Menuju konten utama

Sisa Friksi Hanura Wiranto vs OSO, Sengketa Gedung Pusat Partai

Ribut-ribut di Hanura antara Wiranto dan OSO tak juga selesai. Kini medan baru muncul: kepemilikan kantor DPP di Jakarta Timur.

Sisa Friksi Hanura Wiranto vs OSO, Sengketa Gedung Pusat Partai
Suasana kantor DPP Hanura yang disegel Ditreskrimum Polda Metro Jaya di Jalan Hankam, Cipayung, Jakarta Timur, Rabu (2/9/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

tirto.id - Konflik antara Oesman Sapta Odang (OSO) dan Wiranto terkait Partai Hanura kembali terjadi. Kali ini terkait status Gedung DPP Partai Hanura di Jalan Raya Mabes Hankam Nomor 69, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, setinggi lima lantai, berdiri di atas tanah 4.743 meter persegi.

Wiranto, Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) terakhir, adalah pendiri Hanura, sementara OSO kini berstatus ketua umum.

Wiranto bahkan pernah dituding pengkhianat partai oleh pengurus. Wiranto menjawab: “Ini partai ide saya, gagasan saya, saya dirikan, saya besarkan. Saya mengkhianati siapa?”

Pada Juli lalu, Rhony Sapulette, yang mengatakan diberi kuasa sebagai penasihat hukum oleh pimpinan Hanura saat ini, menyurati Wiranto untuk memberitahukan gedung itu akan dipergunakan oleh DPP saat ini. Sepekan berlalu, surat itu tak ada respons. Maka ia kembali melayangkan surat kedua yang berisikan klausul: “Jika tak menanggapi surat ini artinya pihak Wiranto mengetahui dan menyetujui gedung itu segera dipakai oleh partai.”

Berita acara ihwal ‘serah-terima gedung perkantoran’ bertanggal 11 September 2017 jadi bekal dia mengurus perkara. Berita acara serah-terima gedung ditandatangani di atas meterai oleh Wiranto sebagai pihak pertama dan OSO sebagai pihak kedua. Gedung akan dipersiapkan untuk pilkada Serentak.

Karena tak juga ada tanggapan, pada 2 Agustus, Rhony dan beberapa kader menyambangi kantor. Mereka bertemu dua petugas keamanan. “Saya sampaikan ke petugas, gedung ini milik Partai Hanura. Saya menunjukkan berita acara penyerahan itu dan menempelkannya di pos jaga,” jelas Rhony ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/9/2020).

Ia juga mengatakan “dalam kegiatan apa pun Wiranto menyampaikan gedung ini milik Hanura,” sehingga menurutnya kepengurusan yang sekarang berhak memakai. “Kalau ada permasalahan, itu antara pribadi Wiranto dengan pengurus DPP serta kader Hanura seluruh Indonesia,” katanya.

Kemudian mereka membersihkan ruangan dan area sekitar gedung.

Sehari kemudian Rhony malah diadukan ke Polda Metro Jaya oleh M. Arifsyah Matondang, pelapor pihak Wiranto, dengan dugaan penyerobotan lahan. Pada 19 Agustus, polisi memeriksanya sebagai saksi terlapor. Dia menyampaikan ke polisi bahwa tak melakukan hal yang dituduhkan.

Pada 31 Agustus, Rhony diberi tahu petugas keamanan gedung bahwa polisi, dalam hal ini Direktorat Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, mencopot bendera partai, memasang garis polisi, dan menggembok pintu ruangan.

Rhony mengatakan gedung itu mulai dibangun pada 2015, biaya yang dihabiskan mencapai Rp26 miliar, berasal dari kas partai. “[Pembangunan] gedung itu dipastikan pakai dana partai, tidak ada duit pribadi,” katanya, membantah tudingan yang menyebut gedung dibangun pakai uang Wiranto.

Klaim Pihak Wiranto

Sementara Adi Warman, kuasa hukum Wiranto, bersikeras gedung dan tanah tersebut atas nama kliennya. Dana pembangunan pun dari sang mantan Pangab. Ini berbeda dengan pernyataan Rhony bahwa mereka tak pernah melihat sertifikat atas nama Wiranto.

Ketika menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura, Wiranto menyerahkan kantor untuk dipergunakan pengurus dengan berbagai kesepakatan, termasuk keharusan untuk membayar sewa. Namun, kata Adi ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis, “faktanya hingga saat ini dia (OSO) tidak pernah bayar sewa, tidak pernah bayar listrik, dan sebagainya.”

Atas dasar itulah “Pak Wiranto mencabut itu semua (izin pakai gedung).” Pemberitahuan pencabutan disampaikan melalui surat tanggal 23 Maret 2020, yang ditandatangani Wiranto dan ditujukan langsung ke OSO.

Atas dasar itu Adi bilang kedatangan Rhony dan rombongan adalah upaya menguasai bangunan tanpa izin. Adi juga menegaskan ke Rhony via telepon, bahwa yang berwenang menjadi eksekutor hanya juru sita dan jaksa, bukan pengacara. Karena itu pula mereka melaporkan pihak OSO ke Polda Metro Jaya, dengan persangkaan Pasal 167 KUHP dan/atau Pasal 365 KUHP juncto Pasal 55 KUHP.

Nama Wiranto tercatat dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 05804 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur. Pembukuan dan penerbitan sertifikat bertanggal 17 Februari 2016, ditandatangani oleh Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur Lihardo Saragih.

Nama Wiranto juga teregistrasi di Keputusan Kepala Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Administrasi Jakarta Timur Nomor: 6336/C.37B/31.75/-1.785.51/2019 bertanggal 27 September 2019, yang ditandatangani oleh Kepala Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Administrasi Jakarta Timur, Desti Ernaningsih, perihal izin mendirikan bangunan.

Ketua Pusat Studi Hukum Agraria Universitas Islam Indonesia Mukmin Zakie berpendapat harus diteliti apakah tanah tersebut memang milik Wiranto atau ia hanya mengatasnamakan saja.

“Karena partai tidak bisa mempunyai tanah dengan hak milik, sebab bukan termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Sehingga bisa saja untuk memperkuat itu diatasnamakan,” tutur Mukmin ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis.

Baca juga artikel terkait KONFLIK HANURA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino