Menuju konten utama

Sinopsis Novel "Salah Asuhan" Karya Abdoel Moeis

Novel "Salah Asuhan" karya Abdoel Moeis yang bercerita tentang kehidupan pribumi di masa penjajahan Belanda yang penuh diskriminasi.

Sinopsis Novel
Abdoel Moeis tirto.id/Rangga

tirto.id - Novel Salah Asuhan adalah satu di antara beberapa karya tulisan dari Abdoel Moeis. Diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka 1928, tahun di mana penjajah Belanda masih bercokol di Indonesia, sehingga tulisan yang bisa terbit hanya yang lolos sensor pemerintah Hindia Belanda saja.

Balai Pustaka sendiri banyak menerbitkan buku-buku sastra hingga kini, namun di masa penjajahan, penerbitan tersebut diberi julukan ‘cocok untuk bacaan pribumi’.

Tulisan yang boleh dibukukan hanya yang menggunakan bahasa melayu formal dan tidak menceritakan kekejaman kolonial.

Salah Asuhan adalah novel yang berlatar belakang kehidupan pribumi di masa penjajahan Belanda yang penuh diskriminasi.

Novel ini juga mengangkat permasalahan multi dimensi yang terjadi kala itu, mulai dari sistem perekonomian yang dijalankan serta budaya Eropa yang masuk dan memengaruhi kehidupan pribumi.

Pada 2010, Yayasan Lontar menerbitkan kembali Salah Asuhan dengan bahasa Inggris dan judulnya diganti menjadi Never The Twain.

Dilansir dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, tersebut diklaim menjadi salah satu karya tulis yang fenomenal pada masanya, serta telah dicetak ulang berkali-kali.

Sinopsis Novel Salah Asuhan

Tokoh utama dari novel Salah Asuhan bernama Hanafi, pemuda yang ditinggal mati oleh sang ayah dan harus hidup berdua sejak kecil dengan ibu saja. Ia adalah putra dari Solok, Melayu, dan dianugrahi kecerdasan lebih.

Karena kecerdasannya, Hanafi bisa melanjutkan sekolah menengah ke HBS, Hogere Burgerschool, sebuah sekolah yang dikhususkan bagi orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan pribumi yang elit saja. Biaya sekolah Hanafi dibayarkan oleh ibunda yang dibantu oleh pamannya juga.

Untuk bisa bersekolah, Hanafi dititipkan oleh ibunya pada keluarga Belanda, dan ia hidup bersama mereka.

Tingkah polah Hanafi pun perlahan dipengaruhi oleh keluarga Belanda tersebut. Pergaulannya lama kelamaan hanya berkutat seputar orang Eropa dan Belanda.

Hanafi pun mulai dekat dengan putri seorang Belanda bernama Corie sejak sekolah. Hanafi dan Corie kerap melakukan kegiatan bersama, mulai dari olahraga tenis hingga belajar dan jalan-jalan. Hanafi mulai menaruh hati pada gadis Eropa itu, sementara Corie hanya menganggap Hanafi sebagai teman.

Saat Hanafi mengungkapkan perasaannya, Corie mulai menjauh dan akhirnya memutuskan pindah dari Solok ke Betawi.

Hanafi yang patah hati selalu mengirim surat pada Corie, namun tak ditanggapi. Corie tak ingin menikah dengan pribumi yang derajatnya kala itu lebih rendah dari orang Eropa.

Hanafi pun mulai mengurung diri di kamar, terpukul dan tak punya semangat hidup lagi. Ibunya yang sedih lalu menjodohkan Hanafi dengan Rapiah, anak dari paman yang sudah membantu menyekolahkan Hanaffi ke HBS.

Hanafi menolak karena hanya cinta pada Corie saja, namun akhirnya ia bersedia menikahi Rapiah, gadis santun yang pendiam dan taat. Ia menikah karena balas budi, sebab pamannya tersebut yang sudah menyekolahkannya.

Perlakuan Hanafi pada Rapiah sangat kasar, namun istrinya itu sabar saja menghadapi kelakuan Hanafi yang sombong.

Mereka memiliki seorang putra bernama Syafii. Dua tahun berumah tangga, Hanafi yang kasar mendapat ganjaran dengan digigit anjing gila yang rabies. Ia pun tertular sehingga harus berobat ke Betawi.

Di Betawi, Hanafi pun berjumpa lagi dengan Corie yang makin cantik. Ia lalu mengajak Corie menikah setelah mendapat pekerjaan di Betawie. Hanafi juga segera melupakan Rapiah yang setia.

Pernikahan Hanafi dan Corie mendapat banyak halangan karena kedudukan pribumi Hanafi. Corie dijauhi teman Eropanya, sehingga ia pun perlahan mulai menjauhi Hanafi. Sampai suatu ketika Corie pergi ke Semarang.

Hanafi pun dijauhi oleh kalangan pribumi karena dianggap berkhianat dan memihak penjajah. Sementara dari kalangan Eropa, ia pun tidak diterima. Hanafi lalu mencari Corie dan mengetahui bahwa ia sudah ada di Semarang.

Di Semarang, Corie ternyata sedang sakit parah, karena wabah kolera saat itu. Ia kemudian meninggal dunia dan membuat Hanafi makin sedih.

Hanafi kemudian memutuskan kembali ke Solok, dan mulai menyesali keadaan dirinya lagi. Hanafi lantas meminum pil sublimat yang menyebabkan ia muntah darah dan meninggal dunia.

Biodata Abdoel Moeis, penulis novel Salah Asuhan

Abdoel Moeis adalah salah satu Pahlawan Nasional yang lahir di Minangkabau pada 3 Juli 1886 dan meninggal pada 17 Juni 1959.

Selain menjadi sastrawan Indonesia yang berpengaruh, ia juga adalah wartawan dan politikus yang turut memperjuangkan kemerdekaan RI.

Kiprahnya adalah menjadi salah satu pengurus organisasi Sarekat Islam, juga anggota Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda.

Abdoel Moeis menamatkan sekolah ELS di daerah, lalu melanjutkan ke Stovia (Kedokteran) di Jakarta namun tidak menamatkannya karena sakit. Pernah bekerja sebagai Klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst, selama dua tahun.

Ia lalu bekerja sebagai jurnalis di Bandung pada majalah Bintang Hindia, juga di surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca.

Masuk menjadi Volksraad mewakili Central Sarekat Islam tahun 1918, lalu sempat difitnah menjadi provokator sehingga seorang pengawas Belanda tewas terbunuh. Abdoel Moeis lalu dipenjara.

Ia juga mendorong didirikannya Technische Hooge School atau ITB sekarang, pada tahun 1918. Tulisan-tulisan Abdoel Moeis di media banyak mengkritik pemerintah Belanda, sehingga ia dilarang tinggal di Minangkabau dan diasingkan di Garut.

Baca juga artikel terkait BAHASA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Cicik Novita
Penulis: Cicik Novita
Editor: Yandri Daniel Damaledo