Menuju konten utama

Skema Insentif Proyek Energi Terbarukan Usulan Bappenas

Bappenas sedang mendorong penerapan skema insentif yang membuat biaya proyek-proyek energi terbarukan tidak terlalu mahal.

Skema Insentif Proyek Energi Terbarukan Usulan Bappenas
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyampaikan pidato sambutannya saat membuka acara Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan (KORTEKRENBANG) Regional II di Mataram, NTB, Selasa (6/3/2018). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi.

tirto.id - Menteri Perencaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan perlu ada insentif yang bisa membuat pengusaha tidak lagi kesulitan mengakses modal untuk proyek Energi Baru dan Terbarukan (ETB).

Dia mengaku sedang mendorong skema insentif baru dalam pembiayaan proyek pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan atau green financing. Dia mencontohkan proyek energi terbarukan yang layak mendapat insentif ialah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Skema insentif tersebut, menurut dia, harus menjawab persoalan yang selama ini dikeluhkan oleh pengusaha, yakni bunga pinjaman modal dari perbankan yang tinggi.

"Makanya itu kami bikin low cost financing yang blended. Dicampur dengan yang nonkomersial. Kalau perbankan kan komersial. Kalau komersial itu mungkin ketinggian [bunga pinjaman], makanya dicampur supaya lebih rendah. Itu skema saja," kata Bambang di Kantor Bappenas, Jakarta, pada Selasa (22/5/2018).

Untuk menggairahkan pertumbuhan proyek-proyek energi terbarukan, Bambang mengatakan tingkat pengembalian modal proyek (Internal Rate of Return/IRR) semestinya sekitar 13-15 persen.

"Ya tergantung case by case [kasuistik]. Mungkin 13-15 persen," ujar dia.

Bambang menambahkan penerapan skema insentif seperti itu tidak memerlukan pembentukan regulasi baru. “Kita jalan dulu, coba blended financing antara ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) dengan PINA (Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah di bawah Bappenas)," kata Bambang.

Dia menjelaskan ICCTF akan menyediakan sumber pendanaan berbiaya rendah dan juga pinjaman konvensional. Sedangkan PINA bisa menyediakan sumber permodalan komersial.

"Itu yang kami gabung. Jadi, blending finance [pembiayaan campuran] yang kami kejar supaya nantinya tujuannya green dengan lower cost financing [biaya murah] tercapai," ujar Bambang.

Untuk penerapan skema pembiayaan campuran tersebut, menurut Bambang, dapat dilakukan secara bertahap.

"Kalau ada yang sudah berhasil di suatu area dan masuk ke harga yang 85 persen biaya pokok penyediaan (BPP) PLN ya di-copy aja. Karena ini kesempatan kita untuk menambah porsi renewable energy [energi terbarukan]. Jangan hanya terpaku pada listrik yang sudah tersambung," kata dia.

Selama ini, dia mencatat banyak negara telah menerapkan skema insentif untuk mendorong dunia usaha menggarap proyek-proyek pembangunan ramah lingkungan.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom