Menuju konten utama

Soal Antipoligami, Aidit Jauh Lebih Dulu Ketimbang Grace Natalie

Tak ingin citra partai tercoreng, PKI menjatuhkan sanksi tegas kepada semua anggota yang berpoligami dan main perempuan.

Soal Antipoligami, Aidit Jauh Lebih Dulu Ketimbang Grace Natalie
D.N. Aidit; 1958. Wikicommon/Rudi Ulmer

tirto.id - Dalam pidato akhir tahun berkepala “Keadilan untuk Semua, Keadilan untuk Perempuan Indonesia”, Ketua Umum PSI Grace Natalie menyatakan partainya tak akan pernah mendukung praktik poligami. Menurutnya, di tengah berbagai kemajuan yang dicapai Indonesia, masih banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan.

Grace menyitir riset LBH Apik tentang poligami yang menyimpulkan bahwa pada umumnya praktik poligami menyebabkan ketidakadilan. Poligami jadi muasal ketimpangan posisi kaum perempuan dan penelantaran anak-anak.

“Karena itu, PSI tidak akan pernah mendukung poligami. Tidak akan ada kader, pengurus, anggota legislatif dari partai ini yang boleh mempraktikkan poligami,” katanya dalam forum Festival 11 di Jatim Expo International Surabaya pada Selasa (11/12/2018).

PSI, lanjut Grace, percaya bahwa perjuangan keadilan dan penghapusan diskriminasi harus dimulai dari keluarga. Karenanya, Grace berjanji jika lolos masuk parlemen pada Pemilu 2019 nanti, PSI akan memperjuangkan diberlakukannya larangan poligami bagi pejabat publik di ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan aparatur sipil negara.

“Kami akan memperjuangkan revisi atas Undang-undang no. 1 tahun 1974, yang memperbolehkan poligami,” ungkapnya tegas.

Aidit Tolak Poligami

Pidato ketua umum partai yang mantan presenter itu mengingatkan kembali pada pidato Ketua Umum PKI D.N. Aidit pada 28 September 1965. Kebetulan, dua-duanya sama menyinggung soal poligami.

Kala itu, Aidit berpidato dalam rangka ulang tahun organ sayap mahasiswa PKI, Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang juga dihadiri Presiden Sukarno. Di satu bagian Aidit seakan-akan menyindir sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu.

"Indonesia belum mencapai kemajuan dan kemakmuran. Negara ini memang tidak akan bisa maju kalau diurus oleh pemimpin yang mempunyai empat atau malahan lima orang istri!" teriak Aidit.

Pidato itu kontan bikin hadirin tersentak. Semua tahu belaka bahwa Sukarno berpoligami. Meski tak menyinggung nama, tentu saja kata-kata Aidit itu mudah diterka arahnya.

"Kasar sekali, pernyataan Aidit itu kasar sekali," kata mantan Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa Maulwi Saelan sebagaimana dikutip laman merdeka.com.

Tak ada yang menduga ketua partai yang jadi sekutu dekat rezim Sukarno itu akan berkata demikian. Selama Sukarno jadi kepala negara, PKI tak pernah menyindir soal poligami sang presiden. Pun demikian dengan Gerwani, organ perempuan yang berafiliasi dengan PKI, yang diketahui menentang poligami.

"Tidak ada. Dikembalikan masing-masing saja. Hanya memang kenapa wanita mau dipoligami. Kan yang rugi wanita," kata mantan pengurus Gerwani Jawa Timur bernama Lestari sebagaimana dikutip merdeka.com.

Aidit adalah pria berwawasan dan pandai menyenangkan orang. Meski demikian, ia tak lantas jadi punya hubungan luas dengan perempuan. Fransisca Fanggidaej, satu-satunya kawan perempuan yang dekat dengan Aidit, mengatakan bahwa Aidit dan sastrawan Utuy Tatang Sontani pernah bersaing mencuri hati seorang anggota DPR bernama Ismiyati.

Tapi, nyatanya itu hanya persaingan bohongan. Ketika Ismiyati menikah dengan pria lain Aidit maupun Utuy santai-santai saja. “Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan,” kata Fransisca, yang juga anggota parlemen dari PKI, seperti dikutip Tempo edisi 1 Oktober 2007.

Selain kisah ini, tak pernah Aidit terlibat hubungan dengan perempuan manapun. Ia dikenal setia pada istrinya dan sangat antipoligami dan antiperselingkuhan. Bahkan, di masa kepemimpinannya, prinsip pribadi itu hampir-hampir jadi garis partai yang tak boleh dilanggar kader.

Banyak anggota partai yang kena sanksi karena ketahuan memiliki hubungan tak patut dengan perempuan lain, apalagi istri orang. Hal-hal macam itu tentu bisa bikin citra partai tercoreng. Karenanya PKI sangat ketat soal ini dan tak ada kompromi, termasuk kepada kalangan elite PKI.

Salah satu yang kena adalah A.S. Dharta. Buku Lekra dan Geger 1965 (2014) mencatat, sekretaris umum Lekra dan anggota DPR ini langsung dipecat ketika ketahuan berselingkuh. Kabar pemecatannya bahkan diumumkan di koran PKI Harian Rakjat (hlm. 22-23).

Kader lain yang kedapatan kena kasus serupa adalah pelukis S. Sudjojono. Ketika Sudjojono menjadi anggota DPR dari PKI, hubungannya dengan penyanyi seriosa benama Rose ketahuan. Kala itu Sudjojono masih beristri Mia Bustam dan Rose pun masih bersuami.

Dalam autobiografinya, Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017), Sudjojono berkisah bahwa ia dapat tekanan dari partai usai hubungan itu terbongkar. Ia diminta mengakhiri hubungan tersebut dan hendak dimutasi ke DPRD Yogyakarta. Dasar keras kepala, Sudjojono menolak. Ia sudah kadung mencintai Rose.

Aidit sampai turun tangan bicara kepada Sudjojono. Tapi, Sudjojono bergeming dan paksaan itu bikin ia kian jengah dengan kehidupan politik di partai. Ia lebih memilih untuk keluar saja dari PKI dan kepengurusan Lekra.

“Saya minta keluar dan mereka boleh mengumumkan: Saya dipecat. Itu terjadi tahun 1958, saya keluar dari partai, dari parlemen, dan dari Lekra,” tulis Sudjojono (hlm. 104).

infografik poligami hukum negara

infografik poligami hukum negara

Afair Njoto

Sanksi karena terlibat afair dengan perempuan juga dijatuhkan kepada Njoto, orang ketiga di CC PKI dan kawan dekat Aidit. Pada 1965, menjelang geger G30S, Njoto dikabarkan menjalin hubungan tak resmi dengan seorang penerjemah Uni Soviet bernama Rita.

Rita adalah penerjemah yang menemani Njoto ketika berkunjung ke Uni Soviet. Rita juga digosipkan akrab dengan beberapa mahasiswa Indonesia di Uni Soviet. Suatu kali seorang mahasiswa menemukan surat-surat Njoto kepada Rita. Dari situlah gosip hubungan Njoto-Rita berembus sampai ke Politbiro PKI.

Gosip ini berkembang bersamaan dengan simpang-siur hubungan Aidit dan Njoto yang tak lagi guyub. Njoto dianggap terlalu pro-Uni Soviet, sementara Aidit lebih sreg dengan garis komunisme Cina.

Entah musabab mana yang benar, yang jelas Njoto akhirnya dihadapkan pada sidang partai. PKI tak ingin citranya tercoreng.

Dalam buku Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara (2010) yang dieditori Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat disebutkan, “Keputusan partai tetap harus dijatuhkan. Njoto diskorsing dan semua jabatannya di partai dipreteli. Ia juga dituding terlalu dekat dekat dengan Sukarno bahkan mengadopsi ideologinya, ketimbang bersetia pada ideologi PKI yang mengusung Marxisme-Leninisme” (hlm. 34).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Politik
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan