Menuju konten utama
19 November 1998

Skandal Seks Clinton-Lewinsky & Kekuasaan yang Dilumuri Patriarki

Skandal seks Bill Clinton adalah kelindan antara kebohongan, abuse of power, dan kultur patriarki.

Ilustrasi balada Clinton dan Lewinsky. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Setelah menutup mulut rapat-rapat selama beberapa tahun, Monica Lewinsky akhirnya buka suara mengenai skandal yang melibatkan dirinya dengan orang nomor satu di AS, Bill Clinton. Dalam wawancara yang dilakukan bersama Barbara Walters dan ditayangkan di ABC pada April 1999, Lewinsky mengungkapkan banyak hal yang tak diketahui publik.

Lewinsky, misalnya, berkata ia telah menyesal berhubungan dengan Clinton. Ia juga menjawab “tidak” ketika Barbara bertanya apakah dirinya “masih mencintai Bill Clinton.” Tak lupa, Lewinsky bakal menegaskan kepada anak-anaknya kelak bahwa ia “membuat kesalahan besar.”

Namun, yang disayangkan dari wawancara tersebut adalah bagaimana cara Barbara mengulik jawaban dari Lewinsky. Lewat sederet pertanyaan bernada provokatif, Barbara seperti menjadikan Lewinsky pelaku tunggal dalam skandalnya dengan Clinton.

Sayangnya, Barbara tak sendirian. Mayoritas media di AS pada waktu itu turut melakukan pendekatan serupa: menempatkan sosok Lewinsky tak ubahnya sebagai tersangka. Dengan tajuk berita yang bombastis, media-media di AS meluncurkan semua kiasan misoginis mereka guna membuat pembaca percaya bahwa Lewinsky merupakan perempuan penggoda sampai sobat Republikan yang ditugaskan untuk menjatuhkan wibawa serta kekuasaan Clinton.

Inilah drama terbesar yang pernah terjadi dalam panggung politik AS manakala skandal seks mengantarkan seorang presiden dimakzulkan—dan gagal. Intrik, abuse of power, serta kebohongan berkelindan satu sama lain membentuk sejarah yang tak pernah lenyap dari pikiran masyarakat AS yang kadung terbelah oleh pemberitaan media massa.

Sebelumnya Jadi Idola

Cerita bermula pada 1995 saat Lewinsky, 21 tahun, memperoleh kesempatan untuk magang—tanpa bayaran—di Kantor Kepala Staf Kepresidenan yang dipimpin Leon Panetta. Posisinya di Gedung Putih, sekalipun cuma berstatus magang, membuatnya mudah bertemu elite-elite pemerintah. Tak terkecuali sang presiden, Clinton.

Tak disangka, seiring bergulirnya waktu, Lewinsky dan Clinton terlibat hubungan asmara. Situasi ini disadari oleh para pembantu presiden. Mereka khawatir relasi Lewinsky-Clinton bisa merusak reputasi Gedung Putih.

Guna mencegah hal itu muncul ke permukaan, Lewinsky dipindahtugaskan ke Departemen Pertahanan pada April 1996. Di kantornya yang baru, Lewinsky, sebagaimana dilaporkan TIME, mulai berteman dengan Linda Tripp, pegawai Pentagon yang kebetulan sangat benci dengan klan Clinton. Sesuatu yang besar pun diutarakan Lewinsky kepada Tripp: ia berhubungan seksual dengan presiden.

Oleh Tripp, cerita Lewinsky lantas dijadikan barang. Ia menghubungi jurnalis Newsweek, Michael Isikoff, dan memberitahu apa yang baru saja didapatkannya. Di saat bersamaan, Tripp juga mengontak pengacara Paula Jones, perempuan yang diduga kuat menjadi korban pelecehan seksual Clinton semasa menjabat Gubernur Arkansas pada 1991.

Setelah dirasa cukup punya bahan, serangan terhadap Clinton pun dilakukan secara resmi melalui gugatan. Akan tetapi, prosesnya tak semudah yang dibayangkan. Lewinsky masih menyangkal bahwa ia pernah menjalin relasi gelap dengan Clinton. Sementara Clinton sendiri menolak—di bawah sumpah resmi—segala tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya.

“Saya tidak melakukan hubungan seksual dengan Nona Lewinsky,” tegas Clinton.

Di titik ini, semua tampak terlihat jelas: Clinton tak bersalah dan Lewinsky tak lebih dari anak muda yang sebatas cari sensasi.

Clinton menjabat presiden sejak 1993, ketika Perang Dingin tak lama berakhir. Sebelum jadi presiden, lulusan Universitas Georgetown dan Yale ini mengawali karier di pemerintahan sebagai jaksa serta Gubernur Arkansas. Pada 1992 ia maju dalam kontestasi pilpres mewakili Demokrat. Ia menggandeng Albert Gore Jr., senator dari Tennessee. Lawan yang dihadapi: petahana Republikan, George H.W. Bush.

Banyak yang menilai Clinton akan kalah. Pasalnya, Republikan, pada masa itu, masih kelewat kuat dan kandidat dari Demokrat tak pernah menang pilpres sejak 1976. Lebih-lebih, saingannya, Bush senior, punya popularitas yang cukup tinggi di mata pemilih setelah kebijakannya di Perang Teluk I dipandang berhasil.

Tapi Clinton membungkam segala keraguan. Ia sukses mengalahkan Bush. Kemenangan Clinton mewakili transformasi politik Demokrat ke fase yang kerap disebut sebagai “Demokrat Baru.”

Dengan “Demokrat Baru,” Clinton berupaya menggeser arah politik partai ke spektrum kiri-tengah, merangkul pasar, menolak politik identitas, menjamin hukum dan ketertiban, memastikan kebebasan individu terpenuhi, dan menjadikan partai lebih menarik bagi kelompok kulit putih kelas menengah AS.

Di saat bersamaan, Clinton juga mempertahankan nilai-nilai tradisional yang diusung Demokrat: mendukung minoritas dan perempuan sampai memaksimalkan peran pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.

Di tengah ketidakpuasan masyarakat AS terhadap Republikan, seiring tumbuhnya gelombang ekstremisme sayap kanan yang muncul di berbagai wilayah, Clinton dengan cepat menarik dukungan massa.

Clinton langsung tancap gas mereformasi pemerintahan. Pada periode pertama jabatannya, misalnya, Clinton menandatangani undang-undang kontrol senjata api. Selain itu, Clinton juga mengawasi pencabutan Undang-Undang Glass-Steagall—yang memisahkan perbankan komersial dan investasi.

Sedangkan di ranah internasional, pemerintahan Clinton memimpin pendirian organisasi perdagangan bebas seperti NAFTA sampai GATT, di samping juga aktif dalam upaya penyelesaian konflik yang meletus di Balkan maupun Rwanda.

Di bawah kendali Clinton, perekonomian AS mengalami masa bulan madu: tingkat pengangguran yang rendah, inflasi bisa ditekan seminimal mungkin, kepemilikan rumah yang tinggi, serta surplus anggaran. Kondisi ini membikin penerimaan masyarakat (approval rating) terhadap Clinton melonjak. Jajak pendapat yang dikumpulkan Gallup memperlihatkan bahwa job approval rating Clinton selama dua kali menjabat menyentuh 55 persen.

Meski begitu, rezim Clinton bukan tanpa cela: reformasi di bidang kesehatan, yang jadi salah satu program andalannya, gagal memenuhi target.

Berbaliknya Bandul

Penolakan Clinton atas tuduhan skandal seks yang melibatkan dirinya tak serta merta membikin Kenneth Starr, pengacara independen yang sempat mengusut skandal Whitewater di mana Clinton juga diduga kuat terlibat, puas. Ia merasa Clinton telah memberikan keterangan palsu.

Starr segera bergerak. Ia mengumpulkan dewan juri, mengeluarkan lusinan surat panggilan, dan menawarkan kekebalan kepada Lewinsky sebagai imbalan atas kesakisan yang diberikan. Yang dicemaskan pun betulan terjadi: memang ada relasi gelap antara Clinton dan Lewinsky.

Pengakuan Lewinsky membikin Clinton terjepit. Akhirnya, Clinton mengakui perselingkuhannya dengan Lewinsky, baik dalam persidangan maupun secara terbuka di televisi.

“Memang, saya memiliki hubungan yang tak pantas dengan Nona Lewinsky,” aku Clinton sembari menambahkan bahwa penyelidikan yang dialamatkan kepadanya punya motif politik yang kuat.

Dari situ, Starr lantas menyerahkan laporannya kepada Komite Kehakiman DPR. Pada 19 November 1998, tepat hari ini 21 tahun lalu, DPR—mayoritas berisi kader Republikan—menyetujui pemakzulan (impeachment) terhadap Clinton sehubungan dengan skandal yang menimpanya. Clinton dianggap melanggar konstitusi karena telah memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. Pemakzulan Clinton menjadi yang pertama dalam sejarah kepresidenan AS setelah Andrew Johnson mengalami hal serupa pada 1868.

Setelah dimakzulkan, Senat, yang juga dikuasai Republikan, menyelenggarakan persidangan guna memutus masa depan Clinton: apakah jabatannya sebagai presiden dicopot atau tidak. Namun, lagi-lagi plot twist terjadi: Clinton gagal dilengserkan sebab Senat tak memenuhi ketentuan suara yang dipatok—minimal 67.

Infografik Mozaik Pemakzulan Presiden Clinton

Infografik Mozaik Pemakzulan Presiden Clinton. tirto.id/Nauval

Pemakzulan boleh gagal, tapi investigasi pelanggaran hukum yang melibatkan Clinton tetap terbuka. Tapi, rupanya itu hanya sekadar wacana. Menjelang akhir pemerintahannya, tulis David A. Graham dan Cullen Murphy dalam “The Clinton Impeachment, as Told by the People Who Lived It” yang dipublikasikan Atlantic (2018), Clinton duduk satu meja bersama pengacara pribadinya dan Robert Ray (pengganti Starr) untuk meneken kesepakatan pemberhentian penyelidikan kepada dirinya. Sebagai balasannya, Clinton setuju membayar denda $25 ribu serta menyerahkan lisensi profesi hukumnya di Arkansas.

Yang menarik dari kasus Clinton yakni popularitasnya di mata masyarakat AS tidaklah anjlok. Sebelum ia mengakui skandalnya dengan Lewinsky, mengutip laporan Pew Research Center, sebanyak 71 persen masyarakat AS setuju dengan caranya menangani AS. Ini memperlihatkan bahwa Clinton memperoleh dukungan luas atas kebijakan-kebijakan yang diambil.

Ketika Clinton mengakui perbuatannya, Agustus 1998, tingkat penerimaannya tetap di atas 50 persen. Bahkan, saat DPR memutuskan memakzulkannya, angkanya melonjak sampai 71 persen. Laporan Pew menyebutkan bahwa tetap tingginya tingkat penerimaan masyarakat ini disebabkan karena sebagian besar dari mereka cenderung tak peduli dengan proses impeachment terhadap Clinton.

Hal inilah yang kemudian menuntun pada narasi besar atas kasus Clinton. John F. Harris dalam “‘Washington Was About to Explode’: The Clinton Scandal, 20 Years Later” yang terbit di POLITICO (2018) menerangkan bahwa selamatnya Clinton dari skandal bukan sebab orang-orang percaya dengan pernyataannya yang kerap tak konsisten, melainkan karena ia berhasil meyakinkan publik bahwa skandal itu bukan tentang seks maupun pelanggaran hukum.

“Itu [adalah] tentang kekuasaan. Dan dalam pertarungan kekuasaan, pertanyaan yang paling penting bukanlah ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’, tetapi ‘Di mana Anda memihak?’”, demikian tulis Harris.

Walaupun skandal ini sudah berlalu selama dua dekade lebih, bagi Lewinsky, tak ada kata berhenti untuk terus senantiasa menyuarakan sikap. Pengalaman buruknya bersama orang nomor satu di AS telah membangkitkan aktivismenya dalam membela mereka—para perempuan—yang tertindas oleh kekuasaan.

Pada 2015, saat ia diundang berbicara di helatan TED, Lewinsky menceritakan bagaimana ia dipermalukan sehubungan dengan skandal Clinton. Ia berkata kepada audiens bahwa rasa malu telah berfungsi sebagai alat dan cara yang digunakan budaya yang didominasi patriarki untuk menekan maupun menghukum perempuan karena memiliki keberanian untuk eksis serta mengekspresikan keinginan mereka.

Perempuan, bagaimanapun, menurut Lewinsky, akan selalu dalam posisi yang lemah: ia rentan menjadi korban relasi kuasa. Dan skandal Clinton jelas memperlihatkan hal itu.

Baca juga artikel terkait SKANDAL atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan