Menuju konten utama

Sikap Sejumlah Fraksi soal Pembentukan Densus Tipikor Polri

Sejumlah fraksi mendukung pembentukan Densus Tipikor Polri. Bagaimana nasib KPK?

Suasana rapat Pansus Angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/9/2017). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) semakin mengerucut setelah sejumlah fraksi di DPR memberikan sinyal mendukung usulan Polri untuk membentuk unit khusus antikorupsi. Pihak kepolisian bahkan telah meminta agar Komisi III DPR memperjuangkan anggaran sebesar Rp2,6 triliun untuk merealisasikan keinginan itu. (Sebelumnya Polri menyebut jumlah anggaran untuk Densus Tipikor sebesar Rp975 miliar.)

Para politisi Senayan juga mengindikasikan, jika Densus Antikorupsi sudah terbentuk, maka "tidak mustahil" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dibubarkan. Alasannya, pembentukan KPK adalah respons atas kinerja kepolisian dan kejaksaan yang saat itu belum optimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk pada 2002 pada masa pemerintahan Megawati, dikuatkan lewat undang-undang, dan berperan sebagai "stimulus agar upaya pemberantasan korupsi" oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang permanen bekerja "lebih efektif dan efisien."

Pernyataan "membubarkan" KPK ini diungkapkan oleh Eddy Kusuma Wijaya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP. Eddy berdalih, penegak hukum dalam lembaga negara yang sesuai hukum tata negara adalah kepolisian dan kejaksaan, sementara KPK hanya lembaga ad hoc yang bersifat sementara.

“Kalau misalnya nanti polisi dan jaksa sudah efektif, untuk apa lagi KPK? KPK itu kan ad hoc, KPK itu bukan lembaga negara, sifatnya sementara,” kata purnawirawan polisi bintang dua ini.

Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK ini menilai, tugas memberantas korupsi ada pada polisi dan jaksa. Dalam hal ini, kata Eddy, Polri sudah mempunyai Direktorat Tindak Pidana Korupsi, tetapi selama ini kurang efektif. Ia menilai saat ini kepolisian dan kejaksaan sudah bisa independen sehingga berhak membentuk Densus Antikorupsi.

Eddy tidak keberatan dengan usulan anggaran yang diajukan Polri sebesar Rp2,6 triliun demi pembentukan Densus Antikorupsi, sehingga bisa bekerja pada awal 2018.

“Densus Antikorupsi memang harus ada, kok. Harusnya sudah ada sejak dulu. Tapi tidak efektif dan efisien. Kalau sudah efektif dan efisien, ya buat apa lagi yang lain,” kata Eddy.

Baca juga:

Eddy menilai posisi KPK dalam sistem hukum tata negara tidak ada. Karena itu, katanya, ia tidak takut atas anggapan masyarakat bahwa Komisi III DPR dan Pansus Hak Angket terkesan ingin memperlemah KPK.

“Sejak dulu KPK itu enggak ada dalam sistem tata negara kita. Lembaga itu enggak ada. Enggak ada lembaga yudikatif atau lembaga penegak hukum bernama KPK dalam sistem [hukum] tata negara,” kata Eddy.

Baca juga: Diragukan Publik, Polri Tetap Merancang Densus Antikorupsi

Mukhamad Misbakhun, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan keberadaan KPK tetap dibutuhkan, meski Densus Antikorupsi telah terbentuk. Namun, fungsinya perlu disesuaikan, misalnya melakukan supervisi, koordinasi, pemantauan, dan pencegahan.

Artinya, KPK lebih mengedepankan fungsi pencegahan ketimbang penindakan, dan tetap sebagai lembaga independen tetapi mengerjakan tugas lain di luar Densus Antikorupsi.

“Lembaga KPK ini diperlukan di republik ini. KPK harus tetap ada,” kata Misbakhun.

Misbakhun mengatakan, kewenangan Densus Antikorupsi akan sama dengan KPK, termasuk soal penyadapan. Menurut Misbakhun, kepolisian punya wewenang menyadap, yang akan diatur dalam RUU Penyadapan yang saat ini masih dikaji. Regulasi ini akan berlaku bagi semua penegak hukum, khususnya untuk menopang pengusutan tindak pidana korupsi.

Baca juga: Kejaksaan Bersikukuh Tolak Satu Atap Bareng Densus Tipikor

Desmond Junaidi Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Partai Gerindra, mengatakan tujuan negara Indonesia adalah negara yang bebas korupsi. Namun, ia menilai, kehadiran KPK bukannya malah bikin angka korupsi di Indonesia berkurang, justru bertambah.

Desmond mengutip data Kejaksaan Agung yang mencatat bahwa pada 2011, jumlah korupsi di Indonesia mencapai 811 pada tingkat lidik (penyelidikan), dan 1.729 pada tingkat sidik (penyidikan). Pada 2015, jumlah ini meningkat mencapai 1.985 pada tingkat lidik dan 1.784 pada tingkat sidik. Sepanjang 2017 ini, jumlah korupsi ini sempat berkurang menjadi 1.114 pada tingkat lidik dan 1.011 pada tingkat sidik, tetapi angkanya tetap konstan.

“Apa yang dilakukan KPK saat ini sudah sesuai dengan target awal 15 tahun lalu? Kan belum. Indeks persepsi korupsi kita sampai hari ini tidak bagus-bagus amat, dan kemarin ada yang diakui KPK ada yang tidak,” kata Desmond.

Desmond mengklaim ia tidak bermaksud menilai kinerja KPK kurang maksimal, atau kurang mampu bekerja. Ia menilai apa yang dikerjakan KPK hingga hari ini tidak berbeda dari 15 tahun lalu saat kali pertama KPK dibentuk.

“Saya bukan pendukung hak angket yang kesannya melemahkan KPK. Saya menjaga kelembagaan yang harus jujur 15 tahun ini. Kinerja KPK, Polri, dan kejaksaan harus dilihat secara objektif,” kata Desmond.

Baca juga artikel terkait DENSUS TIPIKOR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz