Menuju konten utama

Skeptis atas Hasil Survei: Belajar dari Pilpres 2014 & Pilkada DKI

Tantangan lembaga survei politik di Indonesia: mengabaikan etika dan idealisme, getol membesarkan kepentingan bisnis.

Skeptis atas Hasil Survei: Belajar dari Pilpres 2014 & Pilkada DKI
Ilustrasi: memakai survei untuk berbohong. Tirto/Sabit

tirto.id - Pertarungan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 adalah pertarungan antara lembaga-lembaga survei, dan bagaimana polarisasinya bisa dilihat dari pengalaman Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Pada Pilpres 2014, dua kubu kandidat presiden saling mengklaim kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei. Ada 12 dari 56 lembaga survei dan konsultan politik, yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, yang melakukan quick count. Hasil hitung resmi KPU (real count) mengunggulkan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan 53,15 persen suara, dibandingkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan 46,85 persen suara.

Dari 12 lembaga survei itu, ada 4 lembaga yang merilis hasil hitung cepat berbeda dari lembaga survei lain serta dari hitung resmi KPU, dengan selisih 1 persen hingga 5 persen, memenangkan Prabowo-Hatta. Ke-4 lembaga itu adalah Lembaga Survei Nasional, Jaringan Suara Indonesia, Puskaptis, dan Indonesia Research Center.

Jaringan Suara Indonesia dan Puskaptis bekerja sama dengan stasiun televisi tvOne, media milik Bakrie, yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

"Kalau kita melihat polarisasinya, tvOne itu aneh sendiri memenangkan Prabowo," ujar Hamdi Muluk, anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi), sebagaimana dikutip BBC, 9 Juli 2014.

Lembaga-lembaga survei lain yang hasil hitung cepatnya mendekati hitung resmi KPU pada Pilpres 2014 itu termasuk Indikator Politik Indonesia, Poltracking, Lingkaran Survei Indonesia, Saiful Mujani Research & Consulting, Radio Republik Indonesia, Cyrus Network, CSIS, dan Litbang Kompas.

Toto Suryaningtyas, Manajer Litbang Kompas, yang baru-baru ini merilis hasil survei tentang pamor kandidat presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019, menilai hasil hitung cepat yang mendekati real count karena lembaga itu taat pada asas metodologi ilmiah.

Lembaga-lembaga survei ini berpegang pada buku dan ilmu yang sama, tetapi kejujuranlah yang jadi pertaruhan, menurut Suryaningtyas.

"Kegigihan kita untuk menjaga kualitas dari data-data yang didapatkan di lapangan—ini yang menentukan hasil survei," ujar Suryaningtyas, Selasa keempat bulan April lalu.

Menurut Suryaningtyas, perbedaan hasil survei ditentukan oleh "aspek teknis", yakni metode survei berbasis ilmiah, dan "aspek non-teknis" yang digerakkan oleh kepentingan politis.

"Kalau sudah politis dan kepentingan, hasil bisa disetir dari awal karena aspek yang teknis ini bisa di-setting supaya bisa memberikan hasil signifikan sesuai kepentingannya. Dua aspek itu bisa memengaruhi hasil survei," ujarnya.

Dalam pengalaman Pilpres 2014 itu, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) melakukan audit etik kepada Jaringan Suara Indonesia dan Puskaptis, yang notabene anggotanya.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika dan Sekjen Persepi, menceritakan pada saat proses pengecekan, kedua lembaga survei itu terbukti berbohong.

"Dua lembaga survei itu dipecat dari keanggotaan Persepi. Rekam jejak bisa dilihat dari ratusan Pilkada. Buat kita itu pelajaran," ujar Yunarto.

Gambaran Hasil Survei Pilkada DKI Jakarta 2017

Maju tiga tahun, pada Pilkada DKI Jakarta, ada sedikitnya 32 lembaga survei yang terdaftar di KPU Jakarta, dan 11 di antaranya melakukan hasil hitung cepat atau quick count.

Berbeda dari Pilpres 2014 yang diisi oleh skandal, dalam hitung cepat Pilkada Jakarta 2017, lembaga-lembaga survei itu memenangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dengan selisih suara antara 5 persen hingga 9 persen, dari pasangan Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

Dalam hitung resmi KPU, yang ditetapkan pada 5 Mei 2017, pasangan Anies-Sandiaga meraih 57,96 persen suara dan Ahok-Djarot memperoleh 42,04 persen suara.

Puluhan lembaga survei itu dipakai oleh para kandidat. Dua di antaranya Charta Politika yang disewa oleh pasangan Ahok-Djarot dan PolMark Indonesia yang disewa Anies-Sandiaga.

Lembaga-lembaga itu merilis hasil survei penutup sepekan sebelum hari pencoblosan. Mayoritas mengunggulkan pasangan Anies-Sandiaga. Mereka termasuk Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), dengan 47,9 persen suara Anies-Sandiaga berbanding 46,9 persen suara Ahok-Djarot; LSI Denny JA (51,4 persen berbanding 42,7 persen); Media Survei Nasional (49 persen berbanding 47,1 persen); Indikator (48,2 persen berbanding 47,4 persen); dan PolMark (49,1 persen berbanding 41,1 persen).

Berbeda dari hasil survei lembaga-lembaga itu, Charta Politika justru menempatkan Ahok-Djarot mengungguli Anies-Sandiaga, dengan 47,3 persen suara berbanding 44,8 persen suara.

Wawancara Eep Saefulloh Fatah: "Saya Tidak Mengkapitalisasi Sentimen SARA"

Infografik HL Indepth Lembaga Survei

Keriuhan hasil-hasil survei ini menempatkan kembali diskusi bagaimana sebuah polling atau jajak pendapat, yang dirilis ke publik, sebetulnya dipakai sebagai bagian dari skenario pemenangan kandidat.

Toto Suryaningtyas dari Litbang Kompas menilai jika tujuan survei demi konsultasi politik, hasilnya berpotensi "beda", yang bisa dimodifikasi bahkan manipulatif.

"Kalau survei berdasarkan pesanan, manipulasi bisa dibuat ketika perancangan survei, saat pengambilan data, dan pengolahan hasil," ujarnya.

Kompas bisa lebih independen secara keuangan karena ia menginduk pada Kelompok Kompas-Gramedia, salah satu perusahaan penerbitan terbesar di Indonesia. Hasil survei Kompas juga demi menopang kualitas harian Kompas. Suryaningtyas mengatakan bahwa Litbang Kompas tak memberikan jasa konsultan politik.

Dalam laporan yang sudah kami rilis, mayoritas lembaga survei di Indonesia berada dalam satu perusahaan dengan jasa konsultan politik. Efeknya, kredibilitas mereka dipertaruhkan.

Toh, sejumlah orang yang bekerja dalam bisnis ini mengklaim bahwa mereka tak mencampuri urusan jasa konsultan dan layanan survei karena dua divisi ini terpisah dalam satu perusahaan.

Hal ini diungkapkan Taufik Al Zurjani, anggota divisi pemenangan Lingkaran Survei Kebijakan Publik, anak perusahaan LSI Network milik Denny JA. "Gue bagian pemenangan, gue enggak perlu mencampuri urusan survei," katanya.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika, berkata kebohongan dalam hasil survei bakal bikin reputasi lembaga tersebut hancur. "Untuk apa berbohong? Kalau berbohong akan terekam jejak lembaga survei tersebut. Apalagi saya dianggap Ahoker. Risikonya besar."

"Gila kalau orang berani buat itu ... Kalau hanya ingin menyenangkan kandidatnya, buat apa?" ujar Yunarto.

Toto Suryaningtyas berpandangan bahwa idealnya usaha yang sifatnya bisnis dan usaha yang sifatnya ilmiah harus dipisahkan agar terhindar dari konflik kepentingan, tak cukup dengan beda divisi karena bisa menimbulkan "kerancuan."

"Kalau sudah beda perusahaan jauh lebih sehat karena enggak langsung bisa ikut campur tangan," katanya.

Suryaningtyas mewanti-wanti bahwa kelahiran lembaga-lembaga survei politik, imbas dari iklim demokrasi pasca-Orde Baru, jangan sampai sekadar mementingkan segi bisnis, mengalahkan dan merusak kepentingan idealismenya.

"Hasil survei yang manipulatif itu merusak habitusnya sendiri. Kalau dia rusak ... dia merusak kebebasan dan mengacaukan demokrasi itu sendiri. Jadi ini tantangan lembaga survei," ujar Suryaningtyas.

Baca juga artikel terkait LEMBAGA SURVEI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Politik
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam