahfud.

Menurut Mahfud, haji dan zakat mal adalah hal yang sangat pribadi, sehingga tidak boleh dijadikan aturan, meski secara agama melaksanakan ibadah haji dan membayar zakat mal merupakan tindakan yang benar.

"Naik haji dan bayar zakat tandanya dia melaksanakan agama dengan benar, tapi itu tidak boleh dijadikan aturan. Secara ideologis itu dijadikan aturan itu tidak boleh, itu kan pribadi, bayar zakat dan naik haji," ujar Mahfud ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (19/11/2018).

Isu mengenai aturan keagamaan ini digaungkan oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie. Dalam pernyataannya, Grace menyebut PSI tidak akan mendukung kemunculan ketidakadilan, praktik diskriminasi dan tindak intoleransi di Indonesia.

“Partai ini tidak akan pernah mendukung Perda Injil atau Perda Syariat. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa,” kata dia di Tangerang, Minggu (11/11/2018).

Menurut Grace, keberadaan perda-perda syariat maupun injil dapat membatasi kebebasan masyarakat. Misalnya, kata Grace, perda semacam itu bisa memaksa siswa untuk berbusana tertentu hingga dapat membatasi kebebasan umat dalam beribadah.

Atas ucapannya itu, Grace dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan penistaan agama karena menolak perda keagamaan di beberapa daerah. Eggi menilai pernyataan Grace soal penerapan perda keagamaan ini memicu intoleransi, diskriminatif, dan ketidakadilan tergolong kebohongan publik.

Soal perda agama ini, PSI telah memberikan klarifikasi di situs web resminya. PSI menilai, dalam praktik otonomi daerah, pelaksanaan perda agama menimbulkan sejumlah persoalan yang berpotensi mengikis sendi-sendi bangunan kebangsaan, membangun sekat, menciptakan ketidaksamaan posisi di hadapan hukum, dan berpotensi mengancam integrasi nasional.

Sebab, hukum yang mengatur kehidupan bersama harus didasarkan pada prinsip universal, bukan parsial, mengingat keragaman agama dan keyakinan di Indonesia.

Pernyataan yang dilontarkan Grace soal perda agama itu, menurut PSI adalah bentuk konsistensi terhadap DNA PSI yang menolak praktik intoleransi di Indonesia.

"Dalam pengamatan PSI, perda-perda tersebut berpotensi menciptakan praktik perlakuan tidak sama di hadapan hukum. Dalam konteks negara hukum harus ada sinkronisasi antara Konstitusi UUD 1945, Perundang-undangan dan Peraturan Daerah," tulis PSI.

Ia melanjutkan, perda tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga perda-perda agama memicu meningkatnya politik identitas dan intoleransi karena memaksakan peraturan yang berdasarkan satu agama pada semua warga yang jelas-jelas berbeda agama.

Baca juga artikel terkait PERDA SYARIAH atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra