Menuju konten utama

Sinopsis Film Freedom Writers: Kisah Seorang Guru Hadapi Rasialisme

Sinopsis Film Freedom Writers (2007): kisah nyata tentang perjuangan guru di tengah ketegangan rasial dan pertikaian antargeng di AS.  

Sinopsis Film Freedom Writers: Kisah Seorang Guru Hadapi Rasialisme
Ilustrasi Bioskop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Film Freedom Writers (2007) menggambarkan bagaimana pendidikan yang "membebaskan" dapat menjadi suluh di tengah kecamuk pertikaian antargeng yang menyeret banyak anak ke lingkaran kekerasan. Diangkat dari kisah nyata, Freedom Writers yang debut untuk pertama kalinya di layar lebar pada tahun 2007 memberi kesan kuat tentang betapa mendasarnya peran pendidikan.

Sang sutradara, Richard LaGravenese berhasil memikat pemenang 2 Piala Oscar (2000 dan 2005), Hilary Swank, untuk berperan sebagai tokoh utama dalam Freedom Writers. Swank ditemani oleh aktor Patrick Dempsey yang menjadi lawan mainnya di film ini.

Buah karya LaGravenese tersebut menuai banyak pujian dari penonton sekalipun hanya menyabet 2 penghargaan, yakni Golden Camera 2008 di kategori Best International Actress dan Humanitas Prize 2007 (feature film). Data situs Rotten Tomatoes menunjukkan Freedom Writers memperoleh skor 87 persen dari 250 ribu lebih penonton.

Sinopsis Film Freedom Writers

Cerita dalam Freedom Writers berpusat pada pengalaman Erin Gruwell (Hilary Swank) dan murid-muridnya di SMA Woodrow Wilson, Long Beach, AS pada dekade 1990-an.

Sebagai guru dari kalangan kulit putih, Erin harus menemui fakta ia mengajar di kelas multiwarna: ada anak kulit hitam, latin hingga Asia. Di sisi lain, SMA Woodrow Wilson kala itu berada di tengah kawasan yang menjadi arena kekerasan geng dan ketegangan rasial.

Long Beach pada era 1990-an adalah wilayah dengan banyak remaja sudah terbiasa menggondol pistol di saku celana. Kasus kerusuhan dengan latar belakang isu rasial juga bukan lagi suatu yang asing di sana.

Alkisah, Erin Gruwell hadir di SMA Woodrow Wilson sebagai guru baru untuk pelajaran bahasa dan sastra. Menjalani debut mengajar, sang guru muda itu semula memasuki kelas dengan semangat bergelora sebagai pendidik. Namun, Erin segera menyadari bahwa tugas barunya bukan hal yang gampang saat melihat anak-anak bengal sekaligus gemar gelut menjejali bangku kelas.

Sebelumnya, akibat penerapan kebijakan integrasi, SMA Woodrow Wilson harus menerima murid yang berasal dari beragam latar belakang. Kebijakan baru itu terdengar manis. Pasalnya, murid dari berbagai ras memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan di sekolah itu.

Namun, ketegangan rasial di Long Beach menjadikan kebijakan itu bumerang bagi SMA tersebut. Akibatnya, Woodrow Wilson harus terlempar dari jajaran sekolah favorit di California.

Munculnya banyak perkelahian yang terjadi antarmurid akibat perbedaan ras membuat para guru kehilangan semangat untuk mengajar. Di tengah situasi seperti itulah Erin harus mengawali karier sebagai pendidik.

Guru yang biasa dipanggil Ms. G itu diberi tugas oleh kepala sekolah SMA Woodrow Wilson untuk mengajar murid-murid dari angkatan baru. Tugas ini membuat Erin menyaksikan sejumlah murid yang bersitegang di kelas pada hari-hari awal ia mengajar. Bahkan, saat memasuki kelas di hari pertama, ia sudah melihat pertikaian antara murid bernama Jamal dan Andre.

Salah satu siswanya bernama Tito membuat sebuah gambar yang mengilustrasikan Jamal dengan mulut besar dan bibir tebal. Gambar itu menjadi sebuah simbol kebencian dari Tito yang berdarah Latin-Amerika terhadap Jamal, murid keturunan Afro Amerika. Usai melihat gambar itu, Erin lantas memahami bahwa mayoritas muridnya menyimpan kebencian dan rasa curiga satu sama lain.

Rentetan peristiwa yang terjadi di kelas tentunya membuat Erin sedikit tertekan. Namun, itu tidak memadamkan api semangatnya untuk mencari metode pengajaran yang tepat. Ia pun rela untuk menjalankan dua pekerjaan sampingan sekaligus demi memenuhi kebutuhan buku baru buat para muridnya. Erin melakukan upaya itu di tengah minimnya bantuan dari sekolah.

Jenis buku yang dipilih oleh Erin berkaitan erat dengan isu rasialisme dan diskriminasi, seperti The Diary of Anne Frank. Strategi ini dilakukan Erin agar dapat meluluhkan hati para muridnya di kelas. Erin juga memberi tugas kepada para muridnya untuk menulis buku harian, menyerupai kegiatan yang dilakukan oleh Anne Frank ketika bertahan hidup di bawah bayang kekejaman rezim Hitler.

Metode Erin yang mendorong para murid mengonsumsi teks dan juga memproduksi teks ternyata dapat membangunkan kesadaran kolektif akan pentingnya solidaritas kepada sesama. Kelas yang semula bak "neraka" bagi guru lain pun berhasil diubah oleh Erin jadi ruang belajar yang hidup.

Baca juga artikel terkait SINOPSIS FILM atau tulisan lainnya dari Maysa Ameera Andarini

tirto.id - Film
Kontributor: Maysa Ameera Andarini
Penulis: Maysa Ameera Andarini
Editor: Addi M Idhom