Menuju konten utama

Sisi Gelap di Balik Kecantikan Barbie

Pada 2006, Jurnal Developmental Psychology edisi 42 melaporkan bahwa anak-anak perempuan yang main Barbie memiliki rasa kepercayaan diri yang lebih rendah serta hasrat yang lebih besar untuk mempunyai tubuh kurus ketimbang anak-anak yang tidak main boneka sama sekali atau main boneka yang mencerminkan bentuk tubuh berbeda dari Barbie.

Sisi Gelap di Balik Kecantikan Barbie
Boneka Barbie. [Antara Foto/Reuters/Mattel]

tirto.id - Di sebuah hutan yang berwarna kuning, seorang musafir menemukan sebuah simpang. Ia berhenti sejenak, mengamati dua jalan setapak—yang terlihat sama baik—di hadapannya, lalu memilih salah satu. “Jalan yang lain,” kata musafir itu kepada dirinya sendiri, “akan kutempuh kalau aku kembali.” Tetapi ia tahu ia takkan kembali, dan ia membayangkan kelak, di hari depan, ia akan mengesah dan berdusta: “Ada jalan bersimpang di hutan, dan aku telah memilih cabang yang jarang dilewati orang. Itulah yang menentukan.”

Demikian cerita dalam puisi “The Road Not Taken” karya Robert Frost. Puisi termahsyur itu, sebagaimana pendapat kritikus sastra Lionel Trilling pada 1959 tentang karya-karya Frost, adalah “parabel gelap tentang keadaan manusia.” Ia adalah suara murung tentang kemustahilan menjalani pilihan-pilihan yang terlewat dalam hidup, dan tentang penghiburan yang diucapkan orang, dengan pikiran berkabut, kepada diri masing-masing: Saya sudah mengambil keputusan terbaik.

Seorang remaja Magetan atau Toli-toli yang baru lulus SMA, misalnya, tidak akan pernah tahu apakah keputusannya kuliah di jurusan karawitan lebih baik daripada kesempatan menjadi pengendara motor tong setan atau teruna Akademi Imigrasi yang ia lewatkan. Demikian pula perempuan yang meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk bergabung dengan jemaat pemuja tangkai keladi atau demi seorang pria berzakar tiga. Tidak ada tombol setel ulang atau reset yang memungkinkan mereka mundur ke saat-saat penentuan dan mengulang dengan keputusan baru.

Hasrat manusia untuk menjajal pilihan-pilihan yang tidak atau belum mereka ambil itulah yang dilayani oleh video game simulasi kehidupan seperti The Sims dan, sejak puluhan tahun sebelumnya, oleh Barbara Millicent Roberts.

Nona Roberts dari Wisconsin itu diciptakan dari plastik, oleh Ruth Handler dari Mattel Creations, dan diperkenalkan ke publik untuk kali pertama pada pameran mainan di New York pada 9 Maret 1959. Ia diorbitkan dengan nama panggung yang terdengar manja dan kenes: Barbie.

Handler mendapatkan gagasan tentang Barbie ketika melihat anak perempuannya, yang bernama Barbara, memainkan boneka kertas. Si anak mengarang pelbagai cerita dan peran untuk mainannya. Saat itu Handler menyadari dua hal, yakni menjajal masa depan dari jarak aman lewat permainan peran adalah bagian penting dalam pertumbuhan anak dan ada ceruk dalam bisnis mainan untuk boneka “fashion” yang lebih baik, awet, dan luwes untuk diotak-atik.

Hasilnya adalah ledakan besar. Pesan yang hendak disampaikan Ruth Handler, bahwa “perempuan bisa dan berhak memilih” diterima oleh banyak orang. Mattel berhasil menjual 300 ribu Barbie di tahun pertama. Kini Barbie telah terjual sebanyak miliaran unit (Mattel tidak pernah merilis angka persisnya) dan sukses bertahan sebagai salah satu mainan utama di dunia, dengan basis penggemar yang setia dan terbarui secara ajek. Nilai kotor penjualan Barbie pada 2015 adalah 906 juta dolar Amerika Serikat, sekitar tiga kali lipat anggaran pendapatan Timor Leste atau sedikit lebih banyak dari hasil penjualan dan pajak cimeng di Colorado, Amerika Serikat.

Di media sosial, sebagai perempuan plastik berumur 57 tahun seukuran jenglot, popularitas Barbie sama sekali tidak buruk. Ia punya 13,5 juta penggemar di Facebook, 766 ribu pengikut di Instagram, dan 261 ribu pengikut di Twitter. Dibandingkan Hillary Clinton, misalnya, Barbie 3 kali lipat lebih populer di Facebook. Dan di Twitter, ia 10,5 kali lipat lebih tenar ketimbang Arman Dhani.

Boneka itu telah dipasarkan bersama perlengkapan yang mewakili lebih dari 180 jenis pekerjaan, mulai dari dokter gigi hingga joki balap kuda. Sebagai pelengkap, Mattel juga memproduksi rumah, anak, pasangan (Ken), saudara kandung (Skipper, Stacie, dan Chelsea), serta teman-teman (Midge dan Alan) Barbie. Apabila kreativitas para pemainnya diperhitungkan, pilihan dalam hidup Barbie tentu jadi semakin luas. Dengan sedikit sentuhan pada tata rambut dan pakaiannya, ia bisa tampil meyakinkan baik sebagai atlet e-sport maupun peternak kambing etawa.

Sebagaimana lazimnya produk-produk besar, Barbie pun naik tingkat dari nama karakter menjadi nama jenis. Meski boneka yang dimaksud adalah Skipper atau Ken, atau bahkan produk-produk serupa bikinan perusahaan selain Mattel, orang-orang biasa menyebutnya Barbie.

Natasya Putri, pemeran utama film pendek terbaik Festival Film Indonesia 2011, Bermula dari A, mengatakan bahwa salah satu ingatannya yang paling dini adalah Barbie. Ia berbagi koleksi dan kerap memainkan boneka itu dengan kakak, adik, dan bibinya hingga saat ini. “Cara main Barbie sebetulnya mirip bikin skenario,” ujar Tasya. “Kami [pemain] membuat dialog dan men-dubbing boneka, dengan karakter, latar, dan suasana yang dicocokkan.”

Menurut Tasya, Barbie istimewa karena disertai rupa-rupa printilan dan bisa disolek dengan berbagai cara, berbeda dari boneka-boneka lain. “Kalau main Barbie, aku, kakak, dan adiku sering gatel pengin motong rambutnya. Tapi jadinya jelek,” katanya. Sambil tertawa, Tasya mengaku punya sejumlah Barbie berkepala gundul.

Sisi Gelap dan Laskar Netizen

Sekalipun tidak pernah ditampilkan secara mengerikan sebagaimana Chucky si boneka bayi jahanam dalam 6 film Child's Play (1988-2013) atau boneka badut dalam Poltergeist (1982), sejumlah pihak menganggap Barbie punya sisi gelap yang tak kalah seram.

Jess Joho dalam tulisannya di situs Kill Screen menyatakan bahwa hubungan antara seorang gadis kecil dan Barbie nyaris lebih erat ketimbang antara gadis itu dan anggota-anggota keluarganya, dan hubungan tersebut, hingga taraf tertentu, ikut membentuk kepribadian dan imajinasinya. Maka, wajar banyak anak-anak yang, setelah bergaul dengan Barbie, berpikir bahwa kecantikan sama dengan kulit putih + tubuh ramping, dan mempertahankan gagasan itu sampai dewasa.

Belum lagi kekeliruan politis yang berulangkali dilakukan Mattel dalam buku-buku cerita pengiring Barbie. Pada 1959, buku pengiring “Barbie Babysitter” memberikan petunjuk ciamik kepada jutaan anak-anak untuk menurunkan berat badan: Tidak usah makan. Kasus mutakhir pada 2014 berasal dari buku Barbie: I Can Be A Computer Engineer (2010). Dalam buku itu, Barbie berperan sebagai insinyur komputer yang berencana membuat sebuah video game edukatif, tapi “hanya menyumbangkan ide desain” untuk selanjutnya diwujudkan menjadi “video game sungguhan” oleh Steven dan Brian.

Sampai di situ, sebagian pembaca buku itu mungkin sudah merengut. Namun, sihir yang benar-benar memindahkan neraka ke markas Mattel ialah bagian selanjutnya: Barbie ternyata memiliki pengetahuan dan keterampilan komputer setara orang yang tidak bisa membedakan antara CPU dan UPS. Saat dia berusaha mengirimkan rancangannya kepada Steven dan Brian, komputernya terkena virus. Lalu komputer Skipper, berkat kecemerlangan Barbie, juga terkena virus. Amboi! Nona-nona dalam bahaya. Steven dan Brian datang dan menyikat habis persoalan, dan Barbie minta tos.

Pamela Ribon, seorang penulis skenario film dan televisi, memacak tinjauannya atas buku tersebut di blognya pada 17 November 2014, dengan judul “Barbie Fucks It Up Again.” Sehari kemudian, situs teknologi Gizmodo memuat ulang tulisan itu dan internet gonjang-ganjing dan para netizen terjun ke palagan dengan papan ketik terhunus.

Hasilnya: 1. Mattel menerbitkan permohonan maaf resmi dan menyatakan bahwa penggambaran Barbie dalam cerita tersebut tidak mencerminkan visi perusahaan. “Kami percaya bahwa perempuan mesti diberdayakan untuk memahami bahwa tak ada yang mustahil dan mereka tinggal di dunia tanpa batas,” ujar Lori Pantel, wakil presiden pemasaran global merek Barbie, dalam sebuah konferensi pers.

2. Kathleen Tuite, seorang konsultan ilmu komputer di Santa Cruz, California, membuat situs Feminist Hacker Barbie untuk menampung cerita-cerita tandingan tentang Barbie si tukang insinyur. Situs itu telah menerima lebih dari 2 ribu tulisan.

3. Pengarang Barbie: I Can Be A Computer Engineer, Susan Marenco, telungkup di selokan dalam keadaan serba bonyok. Selain ratusan kritik, makian, dan tuduhan di pelbagai situs, ia juga menerima 200an surel tentang buku tersebut. “Banyak yang aku tidak berani membukanya,” ujar penulis yang telah menghasilkan lebih dari 60 buku itu kepada ABC News. Kemudian, sebuah gema dari “The Road Not Taken”: “Kuharap waktu itu aku menciptakan salah seorang pemrogram [Steven atau Brian] sebagai perempuan.”

Pada 2006, Jurnal Developmental Psychology edisi 42 melaporkan bahwa anak-anak perempuan yang main Barbie memiliki rasa kepercayaan diri yang lebih rendah serta hasrat yang lebih besar untuk mempunyai tubuh kurus ketimbang anak-anak yang tidak main boneka sama sekali atau main boneka yang lebih gemuk ketimbang Barbie.

Sepuluh tahun setelah tulisan tersebut, Mattell memproduksi Barbie dalam tiga bentuk tubuh baru, yaitu mungil (petite), montok (curvy), dan jangkung (tall). Selain itu, ada pula 7 warna kulit, 24 gaya rambut, serta 7 warna iris baru.

Eny Susilowati, staf humas radio Swaragama FM dan mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, menyambut pembaruan terhadap mainan masa kecilnya tersebut: “Perlu atau tidaknya relatif, tapi itu jelas hal yang sangat baik. Lebih-lebih karena sekarang orang-orang cenderung 'lebih peduli' kepada apa pun.”

Eny tidak menyangkal pandangan bahwa Barbie bertanggung jawab atas tertanamnya sejumlah ide yang keliru tentang kecantikan, posisi perempuan dalam masyarakat, dan lain-lain di kepala anak-anak. Tapi, menurut dia, orang tidak harus memandang dengan cara itu, dan ada banyak jalan buat memperkenalkan sistem nilai kepada anak selain merecoki perusahaan mainan. "Semua tergantung cara, tergantung bagaimana kita mulai," ujarnya. "Kalau kita mulai bicara tentang kosmologi sebagai urusan agama, ya, sampai rampung tetaplah di lingkup agama. Begitu pula kalau kita mulai dalam kerangka ilmu pengetahuan, mesti ajek di dalam kaidah-kaidah ilmu pengetahuan."

“Kalau aku sekarang punya anak dan dia minta Barbie, aku akan belikan. Kalau dia baca cerita itu [Barbie: I Can Be A Computer Engineer], tidak masalah.” kata Eny. “Salah satu peran utama orangtua adalah bicara dengan anak dan membantu proses berpikirnya.”

Baca juga artikel terkait BARBIE atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti