Menuju konten utama

Singkirkan Laptopmu dan Mencatatlah

Laptop makin sering digunakan untuk membuat catatan kuliah. Tapi tahukah Anda, menulis catatan lebih ampuh dibanding mengetiknya di laptop.

Singkirkan Laptopmu dan Mencatatlah
Mahasiswa jarang mencatat ceramah guru dan dosen, mereka membuat catatan di laptopnya. Foto/Shutterstock]

tirto.id - Membuat catatan pelajaran atau kuliah dengan laptop memang praktis. Bisa lebih cepat, dan hasilnya bisa disimpan pada harddisk maupun penyimpanan cloud macam Google Drive. Bandingkan dengan mencatat di buku tulis. Selain perlu waktu lama, buku juga bisa tertinggal, robek, ketlingsut, bahkan hilang.

Guru dan dosen kini juga kerap memberi tugas yang harus diketik, bahkan sebagian harus dikumpulkan lewat e-mail. Jika membuat catatan kuliah di laptop, tentu akan lebih mudah mengerjakan dan mengumpulkan tugas-tugas dalam bentuk digital itu. Soal harga, bagi pelajar dan mahasiswa kelas menengah, laptop pun kian terjangkau. Terutama kategori low-end.

Jika melihat hal-hal di atas, tampaknya tak ada alasan untuk tak mencatat kuliah dosen dengan laptop. Tapi, riset baru-baru ini menyarankan hal lain. Jika kamu ingin lebih pintar, lupakanlah kebiasaan membuat catatan dengan laptop.

Pam A. Mueller dari Princeton University dan Daniel M. Oppenheimer dari University of California, seperti ditulis NPR, membuat studi yang membandingkan hasil belajar antara catatan yang dibuat dengan ditulis tangan dengan catatan yang dibuat di laptop tanpa mahasiswa membuka aplikasi lain.

Dalam studi yang dimuat Psychological Science (2014), Mueller dan Oppenheimer sejak awal mengingatkan hasil-hasil studi sebelumnya soal penggunaan laptop yang kontroversial. "Banyak profesor meyakini bahwa komputer (dan internet) menjadi distraksi, mengurangi diskusi dan proses pembelajaran," tulis kedua peneliti. "Sebaliknya, para mahasiswa meyakini bahwa laptop di kelas berguna bagi mereka."

Tentu kamu pernah mengalami, atau setidaknya pernah menyaksikan gambaran ini: selagi kebosanan mendengar ceramah dosen, dibukalah search engine dan dikliklah laman-laman jahanam itu. Entah Twitter, Facebook, atau browsing ini-itu.

Ternyata, menurut kedua peneliti, kalaupun kamu benar-benar hanya menggunakan laptop di kelas untuk menyalin ceramah dosen, ternyata menulis catatan tetap membuahkan hasil terbaik.

Kepada NPR, Muller mengatakan bahwa orang yang mengetik cenderung membuat catatan verbatim dan menulis semua isi kuliah sebanyak yang mereka bisa. Sebaliknya, “dalam studi kami, mahasiswa-mahasiswa yang ditugaskan menulis catatan dipaksa untuk lebih selektif—sebab kamu tak bisa menulis secepat kamu mengetik. Dan pemrosesan bahan kuliah dalam waktu yang lebih lama itulah justru menguntungkan mereka.”

Mengapa bisa menguntungkan? Ada dua hipotesis yang diajukan kedua peneliti.

Pertama: hipotesis terkait proses pengkodean atau encoding hypothesis. Saat seseorang mencatat, proses-proses yang terjadi memungkinkan peningkatan pembelajaran dan proses mengingat materi kuliah.

Kemungkinan yang kedua: hipotesis terkait tempat penyimpanan (bahan kuliah) eksternal atau external-storage hypothesis. Ini yang terjadi saat kamu belajar dengan melihat kembali catatanmu, atau catatan milik teman-temanmu.

Karena orang rata-rata mengetik lebih cepat ketimbang mencatat, memakai laptop memungkinkan seorang mahasiswa mengetik semua yang didengarnya. Berarti, keuntungan mencatat dengan laptop adalah mahasiswa bisa melihat dan membaca kembali catatan yang lebih lengkap. Apakah keuntungan itu lebih berguna dibanding keuntungan menulis catatan yang memungkinkan mahasiswa memproses informasi dengan lebih baik tapi catatannya lebih sedikit?

Studi Mueller dan Oppenheimer menjawab pertanyaan itu.

Dalam penelitian itu, mereka mengumpulkan mahasiswa dan menunjukkan ceramah-ceramah TED tentang berbagai topik. Hasilnya, mereka memang menemukan bahwa mahasiswa yang mengetik perkuliahan di laptop punya catatan lebih banyak dibanding yang mencatat pada buku tulis. Mana yang mengingat informasi lebih baik? Tergantung tipe pertanyaannya.

Jika pertanyaannya terbatas pertanyaan hafalan faktual macam tanggal ini-itu, misalnya pertanyaan "Kapankah peradaban Indus berdiri?", keduanya sama-sama bisa menjawab dengan baik. Namun, untuk pertanyaan-pertanyaan aplikasi-konseptual seperti “Bagaimana perbedaan pendekatan Jepang dan Swedia dalam menegakkan kesetaraan dalam masyarakatnya?”, pencatat dengan medium laptop menjawab dengan buruk.

Ketika mahasiswa-mahasiswa yang menggunakan laptop diminta supaya tidak mengetik segala omongan dosen, mereka tetap melakukannya. “Mereka tak mampu mengatasi dorongan itu," kata Mueller kepada NPR. Dan, semakin mereka menyalin semua kicauan dosen, hasil ujian mereka semakin buruk.

Bagaimana jika mereka diberi waktu untuk memeriksa catatannya sebelum diuji, dengan dasar pikiran bahwa yang mengetik di laptop punya catatan lebih lengkap dan akan punya bahan belajar lebih banyak? Hasilnya sama saja.

Betul, mereka punya catatan yang lengkap. Namun hal itu tak menolong mereka belajar lebih baik dan mendapatkan nilai ujian lebih baik daripada yang mencatat di buku tulisnya.

Artinya, dalam hal penyimpanan materi pelajaran maupun proses belajar dan mengingat, menulis catatan punya hasil yang lebih baik. Kemungkinan, menurut kedua peneliti, catatan tangan lebih melibatkan proses yang lebih melibatkan si subyek, dibanding proses dalam pengetikan dengan laptop. Memilih isi kuliah yang penting saat menulis catatan juga memungkinkan pencatat mereka mempelajari konten dengan lebih efisien.

Kesimpulannya, seperti ditulis Mueller dan Oppenheimer, “[P]enggunaan laptop di ruang kelas harus dilihat dengan dosis cukup; meskipun popularitasnya meningkat, laptop bisa jadi malah lebih banyak berefek buruk dibanding kelebihan-kelebihannya, di dalam ruang kelas.”

Keduanya pun menekankan lagi hasil studi sebelum mereka: mencatat yang melibatkan proses menyimpulkan sendiri dan meringkas konten lebih baik untuk proses belajar, ketimbang merekam semua omongan dosen.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti