Menuju konten utama
21 Juni 2004

Skateboard adalah Kritik untuk Perampas Ruang Publik

Kumpul melebur.
Rayakan hari libur
di papan luncur.

Skateboard adalah Kritik untuk Perampas Ruang Publik
Go Skateboarding Day. tirto.id/Sabit

tirto.id - "Skateboard udah kayak jalan aja, nempel sama kaki. Udah kayak napas."

Johan Tambunan.

Setiap tahun di tanggal 21 Juni, para pemain skateboard di seluruh dunia memperingati Go Skateboarding Day. Ini adalah hari raya, sebagaimana umat Kristen merayakan Natal dan orang Islam meramaikan Idul Fitri.

Peringatan Go Skateboarding Day ditetapkan pada tahun 1994, tepat hari ini 24 tahun lalu, ketika sekelompok skateboarder di California Selatan menemukan hari yang tepat untuk membebaskan diri dari rutinitas dan tidak melakukan apapun kecuali bersenang-senang dengan skateboard. International Association of Skateboard Companies kemudian memuliakan tanggal ini sebagai "liburan resmi" bagi para skateboarder.

50-50: Berdasarkan Kisah Nyata

Tua bangka itu merongseng tiap kali melihat anak lelakinya berbaring seperti orang kena lepra di depan televisi. Ia, seperti kebanyakan lelaki seusianya, gemar sekali mengoceh hal-hal yang sudah jelas: Perbanyak main di luar rumah, jangan berdiam diri, olahraga bikin sehat, dan seterusnya. Padahal dulu dia sendiri yang membelikan gim konsol agar anaknya betah di rumah. Ada dua misteri yang tak bakal terpecahkan di dunia ini. Pertama letak ujung kebodohan, kedua cara pikir orang tua.

Ibunya lebih solutif. Ketimbang mengoceh, si Ibu malah berinisiatif membelikan sepeda. Sejak saat itu kebiasaan bermain gim berangsur beralih menggenjot sepeda ke sekolah, ke rumah tetangga, keliling desa. Si anak bergembira, Bapak tak perlu bersungut-sungut tiap pulang kerja. 50-50. Brilian.

Orang tua yang bawel itu adalah bapak saya.

Bersama sepeda anyar, saya menemukan tempat baru di sekitar rumah: Sebuah kolam seperti yang ada di gim Tony Hawk's Pro Skater 4. Namanya Kahuripan Skatepark di Parung, Bogor.

Suatu sore, segerombol remaja mendatangi skatepark itu. Sebagian meluncur gesit di atas beton dengan skateboard seperti Elissa Steamer, sebagian berusaha menaklukan rail. Usaha mereka lebih terlihat seperti menyiksa diri; jatuh, berguling-guling, jatuh lagi. Tetapi mereka tertawa.

Suara kayu beradu dengan aspal. Deru putaran bearing yang konsisten. Teriakan 'O' panjang saat seseorang berhasil mendaratkan sebuah trik.

Sebagai anak SD yang keahlian utamanya adalah gampang berubah pikiran, saya pulang; melempar sepeda di depan rumah; dan merengek dibelikan skateboard. Tentu saja tidak dibelikan, sebab orang tua berpikir dengan cara-cara misterius.

Rektivianto Yoewono, vokalis The S.I.G.I.T—band yang tenar itu—selain berbakat memainkan gitar dan memelintir pita suara juga punya ketertarikan khusus dengan skateboard. Kami berbincang melalui surel dan dia menceritakan pertemuan pertamanya dengan skateboard.

"Setelah menonton film Back to the Future waktu SD," katanya, "Tapi baru dibelikan papan skate waktu SMP, umur 15 tahun, dan mulai main sampai kuliah. Setelah kuliah jarang main. Paling seminggu sekali."

Rekti lanjut bercerita.

Jejak skateboard di Bandung mulai terlihat pada akhir 1970-an. Saat itu, karena satu-satunya akses mendapat skateboard adalah dengan impor, paman Rekti membuatnya sendiri. Sang Paman menyerut kayu dan memasanginya ban sepatu roda.

"Saya juga pernah lihat iklan di sebuah majalah Indonesia tahun 1970-an yang menampilkan anak remaja tanggung sedang berseluncur. Tapi, lupa iklan apa."

Bagi Rekti, industri skateboard bukan hanya tentang skateboard. Melalui industri itu dia mendapat banyak rujukan gaya busana dan informasi musik-musik baru, bahkan musik-musik dari band yang tenggelam dan terlupakan di era 1960 hingga 1970-an.

Selain soal bersenang-senang, skateboard juga soal tampil gaya. Karena itu, skateboard dan kamera tak ubahnya kegelapan dan Simon and Garfunkel. Kamera pula yang berjasa menyebarkan cerita tentang betapa kerennya seseorang yang berdiri di atas papan luncur. Sampul majalah LIFE terbitan Mei 1965 menampilkan seorang perempuan sedang berdiri dengan tangan di atas papan luncur, dan LIFE berpendapat begini: Perangkat penggembira paling berbahaya. Sebulan sebelumnya, majalah itu melaporkan dua anak tewas saat bermain skateboard di jalanan.

Melalui foto-foto di majalah dan video-video yang beredar dari satu software pembakar data satu ke software pembakar data lain, skateboard menjaring peminat-peminat baru. Sepintas olahraga ini tampak mahal, namun sesungguhnya para pelaku di dalamnya secara faali saling berbagi, seperti sebuah keluarga atau sebuah komune berskala global. Tak ada yang peduli apa bahasamu dan dari mana kamu berasal, persetan warna kulit dan pilihan politikmu, selama kamu membawa papan luncur kamu akan disambut seperti si anak hilang-nya André Gide saat baru pulang ke rumah.

Majalah-majalah skateboard seperti Boardrider dan Happen membahas topik-topik skateboard, mengangkat profil seorang skateboarder, dan memberi rekomendasi titik-titik di sudut kota yang asyik buat main skate. Saat internet belum seperti sekarang, majalah-majalah ini memainkan peran penting dalam pertukaran informasi mengenai skateboard. Saat ini majalah-majalah cetak bertransformasi menjadi blog-blog yang rutin merekam kegiatan skateboard dari dalam hingga luar negeri, misalnya Pavement Magz, Wonder Skateboarding, Supa Skateboarding Media, Proof Journal, dan Televisi Star.

"Gue main skate dari 1989," terang Johan Tampubolon. "Dari zamannya papan ikan."

Johan adalah salah satu founder komunitas Senayan Skateboarders. Komunitas yang mewadahi skateboarders sejak 1996. Beberapa pekan lalu komunitas ini mengadakan acara bertajuk An Indonesian History of Skateboarding di @america, SCBD, Jakarta.

Johan menerangkan bahwa skateboard bentuk 'papan ikan' mendapat tempatnya di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta pada 1985 hingga 1987. Berbagai komunitas mulai bermunculan seperti Apolonia, Metroid, Vandals di Jakarta; dan Street Spiders di Bandung.

Pada tahun-tahun itu belum ada skatepark. Skateboarder main di jalanan atau di tempat-tempat umum. "Kalau di Jakarta, mereka main di Melawai, Blok M, Parkir Timur, Pulomas, dan lainnya," terang Johan. "Lalu Arya Subiyakto membangun half pipe di pelataran parkir stadion Lebak Bulus."

Half pipe itu merangsang pertumbuhan skateboard di Jakarta. Memasuki akhir 1980-an, skateboard semakin merebut perhatian dan mencapai puncaknya saat memasuki era 1990-an hingga kemudian redup dan tergantikan tren sepatu roda.

Arya Subiyakto yang disebut Johan adalah salah satu pendiri klub skateboard legendaris di Jakarta: Rase.