Menuju konten utama

Sisik Melik Royalti Musik

Dalam hak ekonomi, ada yang disebut performing rights atau “hak eksklusif untuk menyiarkan, menampilkan, menayangkan, memutarkan komposisi atau lagu yang sudah dibuat kepada khalayak luas."

Sisik Melik Royalti Musik
Ilustrasi siluet wanita menyanyi di studio rekaman. FOTO/iStock

tirto.id - Perbincangan seputar konser Guns N Roses di Jakarta belum sepenuhnya reda ketika personel Superman Is Dead (SID) JRX meminta Via Vallen untuk tidak lagi menyanyikan lagu “Sunset di Tanah Anarki.”

Ngefan tapi sama sekali gak pernah minta izin bawain lagu SID. Dan lagu ini pesannya besar. Vallen paham gak apa yang ia nyanyikan? Ini bukan tentang nominal. She’s degrading the meaning of the song,” cuit JRX di Twitter. Di Instagram, keluhan JRX menjadi-jadi. Pemain drum SID itu menyatakan jika pihaknya tak bereaksi, Via Vallen atau penyanyi lain akan kembali melakukan kesalahan serupa: “memperkaya diri memakai karya orang lain sekaligus membunuh ruh karya tersebut.”

Setahun sebelumnya, urusan membawakan ulang atau mengkover lagu juga pernah dipersoalkan vokalis Payung Teduh Muhammad Istiqamah. Walau Is, sapaan akrab sang vokalis, tak mengatakan Hanin Dhiya merusak ruh lagu “Akad,” perbincangan yang kemudian mengemuka sama saja: urusan izin, aturan-aturan mengenai hak cipta, dan royalti. Soal terakhir tak terelakkan mengingat popularitas video versi Hanin Dhiya melampaui klip resmi Payung Teduh di Youtube.

Dalam “Laris Manis Lagu Akad Bagaimana Hukumnya,” M Faisal Reza Irfan mengatakan pembicaraan soal budaya kover lagu tak bisa dilepaskan dari hak cipta yang melekat pada setiap musisi.

“Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) menempatkan hak cipta sebagai ‘hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Hakikatnya, hak cipta merupakan hak menyalin suatu ciptaan yang berlaku pada berbagai karya seni atau cipta,’” tulisnya.

Di mana ada hak cipta di situ ada pula hak moral dan hak ekonomi. Hak moral, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUHC 2014, meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal-hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sang kreator.

Sedangkan hak ekonomi, termaktub dalam Pasal 9 UUHC, meliputi penerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya.

Dalam ungkapan yang lebih mudah dipahami, sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Wahana Musik Indonesia (WAMI) Irfan Aulia kepada Tirto, contoh nyata hak ekonomi antara lain, jika musik dipakai untuk bentuk lain semisal iklan atau film, pemakai lagu harus membayar kepada pemilik hak cipta. Sedangkan hak moralnya, nama pencipta lagu wajib dicantumkan.

Dalam hak ekonomi, juga ada yang disebut performing rights atau “hak eksklusif untuk menyiarkan, menampilkan, menayangkan, memutarkan komposisi atau karya lagu yang sudah dibuat kepada khalayak luas." Menurut Irfan, sejak UUHC disahkan, kampanye mengenai performing rights semakin gencar.

Infografik Advertorial DJKI

Lembaga Manajemen Kolektif

Penulis buku Nice Boy Don’t Write Rock N Roll Nuran Wibisono menjelaskan: idealnya, musisi yang mengkover karya orang lain membayar royalti kepada sang pencipta lagu. Namun, dengan catatan khusus terkait penggunannya—misalnya untuk kegiatan-kegiatan non komersial—proses itu lazim pula digratiskan. Adapun soal royalti performing rights, Pencipta lagu akan mendapatkan royalti tersebut melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang dibayar penyelenggara acara.

UUHC mendefiniskan LMK sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Di Indonesia, ada 8 LMK dibidang musik yang telah mendapat izin operasional dari pemerintah yaitu Royalti Anugrah Indonesia (RAI), Karya Cipta Indonesia (KAI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), PAPPRI, Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Anugrah Royalti Musik Indonesia (Armindo), Star Music Indonesia (SMI). Terkait penarikan dan distribusi royalti dikoordinasikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Saat seseorang hendak mengkover lagu orang lain, secara teknis, hal yang mesti dilakukan pertama kali adalah memperoleh izin atau lisensi dari musisi bersangkutan. UUHC menjelaskan, lisensi adalah “izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.”

Setelah hak lisensi diberikan, penerima lisensi berkewajiban memberi royalti yang telah disepakati dalam perjanjian. Untuk besaran royalti yang diberikan, dilakukan sesuai perjanjian kedua belah pihak.

Namun, sebelum mendapatkan haknya, seorang pencipta atau pemegang hak cipta mesti lebih dulu tercatat sebagai anggota LMK. Hal itu diatur dalam Pasal 87 ayat 1 UUHC. “Untuk mendapatkan hak ekonomi, setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”

Sepanjang Januari-Oktober 2018, LMKN—di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)—telah menerima dan menyalurkan royalti musik dan lagu sebesar Rp. 38,559,299,690. Tahun lalu, uang yang diterima dan disalurkan adalah sebesar Rp. 38,915,215,451.

“JRX dan kawan-kawan harusnya bisa mendapat hak mereka jika tergabung dalam LMK. Hak berupa royalti performing rights,” ujar Irfan Aulia soal ribut-ribut JRX vs Via Vallen.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis