Menuju konten utama

Sikap Masa Bodoh Anggota DPR atas RUU Prioritas

Ada sedikitnya 14 RUU hasil kurasi Tirto yang dinilai penting tapi nyaris tak disentuh DPR periode 2014-2019.

Sikap Masa Bodoh Anggota DPR atas RUU Prioritas
Para perempuan memegang kertas bertuliskan "Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual" di sela acara pembukaan Konferensi Perempuan Timur 2018 di Kota Kupang, NTT (10/12/18).ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/hp.

tirto.id - Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI) menggelar unjuk rasa di pelataran Gedung Kemenristekdikti, Jumat (5/4/2019). Mereka menuntut ijazah kedokteran yang seharusnya mereka terima begitu lulusan pendidikan kedokteran, tapi nyatanya baru bisa mereka dapatkan jika sudah lulus uji kompetensi dokter.

Tuntutan yang masih sama sebenarnya dari tahun-tahun sebelumnya sebagai buntut polemik UU Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Dalam Pasal 36 disebutkan: “Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi.”

Artinya, seorang mahasiswa kedokteran yang sudah lulus pendidikan kedokteran dan menjadi dokter muda baru mendapatkan ijazah S1 dokter setelah lulus pula dari Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD).

Namun, hingga kini, polemik belum kunjung usai lantaran pasal bermasalah di UU Dikdok itu belum juga direvisi. Perubahan UU Dikdok baru masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas sejak 2018 setelah diusulkan dari Desember 2016.

Rencana Perubahan UU Pendidikan Kedokteran

Redaksi Tirto mengurasi sejumlah RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2014-2019 yang dinilai penting dan mendesak tapi tak kunjung menjadi prioritas atau dibahas di DPR. Salah satu indikatornya adalah RUU tersebut mengakomodasi hajat hidup orang banyak.

Ada sedikitnya 17 RUU yang masuk dalam kurasi kami. Salah satunya adalah Rencana Perubahan UU Dikdok tersebut. Kami pernah mengeluarkan laporan mendalam mengenai nasib dokter muda, yang disebut retaker, pada awal Juli 2018.

Isu ini menjadi penting lantaran saat ini ada sedikitnya 3 ribu retaker yang nasibnya masih menggantung dan terancam drop out dari kampus. Dalam kurun waktu sejak 2017, ada tiga dokter muda yang meninggal lantaran sengkarut kasus ini.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

RUU mendesak lain dalam antrean Prolegnas prioritas adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU ini masuk dalam daftar prioritas sejak 2016 dan sudah memasuki pembahasan tingkat I di DPR.

Pembahasan RUU PKS sempat cukup alot di parlemen. Lantaran ada perbedaan definisi antara DPR dan pemerintah. Pemerintah menilai ada sejumlah poin dalam definisi itu yang sudah diatur oleh UU lain.

Poin tersebut adalah: eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran dan perbudakan seksual.

“Misalnya, pemaksaan aborsi sudah diatur UU Kesehatan. Lalu pemaksaan perkawinan juga sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak. Sementara pemaksaan pelacuran dan perbudakan seksual sebenarnya sama saja dengan eksploitasi seksual. Itu sudah diatur dalam UU Perdagangan Manusia,” ujar Hasan, Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kepada Tirto, medio November 2017.

Selain itu, ada penolakan dari Fraksi PKS yang menilai ada tafsiran RUU yang "bertentangan dengan Pancasila dan norma agama."

Kendati terus bolak-balik masuk Prolegnas prioritas sejak 2016, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati menjamin RUU ini akan selesai pembahasannya dalam periode ini.

“RUU ini termasuk baru. Jadi kami memprioritaskan yang sudah masuk lebih dahulu seperti UU Penyandang Disabilitas yang sudah disahkan. Tapi kami jamin, akan selesai di periode ini,” ujar Saras kepada Tirto.

Selain masih dalam perdebatan antara fraksi di DPR maupun pemerintah, RUU PKS juga ditolak di luar Senayan terutama oleh kelompok konservatif kanan yang menganggap RUU ini secara implisit mendukung perilaku seks bebas.

Padahal urgensi kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah sedemikian mendesak. Angka kasus kekerasan seksual, termasuk di antaranya perkosaan dan pencabulan, meski fluktuatif tapi tetap signifikan setiap tahun.

Pada 2015, angkanya mencapai 5.499 kasus; sementara pada 2015, kasusnya menyentuh 5.051—hanya turun 448 kasus dari tahun sebelumnya.

Angka ini berdasarkan jumlah laporan ke kepolisian, belum menghitung kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Dari Komnas Perempuan, angkanya lebih fantastis. Pada Catatan Tahunan 2016, Komnas Perempuan menyebut sepanjang 2015 angka kekerasan seksual mencapai 11.2017 kasus.

RUU Langganan Prioritas

Redaksi Tirto mencatat, dari 55 RUU Prioritas, ada 14 RUU yang sejak tahun 2015 menjadi langganan prioritas hingga 2019 tapi tak kunjung dirampungkan DPR.

Salah satunya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang bahkan sudah masuk Prolegnas sejak 2004. Pada 17 Agustus 2018, pemerintah akhirnya membatalkan target pengesahan RKUHP.

Penundaan itu cukup beralasan karena dalam RKUHP terdapat sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Antara lain, pasal perzinaan yang rentan bagi 50 juta masyarakat adat dan pasangan menikah yang kesulitan mendapatkan dokumen resmi.

Kemudian, pasal 534 yang melarang penyebaran informasi alat kontrasepsi yang bisa menghambat program pencegahan HIV/AIDS.

Total ada 1.198 dari 1.251 tindak pidana dalam RUU ini yang diancam kurungan penjara yang dinilai sangat represif.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, menegaskan RKUHP masih akan terus dibahas. “Ini tertunda karena mau pilpres saja,” ujar Masinton kepada Tirto.

RUU lain yang bernasib sama adalah RUU Minerba dan RUU Migas. Kedua RUU ini, menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), cukup mendesak karena mengurusi hajat hidup orang banyak.

Infografik HL Indepth Evaluasi Kinerja DPR

Infografik Anggota DPR gagal fokus RUU prioritas. tirto.id/Lugas

RUU Penting Tidak Diprioritaskan

Percakapan ramai via media sosial dalam beberapa tahun terakhir membuat penyebaran informasi pribadi bergerak liar di dunia maya.

Saat ini memang sudah ada instrumen regulasi yang menggunakan pasal 26 ayat 1 dan 2 UU ITE yang memungkinkan masyarakat menggugat atas kerugian yang ditimbulkan akibat data pribadinya digunakan tanpa persetujuan.

Namun, banyak kasus yang merugikan masyarakat akibat tersebarnya informasi data pribadi (yang baru-baru ini terjadi melibatkan akun-akun mahasiswa/i cantik) membuat ELSAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, getol mendorong pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi.

Sayangnya, meski masuk dalam daftar Prolegnas, RUU ini sama sekali tak pernah dimasukkan ke dalam antrean prioritas.

RUU yang bernasib serupa antara lain RUU yang berhubungan dengan penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu, seperti RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan RUU Peradilan HAM.

Awal Februari lalu, KKR Aceh dan Federasi KontraS mendesak pemerintah untuk segera membuat regulasi yang menguatkan posisi KKR agar rekomendasi KKR dapat dilaksanakan.

Dalam pelaksanaan tugasnya, KKR 'hanya' berwenang mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi korban tanpa ada wewenang penegakan hukum. Produk kinerja KKR hanya akan berupa rekomendasi.

Sayangnya, selama ini rekomendasi yang diserahkan KKR biasanya akan berakhir tanpa ditindaklanjuti. Padahal, hingga saat ini belum ada satupun korban konflik Aceh yang mendapatkan keadilan dari pelanggaran HAM masa konflik, baik yang dilakukan TNI maupun Gerakan Aceh Merdeka.

Terlebih, revisi UU Pengadilan HAM belum disentuh sama sekali oleh anggota-anggota DPR periode 2014-2019.

Mengantre di belakangnya ada Revisi UU Perkawinan yang sudah sedemikian purba dan mendesak direvisi mengingat angka perkawinan anak yang masih tinggi.

Kemudian, RUU Perkelapasawitan, RUU Kehutanan, dan RUU Sistem Penyelesaian Konflik Agraria yang saling berkelindan dan tentu saja memiliki urgensi tinggi, yang belum diprioritaskan oleh DPR dan pemerintah.

Maka, dari evaluasi di atas, kami menilai perlu bagi DPR mendatang menyusun ulang RUU prioritas.

Baca juga artikel terkait DPR-RI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Reporter: Restu Diantina Putri & Aulia Adam
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam