Menuju konten utama

Sistem Zonasi dalam PPDB: Ikhtiar Panjang untuk Keadilan Pendidikan

Sistem zonasi dibuat agar siswa—terlepas dari kondisi ekonomi, kelas sosial, dan prestasinya—bisa mengakses sekolah yang tak jauh dari rumah.

Sistem Zonasi dalam PPDB: Ikhtiar Panjang untuk Keadilan Pendidikan
Avatar Satriwan Salim. tirto.id/Sabit

tirto.id - Indonesia punya segudang masalah akut seputar pendidikan dasar, mulai dari akses pendidikan yang tak merata, angka putus sekolah yang tinggi, hingga mutu lulusan. Salah satu langkah penting untuk memecahkan beberapa masalah itu belakangan ramai diperbincangan di mana-mana, yakni pemberlakuan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019.

Mengapa akses pendidikan yang merata sangat penting dilakukan? Setidaknya ada dua jawaban mendesak dan dua-duanya terkait tidak meratanya akses pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Pertama, faktor angka putus sekolah yang masih tinggi di berbagai wilayah, meskipun sejak 2015-2018 angka putus sekolah menurun sampai 30% atau sekitar 200 ribu siswa menurut data Kemdikbud (2018).

Namun, faktanya angka itu masih sangat tinggi. Di level SD pada tahun ajaran 2017/2018, tercatat 32 ribu anak yang putus sekolah. Di level SMP, jumlah siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya mencapai 51 ribu anak. Sedangkan untuk SMA dan SMK tercatat masing-masing 31 ribu dan 73 ribu anak. SMK menjadi penyumbang terbesar angka putus sekolah, yakni sebanyak 73 ribu siswa.

Bahkan jika berkaca pada data yang dikemukakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), angka putus sekolah sungguh mengkhawatirkan. Pada 2015, tercatat masih ada 5,3 juta anak usia 7-18 tahun di Indonesia yang tidak sekolah. Pada 2016, angkanya menurun ke sekitar 4,6 juta anak.

Kedua, adalah faktor masih rendahnya angka rata-rata lama sekolah (RLS). Pada 2018, angka rata-rata lama sekolah anak Indonesia mencapai 8,17 tahun, naik dari 7,73 tahun pada 2014. Artinya rata-rata anak Indonesia hanya bersekolah sampai usia SMP—itu pun hanya sampai kelas VIII (atau sekitar usia 15 tahun). Angka ini kemudian berkorelasi dengan angkatan kerja Indonesia secara nasional, yang didominasi oleh lulusan SD dan SMP, yakni 58%.

Angka-angka di atas membuat kita miris. Salah satu strategi nasional yang bisa dijadikan jalan keluar jangka panjang saat ini dan ke depan nanti adalah penerapan sistem zonasi siswa. Sistem ini memang tidak bisa serta-merta mengubah kualitas pendidikan kita, tetapi setidaknya akan mengurangi tingkat putus sekolah dan menaikkan rata-rata lama sekolah di Indonesia.

Sistem zonasi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa diaplikasikan secara simultan dan terintegrasi dengan berbagai kebijakan pendidikan lainnya, termasuk harmonisasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Khususnya mengingat UU Pemerintah Daerah mencatat bahwa “pendidikan” adalah salah satu urusan pemerintahan yang diurus oleh pemerintah daerah.

Dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), pemerintah daerah (provinsi dan kota/kabupaten) memiliki kewajiban untuk memenuhi pelayanan dasar SPM pendidikan. Artinya, pemerintah daerah juga punya andil dan sama-sama memikul beban untuk membangun dan mencapai kualitas pendidikan bermutu di tanah air.

Secara simultan, integratif, dan komperehensif, sistem zonasi ini harus berjalan seiring dengan beberapa hal di bawah ini.

Pertama, skema rotasi guru (dengan prasyarat teknis tertentu). Kedua, peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru. Ketiga, perubahan paradigma pembelajaran siswa oleh guru di sekolah menjadi “paradigma kolaborasi”, bukan melulu “paradigma kompetisi”, seturut tuntutan keterampilan yang relevan seperti yang telah dirumuskan oleh UNESCO sebagai 4C (creativity, crticial thinking, communication, collaboratrion). Keempat, pengembangan dan pembangunan infrastruktur sekolah di daerah.

Kemudian kelima, pendataan sekolah, calon siswa alih jenjang, demografi siswa yang benar-benar valid oleh dinas daerah (Dukcapil dan Pendidikan). Keenam, sistem akreditasi yang tidak lagi memproduksi Nilai A, B, C, dst seperti saat ini, yang mengakibatkan pengkastaan sekolah. Ketujuh, perjelas posisi Ujian Nasional (UN). Sekali lagi, sejak 2015, UN bukan lagi penentu kelulusan siswa, tidak pula menjadi ukuran apakah sebuah sekolah unggulan atau tidak.

Kedelapan, bangun koordinasi dan kesamaan pandangan antara Kemdikbud dengan Pemerintah Daerah termasuk Kemdagri. Sebab, pengaturan SMA, SMK, SLB adalah otoritas Pemerintah Daerah Provinsi, sedangkan SD dan SMP ada di bawah Pemerintah Daerah Kota/Kab. Tak semestinya pusat bersusah payah melaksanakan zonasi siswa demi keadilan pendidikan, tetapi daerah malah ogah-ogahan melaksanakannya.

Kesembilan, penguatan politik anggaran APBD daerah untuk pendidikan, sehingga mencapai 20% sesuai amanah UUD 1945. Sebab masih banyak daerah yang "tidak serius" mengelola pendidikan, terlihat dari anggaran pendidikan daerah di Neraca Pendidikan Daerah (NDP) yang jauh di bawah 20%;

Kesepuluh, pemerintah pusat hendaknya lebih longgar memberikan ruang bagi daerah dalam mengimplementasikan Permedikbud 51 Tahun 2018 beserta revisinya, Permendikbud 20 Tahun 2019. Daerah juga dituntut lebih fleksibel dan kreatif dalam membuat aturan teknis administratif, alokasi presentase (jalur zonasi, prestasi, afirmasi, inklusi, dan perpindahan orangtua) yang disesuaikan dengan konteks lokal, kondisi demografis, kekuatan infrastruktur, dan aspirasi masyarakat. Artinya alangkah baiknya jika sistem zonasi siswa dilaksanakan secara bertahap di daerah dan diutamakan bagi daerah-daerah yang sudah mendekati pemenuhan delapan standar nasional pendidikan—atau setidaknya yang memiliki anggaran pendidikan (APBD) minimal 20% sesuai amanat konstitusi.

Implementasi sistem zonasi dalam PPDB harus beriringan dengan perbaikan dan pembenahan sepuluh poin penting di atas agar berjalan simultan, terintegrasi, dan komprehensif. Jika tidak, sistem zonasi akan berjalan setengah-setengah. Tujuan pemerataan akses pendidikan dan kualitas pendidikan nasional pun gagal tercapai.

Pemerintah nampaknya tengah membenahi hal-hal tersebut secara simultan, integratif, dan berkelanjutan. Butuh kesabaran untuk melaksanakan dan menunggu hasilnya. Jika langkah ini terus-menerus dilakukan, sedikit demi sedikit label "sekolah unggulan" dan "bukan sekolah unggulan" akan terhapus.

Para guru yang terbiasa nyaman mengajar di sekolah yang katanya favorit dan unggulan itu, pasti akan sedikit "terganggu". Setidaknya mengusik kenyamanan mereka mengajar para siswa selama ini yang notabene nilainya sudah tinggi, relatif homogen, berasal dari keluarga berkecukupan, dan mampu mengakses tempat bimbingan belajar berkelas.

Kini para guru dituntut untuk mengajar siswa yang nilainya heterogen, latar belakang kondisi ekonominya berbeda-beda, demikian pula keluarganya. Mampukah guru (yang katanya) "sekolah unggulan" itu mengajar anak-anak yang benar-benar heterogen dan unik? Akankah para peserta didik ini memperoleh nilai maksimal serta diterima di perguruan tinggi negeri seperti yang selama ini dibangga-banggakan?

Eksistensi "sekolah swasta" pun mesti dipikirkan oleh pemerintah (daerah) agar tak kehilangan calon siswa pada musim pendaftaran karena mereka berlomba-lomba masuk sekolah negeri. Seandainya ke depan zonasi juga berlaku bagi sekolah swasta, saya harap pemerintah benar-benar mendengar keluhan dan aspirasi sekolah swasta—mengingat "kasta" sekolah swasta juga sangat beragam ditinjau dari kapital, SDM, akses, infrastruktur, siswa, dan potret ekonomi orangtua siswa.

Sistem zonasi dibuat agar semua peserta didik—terlepas dari kondisi ekonomi, kelas sosial, dan prestasinya—bisa bersekolah di sekolah yang jaraknya dekat dengan rumah. Sudah semestinya siswa bebas dari beban waktu dan jarak menuju sekolah yang bisa membenani secara psikologis.

Kebijakan zonasi dalam PPDB yang progresif dan berani ini baru berjalan tiga tahun. Sambil melakukan perbaikan di aspek-aspek seperti di atas, akan lebih baik jika kita mengevaluasi sistem baru ini tahun depan. Sebab, peserta didik lulusan SMP/SMA/SMK dengan sistem zonasi baru akan lulus pada 2020.

Jika semua berjalan sesuai rencana, saya yakin angka putus sekolah di Indonesia akan jauh berkurang, angka rata-rata lama sekolah akan makin meningkat, dan angkatan kerja kita tidak lagi didominasi oleh lulusan SD dan SMP.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.