Menuju konten utama

Skandal Rekaman Trump dan Watergate Nixon: Serupa tapi Tak Sama

Isi percakapan telepon Trump terbongkar. Mengulangi Watergate 1974?

Skandal Rekaman Trump dan Watergate Nixon: Serupa tapi Tak Sama
Seorang pendukung Trump dengan tampilan kuku uniknya, memegang potongan wajah gambar Presiden Donald Trump saat aksi massa "Save America Rally" pada Rabu, 6 Januari 2021, di Washington. AP / Jacquelyn Martin

tirto.id - Nun jauh di timur laut Samudra Pasifik, seorang pemimpin yang sebentar lagi lengser terdengar berusaha mati-matian mempertahankan tahta kekuasaannya. “Aku menang pemilu ini dengan ratusan ribu suara. Tidak mungkin aku kalah di Georgia. Mustahil.”

Kutipan di atas berasal dari rekaman komunikasi Presiden AS ke-45 Donald Trump dengan menteri luar negeri negara bagian Georgia, Brad Raffensperger, yang baru-baru ini dirilis oleh The Washington Post.

Trump mendominasi percakapan telepon berdurasi satu jam tersebut. Ia membukanya dengan dugaan-dugaan liar tentang kecurangan pemilu di Georgia. Intinya, ia tidak terima kalah dengan selisih 11.799 suara dari Joe Biden di sana. Trump blak-blakan mengungkapkan keinginannya untuk “menemukan 11.780 surat suara”.

Trump bersikeras bahwa di Fulton County ada ratusan ribu surat suara yang dirusak. Terlepas dari berbagai tekanan Trump, Raffensperger kukuh merespons dengan pernyataan pendek: “Data yang Anda miliki keliru”. Tuduhan Trump tentang 5.000 surat suara oleh orang mati, misalnya, dibantah oleh Raffensperger yang hanya menemukan dua kasus demikian. Trump bahkan sampai mengancam Raffensperger dan pengacaranya akan pelanggaran kriminal, apabila mereka mengetahui kecurangan pemilu namun tidak melaporkannya.

Raffensperger sempat menyampaikan kepada Trump bahwa masalahnya selama ini berkaitan dengan media sosial, sebuah dunia yang memungkinkan orang bicara apapun. Namun Trump dengan gusar menegaskan bahwa sumber-sumbernya berasal dari “media Trump”, merujuk pada pemberitaan yang isinya cuma membela dirinya. Trump sendiri terkesan membenci media sosial, yang dilihat sebagai bagian dari bisnis raksasa teknologi (“Big Tech”) yang selama ini suka memusuhinya.

Trump yang Keras Kepala

Setelah mengulur-ulur proses transisi, Trump masih saja mencari celah agar dirinya tetap bisa menang pilpres. Sampai pertengahan Desember silam, NBC News mencatat bahwa Trump dan jajarannya di Partai Republikan sudah mengajukan 57 gugatan kecurangan hasil pilpres. Lima puluh di antaranya sudah ditolak, dihentikan, atau dinyatakan selesai.

Wapres terpilih dari Partai Demokrat, Kamala Harris, menilai telepon intimidasi Trump sebagai “suara keputusasaan” dan “penyalahgunaan wewenang”. Bukan tidak mungkin, insiden tersebut bisa menyeret Trump ke ranah hukum, seperti disampaikan oleh anggota dewan Demokrat di New York, Jerry Nadler.

Segelintir pejabat Republikan tampak kecewa dengan usaha konyol Trump untuk meraup suara ekstra agar menang di Georgia. Letnan Gubernur Georgia, Geoff Duncan, menganggapnya “tak pantas”. Anggota dewan dari Illinois, Adam Kinzinger menyebutnya “menjijikkan”. Baru saja, dalam kolom opini di The Economist, mantan gubernur California sekaligus aktor laga Arnold Schwarzenegger mengkritik kelakuan Trump sebagai “titik terendah dalam sejarah Amerika”.

Namun demikian, jauh lebih banyak figur Republikan yang membela usaha Trump untuk mengklaim kemenangan dalam pilpres. Dikutip dari CNN, dua orang dewan perwakilan Republikan mengungkap sedikitnya 140 kolega mereka yang bakal ikut menentang hasil perhitungan suara pilpres resmi di Kongres. Pada hari perhitungan suara 6 Januari, Trump masih berbicara di depan para pendukungnya dan bersikeras bahwa mereka “tidak akan menyerah”.

Nixon dan Skandal Watergate

Rekaman telepon Trump sekilas mengingatkan pada skandal Watergate yang menimpa Richard Nixon nyaris lima dekade silam. Presiden AS ke-37 itu undur diri tahun 1974, tepat di tengah-tengah periode kedua pemerintahannya. Kejadian di Watergate, termasuk rekaman percakapan yang ikut menjatuhkan Nixon, jauh lebih kompleks dibandingkan dengan drama pilpres Trump.

Skandal Watergate bermula dari penangkapan lima orang pria yang menyusup ke dalam markas besar Partai Demokrat di kompleks Watergate, Washington DC. Penyusupan itu terjadi pada masa-masa menjelang pilpres 1972, yang kelak dimenangkan kembali oleh Nixon.

Duo wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, berusaha menyusuri insiden tersebut. Berkat bantuan informan FBI yang kala itu dirahasiakan dengan nama “Deep Throat”, para wartawan berhasil menarik benang merah penyusupan Watergate dengan pemerintahan Nixon.

Salah satu pemberitaan Woodward dan Bernstein turut menyinggung nama H.R. “Bob” Haldeman, Kepala Staf Gedung Putih, sebagai salah satu pihak yang ikut berperan dalam pengelolaan dana kampanye Nixon untuk memata-matai lawan politik. Pada waktu bersamaan, Nixon terus mengelak keterlibatannya dalam kasus Watergate, terlepas mulai banyak isu mencuat tentang kampanye kotor oleh tim pemenangannya.

Satu per satu, orang-orang di dekat Nixon mulai dijatuhi hukuman karena berusaha menghalangi jalannya investigasi. Terungkap pula Nixon punya banyak rekaman pembicaraan dengan staf-stafnya, yang tidak semuanya ia serahkan ke pengadilan. Ketika akhirnya tekanan pemakzulan semakin kuat pada 1974, Nixon pun menuruti perintah Jaksa Agung AS untuk menyerahkan rekaman pembicaraan yang selama ini diklaimnya hilang.

Rekaman percakapan yang dilakukan beberapa hari setelah kasus penyusupan Watergate itu mengungkap persetujuan Nixon terhadap rencana kepala stafnya, Haldeman, untuk menghalang-halangi investigasi FBI. Terbukti sudah bahwa Nixon turut punya andil dalam menghambat proses peradilan. Akhirnya, Nixon mengundurkan diri dari kursi presiden dan digantikan oleh Wapres Gerald Ford, yang tak lama kemudian memberikan Nixon ampunan agar kelak ia tidak diadili.

Trump dan Nixon, Serupa tapi Tak Sama

Ken Hughes dari University of Virginia dalam ulasannya di The Conversation mencoba menarik perbandingan dampak skandal yang menimpa Nixon dan Trump dengan menyorot momentumnya.

Rekaman percakapan Nixon terungkap pada Agustus 1974, ketika pemilihan primer (primary election) anggota kongres sudah berlalu. Sederhananya, pemilihan primer merupakan acara internal partai untuk menominasikan kandidat yang kelak bertarung pada pemilihan umum (general election) melawan kandidat dari partai lain. Seperti diamati Hughes, sampai terpilih pada pemilihan primer, para politisi yang mengincar kursi kongres cenderung nyaman untuk setia pada Nixon karena basis mereka sangatlah pro-Nixon.

Namun, lanjut Hughes, kekhawatiran dari kalangan kongres Republikan mulai muncul menjelang pemilihan umum pada akhir 1974. Para politisi Republikan merasa tidak aman untuk terus mendukung Nixon karena takut kehilangan calon pemilih moderat dan swing yang dikejutkan oleh skandal Watergate. Bagi mereka, mendukung sang presiden bukan lagi langkah strategis untuk memenangkan kursi kongres dalam pemilu. Akibatnya, dukungan kongres Republikan terhadap Nixon pun menyusut.

Infografik Skandal Rekaman Presiden-Presiden Republika

Infografik Skandal Rekaman Presiden-Presiden Republika. tirto.id/Fuad

Masih dilansir dari artikel Hughes, skandal rekaman telepon Trump terungkap ketika para politisi Republikan tengah menanti musim pemilu sela (mid-term election) untuk anggota kongres tahun 2022 dan kandidat capres Republikan tahun 2024. Artinya, Hughes menekankan, kebanyakan tokoh Republikan yang mengincar kedudukan politik masih menganggap bahwa strategi terbaik untuk menang adalah terus menempel pada Trump, terlepas jalan itu akan membahayakan demokrasi.

Akhir 2020 silam, Associated Press diundang oleh Richard Nixon Presidential Library & Museum untuk melihat koleksi korespondensi antara Nixon dan Trump pada sejak 1980-an. Keduanya, menurut wartawan Nancy Benac, ternyata mengincar satu hal yang sama, yaitu validasi.

Kala itu, Trump adalah pebisnis real estate berusia 30-an, sementara Nixon tengah berusaha membersihkan namanya sebagai seorang negarawan senior. Terungkap dari surat-suratnya, mereka sama-sama skeptis terhadap media massa dan berhasrat untuk menaikkan rating siaran televisi.

Di satu kesempatan, Nixon menyampaikan bahwa istrinya terkesan dengan Trump dan percaya bahwa Trump kelak bisa berkarier bagus di politik. Surat terakhir Trump kepada Nixon dikirim pada tahun 1993, setahun sebelum Nixon meninggal dunia. Isinya berupa pujian betapa Nixon adalah “orang hebat” dan Trump sangat menghormati serta mengaguminya.

Terlepas Nixon dan Trump punya karakter mirip dan sama-sama menorehkan catatan kelam dalam perjalanan politiknya, Nixon setidaknya masih mawas diri dengan mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan.

Bagaimana dengan Trump? Meskipun sudah terbelit skandal surat suara di Georgia dan jelas-jelas kalah pilpres, ia tetap enggan mengakhiri masa jabatannya dengan terhormat. Malahan, ia mendorong pendukungnya untuk memprotes acara perhitungan suara elektoral di Capitol Hill. Tak dinyana, penggerudukan di gedung Capitol pada 6 Januari oleh ratusan pendukungnya justru menimbulkan kerusuhan yang sedikitnya menewaskan 4 orang. Sekian jam kemudian, Trump baru meminta pendukungnya pulang—sembari terus mengglorifikasi aksi itu.

Baca juga artikel terkait TRUMPISM atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf