Menuju konten utama

Singapura & Korsel Resesi, Bagaimana Nasib Ekonomi RI? 

Singapura dan Korsel yang banyak menggantungkan ekonominya dari ekspor, sama-sama masuk ke jurang resesi.

Singapura & Korsel Resesi, Bagaimana Nasib Ekonomi RI? 
Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dalam sebuah konferensi pers di istana kepresidenan di Seoul, Korea Selatan (10/9/18). AP Photo/Lee Jin-man

tirto.id - Setelah Singapura, satu lagi negara di jajaran ekonomi terkuat di kawasan Asia resmi menyatakan masuk dalam jurang resesi: Korea Selatan (Korsel). Ini adalah resesi pertama yang dialamai mereka sejak krisis keuangan tahun 1998.

Pandemi COVID-19 memukul perekonomian negara-negara yang selama ini dinilai kuat pertumbuhan ekonominya itu.

Korsel masuk jurang resesi setelah dua kuartal berturut-turut mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif. Pada kuartal kedua 2020, pertumbuhan PDB Korsel mengalami kontraksi 2,9 persen (yoy). Kuartal sebelumnya ekonomi Korsel terkontraksi 1,3 persen (yoy).

Bank of Korea mengatakan kontraksi ekspor yang dialami negara ini dipicu penurunan ekspor mobil, produk-produk perminyakan, dan batu bara.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kejatuhan ekonomi Korsel tentu berpengaruh terhadap kinerja negara mitranya, tidak terkecuali Indonesia.

“Potensi efek negatif dari resesi Korea ke Indonesia relatif besar karena Korea adalah salah satu tujuan ekspor penting,” jelas dia kepada reporter Tirto, Jumat (24/7/2020).

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Korsel masuk dalam 10 negara destinasi utama ekspor Indonesia. Produk ekspor andalan Indonesia ke Korsel berbasis komoditas seperti batu bara, karet, bijih mineral hingga bubur kertas dan kayu. Adapun nilai ekspor RI ke Korsel mencapai 2,4 miliar dolar AS dalam 5 bulan pertama 2020 (pangsa pasar mencapai 3,93 persen dari total ekspor).

Karena merupakan salah satu investor strategis bagi Indonesia, memburuknya perekonomian Korsel juga dikhawatirkan bisa memberi dampak buruk pada arus modal dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA), kata Shinta.

“Korsel merupakan salah satu sumber investasi terbesar di kawasan Asia. Apalagi karena banyak industri padat karya nasional yang tergantung dengan suplai dan investasi korea sehingga bila resesi memburuk, industri nasional bisa terkena pukulan yang signifikan,” terangnya.

Mengutip data Badan koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Korsel adalah negara dengan nilai realisasi PMA terbanyak ke delapan bagi Indonesia dengan nilai mencapai 130,4 juta dolar AS pada kuartal I 2020. Memasuki masa pandemi, investasi Korsel tidak berkurang. Hingga semester I-2020, nilainya sudah mencapai 683 juta dolar AS, dengan jumlah proyek mencapai 2.497. Korsel ada di peringkat ke-6 dalam daftar PMA terbesar di Indonesia.

Shinta mengatakan, peran Korsel pada investasi dan perekonomian Indonesia memang cukup diperhitungkan mengingat banyaknya investasi mereka di sektor primer yang padat karya. “Khususnya untuk proyek-proyek investasi padat modal dengan Korea seperti investasi besi-baja yang pasar globalnya juga ikut turun.”

Dampak Resesi Bisa Diminimalisir

Meski jelas berpengaruh pada ekonomi Indonesia, dampak resesi Korsel bisa diminimalisir.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan Indonesia masih berpeluang selamat dari resesi karena karakteristik ekonomi yang berbeda dari Korsel dan Singapura. Bila Singapura dan Korsel menggantungkan ekonomi mereka pada ekspor, penggerak ekonomi di sini lebih banyak didorong oleh konsumsi domestik.

“Kalau ekspor terganggu, kontribusinya enggak banyak. Perdagangan internasional ini kalau kita lihat dari komposisinya, Singapura lebih dari 170 persen terhadap GDP. Juga kita lihat di Korsel itu juga sama. Meskipun masih kurang dibanding Singapura, tapi tetap saja mereka mengandalkan jaringan rantai produksi regional dan global,” jelasnya kepada reporter Tirto, Jumat (24/7/2020).

Mengutip data BPS, struktur ekonomi RI hingga kuartal I 2020 masih mengandalkan konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 58,14 persen. Sementara ekspor hanya 17,43 persen.

Kondisi ini jadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia karena ketergantungannya dengan negara lain tak terlalu besar dan bisa menjadikan konsumsi dalam negeri sebagai penggerak untuk memulihkan ekonominya sendiri.

Untuk itu, lanjut dia, yang penting diperhatikan pemerintah adalah bagaimana bisa kembali menstimulus daya beli masyarakat untuk mendongkrak konsumsi dalam negeri.

“Yang perlu diperhatikan Indonesia adalah arah dari konsumsi domestiknya seperti apa,” katanya.

Indonesia juga berpeluang selamat karena belakangan cukup giat mencari pasar ekspor alternatif. Ini dirasa cukup efektif menekan efek ekonomi dari negara-negara besar yang saat ini mengalami resesi.

“Kita masih punya alternatif lain misalnya ke Eropa. Kemarin Swiss meningkat, kan? Swiss menjadi kanalnya Eropa juga. Belum lagi kita bicara mengenai potensi dengan UK,” tutur dia.

Dengan berbagai upaya yang saat ini telah dilakukan pemerintah, bukan tidak mungkin Indonesia malah diuntungkan dengan kondisi ini karena berpeluang mengisi slot-slot ekspor yang sebelumnya diisi negara-negara yang saat ini tengah resesi.

“Ini menjadi momentum yang bagus, dari perdagangan internasional justru kita ini surplusnya tebal ini. Ini yang seharusnya menjadi sumber pertumbuhan ekonomi kita di masa depan,” terangnya.

Namun, menyasar pasar ekspor baru tentu tak semudah membalik telapak tangan. Perlu ada upaya dari produsen untuk melakukan penyesuaian spesifikasi barang dengan kebutuhan di negara yang jadi tujuan ekspor baru.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengingatkan butuh pengamatan yang akurat baik dari pemerintah maupun para pelaku usaha agar produk Indonesia bisa benar-benar terserap di negara tujuan ekspor baru.

“Negara-negara yang punya permintaan spesifikasi produknya itu berbeda. Kan enggak bisa shifting-nya dari Korea ke Afrika. Itu kebutuhannya beda, spesifikasinya beda. Mungkin harganya butuh yang lebih murah dan kualitasnya lebih rendah. Ini tergantung kemampuan eksportir kita untuk menyesuaikan demand dari tiap negara. Butuh intelijen pasar,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait RESESI EKONOMI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti