Menuju konten utama

Sindir Aparat, AJI Jakarta: Jurnalis Pakai Rompi Pers Saat Meliput

AJI Jakarta mewacanakan pemakaian rompi "Pers" oleh wartawan di Indonesia sebagai bentuk kritik satire ke aparat hukum yang belum bisa melindungi jurnalis dari tindakan kekerasan. 

Sindir Aparat, AJI Jakarta: Jurnalis Pakai Rompi Pers Saat Meliput
(Ilustrasi) Seorang jurnalis yang tergabung dalam Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI) menggelar aksi Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Warga oleh Polisi di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/4/2018). ANTARA FOTO/Novrian Arbi.

tirto.id - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani Amri mewacanakan pemakaian rompi bertuliskan “Pers” oleh wartawan di Indonesia agar menegaskan identitas saat melakukan peliputan.

Menurut dia, wacana pemakaian rompi “Pers” seperti dilakukan oleh para wartawan perang di Timur Tengah itu merupakan sindiran kepada aparat penegak hukum di Indonesia. Sebab, selama ini aparat belum bisa memberikan perlindungan terhadap jurnalis dari intimidasi dan kekerasan.

Asnil melontarkan wacana itu dalam diskusi "Intimidasi Jurnalis, Cederai Demokrasi" yang digelar oleh AJI Jakarta dan LBH Pers Jakarta, pada Minggu (3/3/2019).

“Jurnalis bisa menggunakan rompi pers ketika meliput, itu bisa menjadi kritik bersifat satire bagi aparat hukum Indonesia yang tidak bisa melindungi jurnalis,” kata Asnil dalam acara diskusi di Sekretariat AJI Jakarta, Jakarta Selatan tersebut.

Dia mengaku berencana membicarakan wacana gerakan memakai rompi pers itu di internal AJI Jakarta. Bahkan, kata Asnil, kalau perlu wartawan tak hanya memakai rompi pers, tapi juga helm dan tameng untuk memperkuat kesan kritik satire tersebut.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menyoroti masih banyaknya kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis dengan pelaku anggota ormas.

Menurut dia, seharusnya seluruh pimpinan ormas di Indonesia menginstruksikan kepada anggotanya agar tidak melakukan intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis.

“Pimpinan ormas harus bisa menginstruksikan jajarannya agar menjaga jurnalis dan tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis,” kata dia.

Ade menambahkan saat ini diperlukan pendidikan terhadap publik mengenai proses penyelesaian kasus sengketa pemberitaan yang sesuai dengan UU Pers. Misalnya, keberatan atas pemberitaan semestinya diselesaikan dengan penyampaian hak jawab.

“Tulisan dilawan dengan tulisan, tidak dengan kekerasan,” ujar Ade.

Pembicaraan dalam diskusi itu merespons kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus bermunculan di Indonesia. Salah satunya ialah intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis di acara Munajat 212 di Monas pada 21 Februari lalu.

Dalam acara itu, ketika panitia menangkap seseorang yang dituduh pencopet, para wartawan dihalangi untuk meliput dan mengambil gambar oleh anggota Laskar Pemuda Islam (LPI). Anggota Ormas itu juga dilaporkan melakukan tindakan kekerasan dan meminta wartawan menghapus data hasil liputan.

Salah satu korbannya, wartawan DetikTV berinisial S yang merekam peristiwa itu dengan gawai. Dia dilaporkan dipaksa menghapus data video dan sempat menjadi sasaran tindakan kekerasan. Intimidasi dengan sebab serupa juga dialami seorang jurnalis CNN Indonesia.

Kasus intimidasi dan kekerasan terhadap sejumlah jurnalis di acara tersebut sudah dilaporkan kepada kepolisian.

Baca juga artikel terkait MUNAJAT 212 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom