Menuju konten utama

Simpang-Siur Aturan Jenggot dan Celana Cingkrang Aparat

BIN membantah mengeluarkan surat edaran tentang larangan memelihara jenggot, berambut panjang, dan memakai celana cingkrang bagi pegawainya.

Simpang-Siur Aturan Jenggot dan Celana Cingkrang Aparat
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol Budi Gunawan bersiap mengikuti rapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/10). Rapat tersebut membahas penyesuaian RKA K/L BIN tahun 2017. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Badan Intelijen Negara (BIN) mendapat sorotan karena melarang pegawainya memelihara jenggot, berambut panjang, dan memakai celana cingkrang (celana panjang tak sampai mata kaki). Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran bernomor SE-28/V/2017 yang beredar di media sosial. Surat bertanggal 15 Mei 2017 itu ditandatangani Sekretaris Utama (Sestama) BIN, Zaelani.

Surat edaran tersebut kemudian mendapat respons negatif, salah satunya dari Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Sumanjuntak, dan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka mempertanyakan urgensi larangan memelihara jenggot dan memakai celana cingkrang. Bahkan Ismail Yusanto menyebut larangan itu bertentangan dengan hak-hak pegawai dalam menjalankan keyakinan dalam beragama.

Ismail menyatakan, selama hak tersebut tidak mengganggu kewajiban atau tugas pegawai, maka surat edaran semacam itu tak perlu dimunculkan. Apalagi, menurut Ismail, bagi beberapa orang, menumbuhkan jenggot dan celana cingkrang adalah kewajiban. Ismail juga menganggap larangan-larangan seperti itu semakin membuktikan bahwa pemerintah keterlaluan.

Namun, surat edaran tersebut dibantah oleh BIN. Sekretaris Utama (Sestama) BIN, Zaelani dalam siaran persnya, di Jakarta, pada Jumat (19/05/2017) menegaskan bahwa surat edaran bernomor SE-28/V/2017 yang beredar di media sosial tidak benar.

“Surat edaran tertanggal 15 Mei 2017 dengan Kop Surat BIN tertanggal 15 Mei 2017 dengan Kop Surat BIN yang saya tandatangani berisikan larangan staf BIN berjenggot dan bercelana cingkrang adalah tidak benar,” demikian siaran pers yang diterima wartawan, di Jakarta, pada Jumat.

Akan tetapi, Zaelani membenarkan jika saat berada di lingkungan kompleks BIN, Jalan Seno, Pejaten, Jakarta Selatan semua pegawai harus berpakaian rapi dan profesional. Namun tidak ada imbauan larangan menggunakan celana cingkrang, atau memelihara jenggot.

Zaelani pun melampirkan surat edaran yang sebenarnya, yakni Surat Edaran Nomor SE-15/IV/2017 yang ditandatangani pada 5 April 2017.

Pada poin 2 surat edaran itu disebutkan, "Sehubungan dengan dasar tersebut di atas, diperintahkan kepada seluruh pegawai BIN untuk menaati segala peraturan yang ada dalam berpenampilan dan berperilaku demi terwujudnya insan BIN yang Profesional, Obyektif, dan Berintegritas".

Kemudian, untuk selanjutnya dalam surat edaran itu juga ditulis agar para Kepala Unit Tugas untuk menindaklanjuti surat edaran itu dengan memberikan sosialisasi dan pengawasan langsung ke seluruh anggotanya.

“Kami berharap, klarifikasi ini dapat memperjelas keadaan yang sebenarnya. Atas perhatian dan kerja sama yang diberikan kami haturkan terima kasih,” kata Zaelani.

Deputi VI Komunikasi dan Informasi BIN Sundawan Salya, saat dikonfirmasi Tirto, pada Jumat (19/5/2017) mengatakan bahwa persoalan tersebut sudah selesai. Menurut dia, surat edaran tersebut sejatinya untuk internal, bukan dipublikasikan.

“Sudah ada kan surat pemberitahuannya. Itu bukan larangan hanya edaran internal, bukan untuk dipublikasi. Kami tidak pernah mempublikasikannya. Hanya menegakkan disiplin saja,” ujarnya menjelaskan.

Polemik soal jenggot ini juga pernah terjadi di Amerika Serikat, pada Juni 2016 lalu. Seperti dilansir nbcnews.com, Masood Syed, seorang perwira polisi Muslim dinonaktifkan dari pekerjaannya karena memelihara jenggot.

Masood dinonaktifkan setelah janggutnya dianggap lebih panjang satu milimeter dari aturan yang ditetapkan, sehingga dia dianggap melakukan pelanggaran. Keputusan ini membuat Masood bingung karena dia sudah memelihara jenggotnya selama 10 tahun bekerja di Kepolisian New York. Dan selama itu pula ia merasa tidak pernah ada masalah dengan jenggotnya.

Kemudian, Masoos membawa masalah tersebut ke meja hijau dan hakim memutuskan kepolisian harus kembali mempekerjakan Masood dan memberikan semua upah serta tunjangan yang tertunda. Hakim pengadilan distrik AS Kevin Castel juga mengkritik keputusan kepolisian dan memerintahkan agar Masood diperkenankan bekerja kembali.

Bagaimana dengan polisi Indonesia?

Peraturan Kapolri Nomor 19 tahun 2015 tentang Pakaian Dinas Pegawai Pada Kepolisian Republik Indonesia memang tidak disebut secara spesifik soal aturan jenggot. Dalam Pasal 3 huruf d hanya disebut soal estetika, yaitu penampilan dan penggunaan pakaian dinas memperhatikan nilai kesopanan, keindahan, dan kepantasan.

Namun, dalam praktiknya, polisi kerap melakukan pengecekan kerapian pakaian dan atribut lainnya, termasuk menggunting rambut, kumis serta jenggot yang dinilai tidak rapi. Misalnya, pada 12 Juni 2016 lalu, sebanyak 50 anggota Polda Gorontalo digunting rambut, kumis, hingga jenggot.

“Rambut, kumis dan jenggot anggota Polda dirapikan, karena kerapian merupakan bagian dari bentuk pelayanan terhadap masyarakat,” kata Kabid Humas Polda Gorontalo, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Bagus Santoso saat itu, seperti dikutip Antara.

Menurut dia, mengenai pemotongan jenggot sudah merupakan kesepakatan internal dan perintah dari pimpinan Polda Gorontalo bahwa jenggot harus dirapikan. “Terkecuali personil lapangan, anggota Polda lainnya harus merapikan rambut, jenggot dan kumisnya, sebagai bentuk kesiapan saat melayani masyarakat dalam hal kerapian,” ujarnya.

Razia kerapihan juga pernah terjadi di Polres Tegal, Jawa Tengah, pada April 2015 silam. Dalam razia itu, sejumlah anggota mendapat teguran karena memelihara jenggot. Mereka bahkan langsung diminta mencukurnya di hadapan para anggota lain. Ada pula anggota yang ditegur karena bertubuh tambun dan berpakaian kurang rapi. Kelengkapan surat-surat pun juga diperiksa.

Razia jenggot polisi tersebut tentu tidak lepas dari kritik. Misalnya, usai razia itu, laman islamarticles.net menulis bahwa apa yang dilakukan Kapolres Tegal tersebut mencerminkan bahwa peraturan di tubuh lembaga kepolisian belum menghalalkan anggotanya untuk memelihara jenggot.

Sementara itu, saat menjabat sebagai Kapolri, Badrodin Haiti pernah mengatakan bahwa jenggot bukan sesuatu yang wajib, berbeda dengan jilbab bagi seorang perempuan Muslim. Atas pertimbangan itu, ia membuat terobosan baru dengan menandatangani aturan tentang jilbab bagi Polisi Wanita (Polwan) yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri Nomor: Kep/245/II/2015 tertanggal 25 Maret 2015.

Menurut dia, ada banyak pertimbangan mengapa ia mengeluarkan aturan soal jilbab tersebut. Salah satunya, sudah ada sekitar 7.000, dari 16.000 Polwan yang menyatakan akan mengenakan jilbab. Dan jilbab selama ini sudah digunakan oleh Polwan di Aceh dan terbukti tidak ada masalah.

Pertimbangan lainnya, kata Badrodin, karena mengenakan jilbab itu adalah hal yang terkait dengan keyakinan dalam agama Islam bahwa jilbab adalah sesuatu yang diwajibkan karena untuk menutup aurat.

Jika jilbab dibolehkan, apakah suatu saat polisi lelaki boleh berjenggot?

“Tidak. Pasti tidak. Itu karena berjenggot itu [dalam Islam] itu juga bukan sesuatu yang wajib. Itu sunnah. Itu beda dengan jilbab yang wajib itu,” kata Badrodin saat itu.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani