Menuju konten utama

Skuter Listrik Malioboro antara Bisnis, Aturan dan Keruwetan Lalin

Bagaimana penerapan larangan skuter listrik di Malioboro menurut Sultan HB X yang menjadi polemik?

Skuter Listrik Malioboro antara Bisnis, Aturan dan Keruwetan Lalin
Penyewa skuter listrik mulai menyesaki area jalanan Malioboro, Kamis (24/3/2022). tirto.id/Irfan Amin.

tirto.id - Matahari mulai terbenam, azan magrib mulai berkumandang, Malioboro yang kini bebas dari pedagang kaki lima mulai semakin ramai disesaki pejalan kaki. Mereka datang dari penjuru kota, ada yang sendiri, berpasangan, bahkan ada yang berkelompok turun dari rombongan bus wisata.

Kawasan wisata Malioboro jelang malam mulai ditutup dari kendaraan seperti sepeda motor dan mobil. Saat Car Free Night itu, pejalan kaki juga lebih leluasa menikmati malam di Malioboro. Kendaraan yang diperbolehkan melintas hanya bus Trans Jogja, becak, sepeda dan juga skuter listrik.

Petugas Dishub bersiap menertibkan jika ada pengendara motor atau mobil yang bandel mau melintas saat Car Free Night. Hanya kehadiran skuter listrik yang mulai menjamur di Malioboro ini masih menjadi perdebatan.

Skuter listrik yang memiliki kecepatan hingga 25 kilometer per jam ini mulai menyesaki area jalanan Malioboro. Para pengguna skuter ini bersandingan dengan becak dan sepeda di area jalan maupun pedestrian. Para penggunanya kebanyakan remaja namun tak sedikit juga orang tua.

Di antara para pengendara skuter, ada Ira Mutia (22). Dirinya datang dari Klaten bersama keluarganya untuk menikmati malam di Malioboro. Ira juga mencoba skuter listrik yang disewakan di salah satu pedestrian.

Kepada Tirto dirinya bercerita, bahwa ini adalah pengalaman pertamanya menikmati Malioboro dengan skuter listrik.

"Saya membayar Rp25 ribu dan mendapat jatah 30 menit. Saya manfaatkan berkeliling dari depan Kampung Ketandan, Titik Nol hingga Taman Pintar, kemudian kembali lagi," katanya pada Kamis (24/2/2022).

Meski ada kesan yang didapat saat berkeliling dengan skuter listrik, namun Ira lebih menikmati apabila area Malioboro hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Sebab, kehadiran skuter listrik ini bikin padat jalanan, kadang juga di pedestrian membahayakan pejalan kaki.

"Kalau saya lihat lebih baik tanpa skuter, karena saya lihat tadi banyak pemakai yang tidak hati-hati. Ada yang ngebut, main handphone dan juga mengendarai terlalu di tengah badan jalan," jelasnya.

Kekhawatiran Ira tersebut ternyata sudah menjadi perhatian dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana dilansir Antara, Gubernur Sri Sultan Hamengkubawono X menginginkan agar Pemerintah Kota Yogyakarta dapat menyelesaikan regulasi terkait keberadaan skuter listrik di Malioboro.

Hal itu dikarenakan kawasan utama wisata di Yogyakarta tersebut kerap mendatangkan keluhan dari sejumlah pihak. Terutama saat relokasi pedagang kaki lima di Malioboro. Lalu kali ini tempat bekas pedagang yang direlokasi itu dipakai untuk tempat sewa skuter.

Wacana Pelarangan Skuter Listrik Malioboro

Walaupun Gubernur Sri Sultan Hamangkubawono X telah melarang skuter listrik untuk beroperasi, namun ternyata skuter listrik masih berseliweran di jalan Malioboro. Para operator skuter masih menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Para penyewa juga masih melenggang bebas tanpa mempedulikan ada seruan dari Sultan HB X.

Salah satu usaha rental skuter listrik yang ada di Malioboro adalah skuteraja.id. Usaha persewaan skuter listrik ini mendominasi di kawasan Malioboro dengan jumlah mencapai 80 persen.

Menurut Koordinator Lapangan Skuteraja.id, Dennis Darmawan, pihaknya mengetahui bahwa dari Gubernur sudah diberikan larangan untuk mengoperasikan skuter listrik. Namun, dirinya masih menunggu aturan resmi yang nanti akan menjadi pedoman secara hukum.

"Kami masih menunggu bagaimana aturan yang tepat, dan kalau sudah benar-benar dilarang kami akan berhenti. Nantinya kami akan memindahkan ke area wisata yang diperbolehkan," ujarnya.

Dirinya mengklaim bahwa pengelolaan penyewaan skuter listrik sudah sesuai dengan aturan. Pihaknya juga bekerja sama dengan agen asuransi untuk menjamin penyewa apabila terjadi kecelakaan.

"Kalau dari kami bayar Rp40 ribu untuk satu jam sudah termasuk asuransi. Sehingga apabila terjadi kecelakaan akan ada jaminan," katanya.

Tidak sembarang orang bisa menyewa skuter, ada syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya, penyewa skuter harus berusia minimal 16 tahun, tinggi badan minimal 160 cm dan juga ada edukasi yang disampaikan saat sebelum berkendara.

"Kami ada pengawas lapangan, sehingga kalau ada yang nekat boncengan atau main HP, akan kami ambil dan tidak boleh sewa lagi," terangnya.

Walau demikian dirinya tidak memungkiri masih ada beberapa pengguna skuter yang luput dari pengawasan. Sehingga membuat masalah dan menjadi sorotan.

"Tentu kami tidak bisa mengawasi semuanya, dan selain itu masih ada penyewaan lain juga di sekitar Malioboro. Sehingga kalau ada kesalahan tempat kami yang menjadi sorotan karena paling besar dan kendaraannya paling besar," ujarnya.

Dennis kembali menekankan bahwa perusahaannya taat terhadap regulasi dan terbukti dari adanya izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Menanggapi perizinan skuter listrik di pedestrian Yogyakarta, Sub Koordinator Perizinan Perekonomian dan Infrastruktur Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) DIY, Novian Chrisnando, menuturkan bahwa pihaknya hanya memberikan izin mengenai aktivitas persewaan saja. Sedangkan perizinan mengendarai skuter di area Malioboro di luar kewenangannya.

"Ibarat kami mengizinkan orang berdagang baju di pedestrian, tapi untuk mengenakannya dimana itu di luar kewenangan kami. Seharusnya apabila mereka menyewakan, lalu skuter tersebut dibawa pulang dan jangan dimainkan di Malioboro," ujar Novian.

"Selama ini melihat skuter bukan sebagai alat transportasi tapi hanya sebagai alat rekreasi, karena tidak memindahkan orang dari tempat ke tempat, seperti motor atau mobil," imbuhnya.

Setiap pengusaha skuter listrik yang memiliki izin akan mendapat kode klasifikasi baku lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan kode 77210 yang memiliki kualifikasi menengah ke bawah.

"Nantinya mereka menyewa dengan status aktivitas penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak opsi alat rekreasi dan olahraga," jelasnya.

Meski saat ini skuter listrik mendapat banyak sorotan karena mengganggu arus lalu lintas, namun pihak DPPM DIY tidak bisa langsung menutup unit usaha penyewaan skuter listrik.

"KBLI tidak bisa ditutup kecuali ada pelanggaran serius, atau ada Perda baru," jelasnya.

Secara terpisah, Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Agus Arif Nugroho menambahkan bahwa pihaknya siap menaati perintah dari Gubernur DIY yang akan melarang skuter listrik.

"Kita tunggu kebijakan dari provinsi karena itu adalah sumbu filosofis Yogyakarta," terangnya.

Dirinya menerangkan walau skuter listrik telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu Dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Namun, pihaknya akan kembali mengatur dengan Perda yang mengatur skuter listrik secara lebih detail.

"Selain Permenhub, daerah juga mengatur. Dimana daerah yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Dari daerah akan didetailkan. Oleh karena itu, saat Sultan bilang tidak boleh nanti akan diatur lebih detail dalam administrasi," terangnya.

Fenomena Skuter Listrik dan Komunitasnya

Sebelum skuter listrik viral, dan menjadi komoditas penyewaan seperti saat ini, ada sejumlah anak muda yang memiliki hobi sama menjajal skuter listrik berjalan di sepanjang jalan Kota Pelajar. Para anak muda ini tergabung dalam komunitas Ngayogyakarta Electric ScooTer.

Menurut salah seorang pendiri komunitas, Kristian Dwiki, bahwa Ngayogyakarta Electric ScooTer berdiri pada April 2020. Tepat sebulan setelah pandemi COVID-19 resmi masuk ke Indonesia.

"Saat itu orang ramai membeli sepeda, kita membeli skuter listrik," katanya saat ditemui Tirto.

Sebagai penghobi, Dwiki mengaku bahwa ada sejumlah kocek yang dikeluarkan untuk bisa membawa pulang skuter listrik.

"Harga skuter listrik di komunitas kami paling mahal mencapai Rp60 juta, sedangkan yang lain standarnya dari Rp8-9 juta," jelasnya.

Komunitas ini semula terkumpul dari media sosial Facebook lalu melakukan kopi darat hingga sering melakukan Sunmori (Sunday Morning Riding).

"Kami sering berkeliling kota atau area wisata dengan jumlah sekitar 20-an anggota dalam sekali jalan. Tidak hanya skuter listrik yang kami ajak, ada juga sepeda listrik yang ikut bergabung," terangnya.

Sebagai komunitas, dirinya menegaskan tidak memiliki afiliasi apapun dengan penyewaan skuter listrik di area manapun termasuk Malioboro.

"Kami tidak tergabung dengan penyewaan skuter listrik, walau dari anggota sempat ada wacana tersebut namun kami menolaknya," ujarnya.

Dwiki mengungkapkan bahwa ada tanggung jawab berat saat menjadi penyewa skuter listrik yaitu perihal edukasi kepada para penyewa yang mayoritas adalah pengguna pemula.

"Kami memahami dari pihak rental sudah melakukan edukasi, namun secara pengawasan itu sulit dilakukan," ungkapnya.

Dirinya berpesan agar para pengguna juga melengkapi diri dengan peralatan safety riding seperti helm dan beberapa aksesoris pelindung tubuh.

"Selain itu taati aturan, berjalan di pinggir dan jangan mengebut," terangnya.

Dwiki mengakui bahwa komunitasnya sudah jarang mengendarai skuter listrik di area Kota Yogyakarta. Dirinya lebih memilih menepi di pinggiran terutama di pedesaan.

"Kami saat ini menghindari perkotaan karena menghindari perkotaan yang ramai dari skuter rentalan," ujarnya.

Baca juga artikel terkait SKUTER LISTRIK atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Maya Saputri