Menuju konten utama

Sisik Melik Pembatasan Merek

Tren pembatasan merek di sejumlah negara dianggap berbuah simalakama

Sisik Melik Pembatasan Merek
Ilustrasi brand business concept. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam Romeo & Juliet, lakonnya yang monumental, William Sheakespeare menulis: “Apalah arti sebuah nama? Andai kamu memberi nama lain untuk sekuntum mawar, ia akan tetap menebar aroma harum.”

Nama, dalam konteks drama Sheakespeare, seolah bukan sebuah entitas yang penting. Tapi coba tanyakan pertanyaan di atas kepada ribuan orang bermarga Aidit. Anda musti elus-elus dada mendengar jawabannya.

“Kami takut disangka punya kaitan dengan D.N. Aidit. Karena itu, nama marga Aidit tidak dicantumkan di ijazah atau dokumen-dokumen lain,” kata Abdul Rachman, salah satu anggota marga.

Marga Aidit berakar dari Yaman, Aidid. Pengguna nama ini tersebar dari Afrika Utara hingga Indonesia. Aktivitas politik Dipa Nusantara Aidit di masa lalu—hal yang kemudian menjadikannya sebagai buruan nomor satu Orde Baru—mengubah citra marga Aidid dari salah satu marga keturunan Nabi menjadi momok mengerikan di negeri ini.

Pentingnya sebuah nama bagi manusia tak ubahnya sebuah brand atau merek bagi sebuah perusahaan. Lebih dari sekadar identitas, merek, kata pakar Manajemen Merek Kevin Keller, bisa memberikan makna tersendiri bagi konsumen.

“Konsumen bisa merasakan suatu brand dari pengalaman menggunakannya dan program-program pemasaran yang diberikan produk tersebut selama bertahun-tahun. Mereka bisa tahu brand mana yang dapat memenuhi kebutuhannya dan mana yang tidak. Sebagai akibatnya, brand bisa sangat memengaruhi keputusan untuk membeli,” terang Keller sebagaimana dilansir marketing.co.id.

Merek bukan sekadar perkara nama. Ia bisa berwujud istilah, tanda, simbol, desain, atau kombinasi semuanya yang berfungsi untuk mengenali sekaligus membedakan satu produk atau jasa dari produk maupun jasa yang ditawarkan pihak lain. Menariknya, sebuah merek kadang tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional penggunanya, namun juga memenuhi kebutuhan emosional bahkan spiritual mereka. Dalam konteks semacam inilah keberadaan sebuah merek tak bisa dipandang sebelah mata.

“Merek bagi sebuah perusahaan tak ubahnya reputasi bagi diri seseorang. Anda mendapatkan reputasi dengan berusaha melakukan hal-hal sulit dengan baik,” kata Jeff Bezos, pemilik Amazon.

Beberapa waktu belakangan, pemerintah di sejumlah negara gencar melakukan pembatasan merek atau brand restriction. Tujuannya, melindungi konsumen dari produk-produk yang dianggap berbahaya. Namun demikian, aturan tersebut justru berbuah simalakama.

Merugikan Banyak Pihak

Prakteknya, pembatasan merek dilakukan dalam beberapa cara: mulai dari pengenaan fiskal, kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan pada kemasan, hingga yang paling ekstrem keharusan menggunakan kemasan polos atau plain packaging. Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi daya tarik produk.

Mula-mula diniatkan sebagai upaya melindungi konsumen dari produk-produk yang dinilai mengancam kesehatan, tren pembatasan merek muncul dari penerapan kemasan polos pada produk rokok di Australia (2012). Sejak saat itu, negara-negara seperti Perancis dan Inggris turut menerapkan aturan serupa. Di Asia, kebijakan yang sama, dalam waktu dekat bakal diadopsi Thailand dan Singapura.

Infografik Advertorial JTI

Infografik Advertorial Di Balik Pembatasan Merek. tirto.id/Mojo

Pada 2017, situs Austrian Economics Center menulis: “Lima tahun lalu, kemasan polos untuk tembakau diperkenalkan di Australia. Sejak itu, banyak negara mengikuti, tetapi mungkin lebih baik melihat dampaknya di Australia—hasilnya agak buruk.”

Sebagai gambaran, data National Drug Strategy Household Survey (NDSHS) menyebut secara statistik tak ada penurunan signifikan soal tingkat merokok harian di Negeri Kanguru: dari 12,8% pada 2013 menjadi 12,2% pada 2016.

Jika pembatasan merek di sejumlah negara fokus pada rokok dan alkohol, di Chili, sejak tiga tahun lalu, aturan tersebut bahkan sudah menyentuh produk makanan. Produsen-produsen makanan yang dinilai mengandung kalori tinggi diharuskan memberi label tanda “stop” pada kemasan produk mereka. Terang saja para pemilik merek melayangkan protes kepada pemerintah sebab aturan tersebut dianggap menyulitkan konsumen dalam mengenali sebuah produk—dan di saat bersamaan membuka celah pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Adapun di Afrika Selatan, pada 2017 pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan agar produk-produk minuman beralkohol dilengkapi gambar peringatan yang sangat jelas dengan porsi seperdelapan total label kemasan. Lepas dari aturan tersebut, setahun kemudian Afrika Selatan malah tercatat ke dalam 6 besar negara pengkonsumsi minuman beralkohol di dunia. WHO menyebut alih-alih minuman bermerek, masalah besar terkait minuman beralkohol di negara tersebut justru terletak pada shebeen—bar-bar yang menjual minuman ilegal.

Lantas bagaimana dengan situasi di Indonesia? Dilansir dari Marketeers.com, pemerintah kita telah menerapkan peringatan kesehatan bergambar pada industri rokok. Aturannya: tampilan gambar peringatan harus terpampang 40% pada kemasan tembakau. Ironisnya, meski tak ada bukti bahwa aturan tersebut berhasil, pihak Kementerian Kesehatan justru mengusulkan agar ketentuan tersebut ditingkatkan hingga 90%.

Sejumlah pihak menilai ketika kebijakan pembatasan merek dan kemasan polos produk diterapkan, dampaknya tidak hanya merugikan pelaku industri, namun juga konsumen. Bagi konsumen, minimnya identitas dan informasi akan menyulitkan mereka dalam membedakan produk serta membatasi kebebasan mereka memilih produk yang diinginkan. Sementara bagi industri, aturan ini berpotensi membatasi kreativitas dan inovasi perusahaan dalam rangka menjaga kelangsungan identitas brand atau produknya.

Dampak lainnya: kemasan polos juga berpeluang membuka celah bagi masuknya produk-produk palsu atau ilegal. Di Australia sendiri, dua tahun setelah kebijakan kemasan polos diterapkan, jumlah tembakau ilegal justru meningkat hingga 30%. Akibatnya, sebagaimana tertuang dalam laporan “Tembakau Gelap di Australia 2016”, negara kehilangan pajak sebesar $1,6 miliar AUD.

“Ketika semua kemasan terlihat sama, konsumen menjadi kurang sadar akan perbedaan merek. Ini dikenal sebagai 'komoditisasi', yang sering mengakibatkan konsumen memprioritaskan harga di atas pertimbangan kualitas lainnya,” tulis W. Scott Thurlow.

Kebijakan pembatasan merek dianggap sebagai kemunduran karena dilihat dari sisi pelaku usaha, hal demikian membatasi ruang gerak mereka untuk menghidupkan identitas produk. Sedangkan dilihat dari sudut pandang konsumen, hal tersebut berpotensi menimbulkan kekhawatiran berlebih dengan adanya gambar peringatan kesehatan.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Packaging Federation pada 24 Juli 2019 lalu, kecemasan menghilangnya identitas karena pembatasan merek ini mencuat. Para pelaku usaha yang hadir dalam diskusi tersebut, terutama dari produsen makanan dan minuman, mengaku akan kesulitan melakukan positioning produknya di tengah pasar jika branding serba dibatasi. Yang terjadi, sekali lagi: produk tampak seragam, satu sama lain tidak punya kekhasan, dan itu bisa menyulitkan konsumen memilah produk yang tepat bagi kebutuhannya.

Omong-omong soal merek, Samir Dixit, Managing Director dari Brand Finance Asia Pacific of Brand Finance PLC, menyatakan bahwa entitas penting tersebut punya kekuatan yang pengaruhnya tidak hanya dirasakan konsumen sebagai pengguna akhir, namun juga pada pemegang saham dan nilai bisnis.

"Setiap tahun sekitar 95% produk baru gagal di pasaran karena kesalahan branding. Merek dan kemasan diperlukan agar konsumen terinformasi dengan baik akan kandungan produk, latar belakang produsen, distributor, dan lain-lain,” katanya.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Freddy Harris menegaskan, mengangkat sebuah merek bukanlah urusan gampang. Agar sebuah merek diterima masyarakat, butuh konsistensi, komitmen, investasi, dan lain sebagainya. Karena itulah selama pemangku kebijakan punya itikad baik memenuhi kebutuhan produsen dan konsumen, aturan soal pembatasan merek justru bertolak belakang dari konsep merek itu sendiri.

Dari perilaku Orde Baru kita belajar: pencekalan terhadap seorang D.N. Aidit puluhan tahun silam telah menimbulkan efek domino bagi kaum semarga dan senegara, bahkan hingga hari ini. Karena itulah di era serba terbuka begini kita berharap kekhawatiran berlebihan terhadap sebuah produk, sebuah merek, bisa disikapi dengan lebih bijak dan hati-hati.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis