Menuju konten utama

Sindiran-Sindiran untuk Para Sosialis yang Berkelakuan Borjuis

Bagaimana cara orang dari berbagai negara mengolok-olok para borjuis berbulu sosialis ini?

Sindiran-Sindiran untuk Para Sosialis yang Berkelakuan Borjuis
Pendukung Partai Sosialis untuk pemilihan calon presiden Francois Hollande merayakan dengan sampanye setelah keluar hasil pertama putaran kedua pemilihan presiden Prancis di luar markas kampanye Partai Sosialis di Paris, Prancis, Minggu, 6 Mei 2012. Hasil pertama menunjukkan bahwa Hollande telah memenangkan pemilihan. AP Photo / Francois Mori

tirto.id - Ada istilah menarik di Inggris untuk menyindir atau mengolok-olok hipokrisi golongan kiri yang bergaya hidup ala kelas menengah ke atas: “Champagne Socialist”.

Secara spesifik, sindiran “Champagne Socialist” di Inggris merujuk kepada kalangan kiri pendukung Partai Buruh yang tinggal di Inner London—kawasan paling elite di seantero Eropa—dan gemar membaca The Guardian. Kendati olok-olok ini kerap meluncur dari kaum kanan, namun tak jarang istilah ini juga ditujukan kalangan kiri tradisional kepada kaum kiri-tengah atau tengah (centrist).

Berapa kalangan kiri tradisional Inggris menganggap Perdana Menteri Inggris pertama dari Partai Buruh Ramsay MacDonald sebagai "Champagne Socialist” alias "Sosialis Sampanye" yang telah mengkhianati gerakan buruh karena bergaya hidup mewah dan berbaur dengan masyarakat kelas atas. Sikapnya tersebut juga diduga sebagai faktor utama yang menyebabkan berakhirnya Pemerintahan Buruh pada 1931.

Para pendukung Buruh Baru (New Labour)—Sir Alex Ferguson termasuk salah satunya—yang berhasil membuat Tony Blair berkuasa pada tahun 1997 juga kerap mendapat olok-olok "Champagne Socialist” dengan alasan yang sama: mengaku berhaluan sosialis, tapi sehari-hari justru hidup selayaknya kapitalis.

Selain “Champagne Socialist”, ada juga frasa “Bollinger Bolshevik”: sindiran bagi mereka yang mendaku diri sebagai kaum Bolshevik, tapi gemar meminum wine jenis Bollinger. Ken Follet, penulis berbagai buku best seller—total penjualan buku-bukunya diperkirakan telah mencapai lebih dari 160 juta kopi—hingga menjadikannya miliarder dan salah seorang pendonor utama New Labour, pernah mengatakan bahwa dirinya lebih dekat dengan istilah “Bollinger Bolshevik”, daripada “Champagne Socialist”.

Dalam sebuah artikelnya yang tayang di Guardian (01/05/2018), Will Self, seorang jurnalis sekaligus novelis Inggris, juga sempat menganggap Oscar Wilde sebagai “Champagne Socialist” karena perkataan dan gaya hidupnya nampak kontradiktif: di satu sisi ia memuji sosialisme, namun di sisi lain (pandangan) hidupnya justru kelewat hedonis.

Kesimpulan Self berangkat dari salah satu esai Wilde pada tahun 1891 yang berjudul “The Soul of Man Under Socialism”. Dalam esai tersebut, secara garis besar Wilde berpendapat bagaimana gagasan mengenai kehidupan egaliter—yang menjadi utopia sosialisme—sejatinya bertentangan dengan sifat manusia yang dianggap cenderung individualistis. Di sisi lain, Wilde juga percaya bahwa sosialisme adalah perwujudan individualisme yang otentik yang selama ini terhalang oleh kapitalisme industri.

Olok-olok “Champagne Socialist” juga pernah ditujukan kepada salah seorang politikus Partai Buruh, Geoffrey Robinson, karena kekayaan pribadinya yang ditaksir mencapai £30 juta (1998). Ia juga memiliki beberapa rumah di Park Lane (London), Cannes (Perancis), dan Tuscany (Italia).

Charlotte Church, penyanyi sekaligus aktivis politik dari Wales, menyebut dirinya dengan istilah lain: "Prosecco Socialist" yang merujuk kepada popularitasnya yang tinggi serta kegemarannya meminum wine mewah jenis Prosecco (Italia). Istilah ini sebetulnya dilontarkan Church sebagai sarkasme kepada Andrew Davies, politikus Partai Konservatif Wales, yang mengkritiknya sebagai “Champagne Socialist”.

“Champagne Socialist” di Negara-Negara Lain

Amerika Serikat juga punya beberapa istilah setara "Champagne Socialist". Salah satunya “Limousine Liberal”.

Olok-olok ini biasa ditujukan kepada kalangan liberal menengah ke atas yang kerap menyuarakan transportasi massal, tapi mereka sendiri justru kerap menggunakan kendaraan privat semacam limousine atau jet pribadi. Gemar membicarakan kesadaran lingkungan, tapi mengendarai mobil sport atau SUV. Kerap mengkritik ketimpangan sosial padahal tajir melintir, atau vokal dalam menyerukan kurangnya sarana pendidikan untuk publik, sembari menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta mahal.

Istilah “Limousine Liberal” pertama kali keluar dari mulut Mario Procaccino, seorang pengacara yang sempat menjadi kandidat Walikota New York pada pemilihan tahun 1969. Olok-olok ini ia tujukan kepada John Lindsay, Walikota New York terpilih yang disokong para pengusaha kaya yang tinggal di Fifth Avenue—sebuah daerah elite di Manhattan.

Al Gore, wakil presiden ke-45 pada masa pemerintahan Bill Clinton (1993-2001), juga dianggap sebagai “Limousine Liberal” karena terlalu sering berkoar mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca tapi selalu bepergian dengan jet pribadi dan SUV.

Dalam edisi “Limousine Liberal Hypocrisy” (16/03/2007), Time juga menyindir Al Gore dengan menuliskan: “Rumah mewah Al Gore di Tennessee menghabiskan pasokan listrik 20 kali lebih banyak dari rata-rata yang digunakan rumah orang lain di Amerika.”

Selain “Limousine Liberal”, ada istilah lain di Amerika dengan makna yang cukup mirip: “Radical Chic”. Istilah ini muncul pertama kali dalam tulisan Tom Wolfe, seorang jurnalis yang turut mengembangkan gagasan New Journalism, dalam tulisannya di New York Magazine berjudul “Radical Chic: That Party at Lenny's".

Dalam tulisan tersebut, Wolfe menyindir sikap Leonard Bernstein, seorang komposer ternama Amerika, yang menyelenggarakan penggalangan dana untuk Black Panthers— sebuah organisasi militan kulit hitam yang anggota, aktivitas, dan tujuannya jelas tidak sejalan dengan filosofi kalangan elite kulit putih seperti Bernstein.

Pada dasarnya, konsep Wolfe mengenai “Radical Chic” dimaksudkan untuk menghantam individu (terutama para kaum elite) yang mendukung narasi radikal kiri hanya karena gengsi semata. Bagi Wolfe, mereka sekadar mengaburkan dosa-dosa kaum kulit putih dari kulit hitam kala itu, alih-alih menegaskan hal yang sebenarnya terjadi.

Varian lain dari “Radical Chic” adalah “Terrorist Chic” yang merujuk kepada penggunaan simbol, objek, dan estetika yang terkait dengan pergerakan militan radikal dalam konteks budaya pop. Sikap ini pada mulanya dicitrakan secara subversif sebagai bagian dari propaganda, yang kemudian malah jadi fashion semata.

Wajah Che Guevara, Carlos the Jackal, hingga Andreas Baader adalah para “bintang pop revolusioner” yang menjadi favorit para “Terrorist Chic” untuk menunjukkan militansi mereka, sebagaimana yang dijelaskan Herry K. Miller dalam tulisannya di New Statesman (28/10/2002) yang berjudul “Fatal Attraction”.

Varian lainnya, “Libertarian Chic”, dicetuskan oleh Roland Nethaway, jurnalis Bangor Daily News, sebuah surat kabar lokal di Bangor, Maine, Amerika Serikat. Sebutan "Libertarian Chic" ditujukan kepada mereka yang merasa kerena telah “anti-pemerintah sebelum sikap anti-pemerintah itu populer”.

Editor opini Newsweek Nicholas Wapshott pernah menggunakan istilah “Libertarian Chic” dalam artikelnya di Reuters (09/01/2013) untuk menggambarkan orang-orang yang kerap melontarkan pernyataan radikal demi menunjukkan "kesan angker bagi persona mereka yang membosankan."

Berpindah ke Perancis, ada istilah “Gauche Caviar” alias "Kiri Kaviar" yang muncul pada medio 1980-an. Di Spanyol, olok-olok semacam itu disebut “Izquierda Caviar”. Secara garis besar bermakna sama dengan “Gauche Caviar”, namun tidak terbatas kepada kalangan kiri saja, melainkan juga para social justice warrior (SJW) atau kalangan intelektual yang kerap menyuarakan narasi ketidakadilan, namun demi tujuan menaiki tangga sosial yang lebih tinggi.

Istilah serupa masih banyak terdapat di negara lain. Di Afrika Selatan, ada istilah “Gucci Communist” dan dari namanya sudah menunjukkan sebuah paradoks: komunis yang gemar memakai merek mahal seperti Gucci. Di Jerman ada “Salonkommunist” atau “Komunis Ruang Tamu”—merujuk kepada mereka yang gemar berdiskusi tentang Das Kapital di dalam ruang nyaman dengan bertumpuk buku mewah.

Alat Konservatif

Di satu sisi, sejumlah kalangan kiri yang sering meributkan asal-usul kelas sebagai amunisi kritik tak jarang bersikap reaktif. Bagi mereka, posisi "korban", "marjinal", "tanpa privilese" dengan sendirinya memberikan legitimasi untuk mengkritik kekuasaan. Ironisnya, yang mengklaim posisi-posisi pinggiran ini seringkali juga berasal dari kelas borju. Demikian tulis Mark Fisher, seorang teoritikus politik sekaligus penulis musik berpengaruh asal Inggris yang tewas bunuh diri pada 13 Januari 2017.

Fisher, 48 tahun, yang juga bekerja sebagai dosen tamu di Goldsmiths, University of London, selama ini dikenal sebagai penulis dengan karya bernas yang tersebar di berbagai kanal opini. Ia juga menerbitkan beberapa buku, salah satunya yang paling dikenal adalah Capitalist Realism: Is There No Alternative?, dicetak pada 2009 oleh Zero Books, penerbit yang ia dirikan bersama kawan-kawannya.

infografik champagne socialist

Pada 2013, Fisher mengundang kontroversi akibat tulisannya yang tayang di Open Democracy (24/11/2013) berjudul “Exiting the Vampire Castle”. Dalam tulisan tersebut, Fisher menyorot tentang posisi keistimewaan kelas kaum kiri di Inggris, serta bagaimana analisis kelas dan perjuangan HAM—yang selalu menjadi pokok argumen kalangan kiri—telah dibelokkan jadi ajang narsis oleh kaum borjuis-liberal yang menyamar sebagai kalangan revolusioner.

Akibat tulisan yang memang rentan disalahpahami tersebut, Fisher mendapat perundungan luar biasa di media sosial, khususnya Twitter—tempat yang ia simbolkan sebagai “Kastil Vampir”—dari kalangan feminis liberal, akademisi kiri, po-faced feminists (sindiran bagi feminis yang dinilai amat sensitif), hingga kaum pro-LGBT. Fisher pun memutuskan untuk menghapus akunnya.

Di sisi lain, penggunaan istilah semacam "Champagne Socialist" bukannya tanpa kritik, bahkan dari kiri militan tradisional. Editor majalah Jacobin dalam tulisannya "Why the Right Loves Privilege Politics" (2015) menyatakan bahwa label-label semacam itu menguntungkan kaum kanan dan merugikan gerakan buruh yang tak jarang mendapat simpati kelas menengah. Selama gerakan Occupy Wallstreet di New York, tulis Kilpatrick, kalangan konservatif kerap mengatakan: "Oh, anak-anak itu semua punya iPod! Mereka beli kopi di Starbucks! Mereka punya privilese. Jangan dengarkan hipster-hipster itu!"

Bagi Kilpatrick, argumen-argumen seperti itu justru mengaburkan siapa yang benar-benar memegang kekuasaan dan patut dikritik tajam dan mana yang jadi korban atas kebijakan penguasa serta tak berdaya dalam siklus ekonomi hari ini—kendati kadang masih bisa mengkonsumsi barang-barang kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Dan sialnya tak sedikit orang kiri termakan propaganda itu.

Baca juga artikel terkait SOSIALISME atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Politik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf