Menuju konten utama

Sidang Tapol Papua, Kasus Makar Disebut Tak Perlu Surat Penangkapan

Ahli mengatakan penangkapan sifatnya situasional. Ketika ada kejahatan, kalau diproses dahulu,  surat perintah penangkapan menyusul.

Sidang Tapol Papua, Kasus Makar Disebut Tak Perlu Surat Penangkapan
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono melakukan pemeriksaan sel tahanan 6 mahasiswa Papua yang menjadi tersangka atas tuduhan makar di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok pada Jumat (20/9/2019). FOTO/Humas PMJ

tirto.id - Sidang praperadilan kasus dugaan makar enam tahanan politik Papua hari ini beragendakan Pembuktian Termohon. Hari ini pihak Polda Metro Jaya menghadirkan saksi dan bukti.

"Bukti mulai dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan. Semuanya lengkap dengan administrasi penyelidikan dan penyidikan. Surat perintah, berita acara, semuanya lengkap," ucap AKBP Nova Irone Surentu, Kuasa Hukum Polda Metro Jaya, Kamis (5/12/2019), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ada 150 bukti yang ia bawa hari ini. Nova berpendapat permohonan mereka diterima hakim lantaran selama proses hukum keenam tersangka, polisi bekerja sesuai prosedur.

Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti Dian Adriawan DG Tawang berlaku sebagai saksi ahli yang diajukan oleh termohon. Dalam sidang ia ditanyakan soal dugaan makar yang dituduhkan kepada enam tersangka, dikaitkan dengan surat perintah penangkapan.

Menurut kuasa hukum pemohon (enam tersangka) surat perintah penangkapan tidak ditunjukkan dan tidak diberikan kepada kliennya sebelum diringkus. Dian menyatakan penangkapan ihwal dugaan tindak pidana makar tidak perlu surat penangkapan terlebih dahulu.

"Bisa dibandingkan, misalnya kejahatan terkait kekayaan. Kalau tidak melalui surat perintah, (penangkapan pelaku pidana kekayaan) itu tidak sah. Tapi kejahatan terkait keamanan negara, tentunya bila diproses surat perintah, bisa saja si pelaku itu kabur," ucap Dian.

Ia melanjutkan dengan dasar tidak perlu surat perintah penangkapan. "Penangkapan sifatnya situasional. Ketika ada kejahatan, kalau diproses dahulu surat perintah, bisa saja si pelaku lari dan akan menyulitkan aparat untuk melakukan pencarian," jelas Dian.

Maka tidak ada alasan polisi menunda penegakan hukum dengan dalih pelaku akan melarikan diri, bahkan ia menyatakan surat tugas kepolisian pun dapat menyusul.

"Tentu dalam penangkapan itu ada situasi penyidik dapat menyiapkan surat tugas. Ada juga yang tidak sempat mempersiapkan surat tugas atau penangkapan, dalam hal ini dapat disusulkan," terang Dian.

Berkaitan dengan surat perintah penggeledahan yang diduga tidak ditunjukkan dan diberikan saat penangkapan, Dian menegaskan penggeledahan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan atau izin penggeledahan.

"Setelah dilakukan penggeledahan, baru diberitahukan ke pengadilan," ujar dia.

Kasus ini bermula ketika rentetan penangkapan terhadap lima mahasiswa Papua dan satu aktivis Papua pada 30-31 Agustus lalu. Enam tersangka yakni Paulus Suryanta Ginting (39), Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni (31), Charles Kossay (26), Ambrosius Mulait (25), Isay Wenda (25) dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge (20).

Lima nama pertama mendekam di Rutan Salemba, Jakarta Timur. Sedangkan nama terakhir dikurung di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Mereka disangkakan pasal makar lantaran mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019, dalam demonstrasi menentang antirasisme terhadap orang Papua.

22 Oktober 2019, kuasa hukum enam tersangka mendaftarkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menilai ada kesalahan prosedur dalam rangkaian penangkapan hingga penahanan.

"Klien kami tidak pernah dipanggil sebagai saksi, namun tiba-tiba ditangkap dan disebut sebagai tersangka," ujar Oky Wiratama Siagian, kuasa hukum enam tersangka.

Baca juga artikel terkait TAPOL PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Irwan Syambudi