Menuju konten utama

SKB 3 Menteri Dinilai Biang Masalah Intoleransi ke Jemaat Ahmadiyah

Selama ini SKB 3 Menteri dianggap menjadi legitimasi bagi aktor negara maupun aktor non-negara mendiskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah.

Kondisi Masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat usai perusakan pada Jumat (3/9/2021). (FOTO/Dok. Nasir Ahmad)

tirto.id - Sekira 200 orang dari Aliansi Umat Islam menyerang dan merusak masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, 3 September 2021. Akibatnya, masjid rusak dan satu bangunan di belakangnya dibakar massa.

Massa menuntut pemerintah daerah menutup masjid dan melarang aktivitas ibadah JAI di sana. Keberadaan JAI di Sintang ditentang oleh pemerintah daerah setempat. Masjid disebut tidak punya izin operasional, juga penghentian aktivitas JAI disebut atas perintah dari Bupati Sintang dan Gubernur Kalimantan Barat.

Pihak Pemda menyebut akan menjamin kebebasan JAI untuk beribadah sepanjang mengakui beragama Islam, dan sesuai ketentuan dan keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3/2008. Kemudian Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199/2008, tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat.

Salah satu poin SKB itu memerintahkan jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang tak sesuai dengan penafsiran agama Islam. Poin lainnya menyebut jemaat Ahmadiyah yang tidak mengikuti ketentuan itu akan diberi sanksi.

Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono menyatakan negara seharusnya menjamin semua agama dan kepercayaan yang ada sesuai konstitusi, termasuk kepada JAI. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan perkara ini.

"Pertama, pemerintah mencabut aturan SKB tiga menteri dan aturan-aturan diskriminatif lainnya. Pencabutan SKB sangat penting untuk dilakukan. Karena hal ini menjadi legitimasi bagi aktor negara maupun aktor non-negara untuk mendiskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah selama ini,” kata Arfi ketika dihubungi Tirto, Senin (13/9/2021).

Kedua, memberikan rasa aman bagi JAI untuk beribadah. Ketiga, memberikan pelayan publik tanpa adanya diskriminasi terhadap JAI di Indonesia. Keempat, memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama kepada generasi muda.

"Kelima, penegakan hukum bagi kelompok maupun individu dari aktor negara maupun aktor non-negara yang berintoleransi, termasuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia," jelas Arfianto.

Berdasarkan data Laporan Satu Dekade Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan dari Wahid Foundation, periode 2009-2018, JAI merupakan pihak yang paling banyak menjadi korban pelanggaran kebebasan beribadah yang dilakukan oleh aktor negara dan non-negara.

JAI mengalami 188 tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara dan 166 tindakan dilakukan oleh aktor negara. "Padahal negeri ini menjamin kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan di Indonesia," kata Arfianto.

Jaminan kebebasan beragama itu diperkuat dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

"Batasannya adalah kebebasan dalam menjalankan agama dan kepercayaan tersebut tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain," terang Arfianto.

Komunitas muslim Ahmadiyah di Dusun Harapan Jaya, Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat hidup dalam intimidasi.

Tiga hari menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, masjid mereka disegel Kesbangpol Kabupaten Sintang secara paksa.

"Saat ini kami beribadah di halaman masjid," kata Juru Bicara Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/8).

Pada 12-13 Agustus 2021, Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang menuding JAI meresahkan masyarakat dan meminta mereka menghentikan aktivitas. Bahkan mereka tak segan bertindak sendiri, apabila aparat penegak hukum tak ambil sikap terhadap Ahmadiyah.

Dalam salah satu suratnya mereka menulis: “Selama Fatwa MUI belum dicabut terhadap kesesatan Ahmadiyah, maka masyarakat menolak hadirnya Ahmadiyah di wilayah Kabupaten Sintang.”

Baca juga artikel terkait PENYERANGAN AHMADIYAH atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto