Menuju konten utama
18 Agustus 1945

Sidang Pertama PPKI dan Detik-Detik Pengesahan Undang Undang Dasar

Sidang PPKI pertama bertujuan mengesahkan UUD yang telah dirancang dalam sidang BPUPKI, Juli 1945.

Ilustrasi Mozaik Sidang Pertama PPKI. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada tanggal 17 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyelesaikan sidangnya dan menerima Rancangan Undang-Undang Dasar. Pada titik inilah untuk pertama kalinya bangsa Indonesia memiliki dasar negara dan rancangan hukum dasar tertulis.

Selang satu bulan setelahnya, badan lain yang bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk untuk melanjutkan tugas BPUPKI. Adapun tugas utama PPKI ialah membahas kembali dan mengesahkan rancangan UU Dasar dari BPUPKI. Peristiwa bersejarah itu terjadi tepat pada hari ini, 18 Agustus 1945, 74 tahun silam.

Layaknya BPUPKI, PPKI merupakan badan yang dibentuk Jepang untuk menjawab janji kemerdekaan Indonesia. Badan ini dirancang oleh Komando Militer Tertinggi Jepang dalam sebuah pertemuan rahasia di Saigon, Vietnam Selatan, pada 7 Agustus 1945. Alasannya, Jepang ingin agar persiapan pembentukan pemerintahan Indonesia merdeka dapat dipercepat.

Di balik usaha tersebut, Jepang menghendaki jaminan imbalan atas kemerdekaan yang diberikan. Negeri yang mengaku saudara tua ini ingin supaya Indonesia mau mendukung negara induk yang tengah dirundung kekalahan pasca peristiwa pengeboman atom Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945.

Oleh karena itu, Jepang berusaha mendekati kaum nasionalis dari golongan tua, khususnya Sukarno. Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, secara sembunyi-sembunyi menerbangkan Bung Karno ke Saigon untuk dilantik sebagai ketua PPKI.

“Kami berangkat pada pukul lima pagi, secara rahasia. Ada perintah, dilarang memberi tahu keberangkatan itu kepada siapa pun, meski keluarga sendiri,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (2007: 247).

Turut hadir Mohammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat dalam lawatan mencekam bersama puluhan pembesar militer Jepang itu. Secara berurutan, mereka kemudian turut dilantik sebagai wakil ketua dan perwakilan anggota PPKI.

Menurut ingatan Bung Karno, sebelum diberi tahu bahwa salah satu kota terpenting di Jepang telah rata akibat bom atom, baik dirinya maupun Hatta tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh Jepang. Terauchi hanya memberi tahu bahwa Tenno Heika (Kaisar Jepang) menyerahkan proses kemerdekaan sepenuhnya kepada bangsa Indonesia. Untuk itu, Terauchi setuju untuk tidak melibatkan orang-orang Jepang dalam PPKI.

Sukarno mencerna perkataan Terauchi dengan sikap hati-hati. Menurutnya rencana memproklamasikan kemerdekaan dan mengesahkan rancangan UU Dasar yang menjadi tugas PPKI harus dilakukan secara perlahan tanpa pertumpahan darah. Pramoedya Ananta Toer, dkk, dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1999: 19) mencatat adalah Sukarno sendiri yang mengusulkan agar PPKI memulai tugasnya sekitar tanggal 25 Agustus 1945 yang diikuti oleh anggukan Terauchi.

Setelah rombongan Sukarno kembali ke Indonesia, para anggota PPKI bersepakat untuk menyelenggarakan sidang pertama pada 16 Agustus 1945. Keputusan tersebut diambil menyambung penetapan nama-nama pengurus yang terdiri dari 21 orang. Mereka terdiri dari perwakilan-perwakilan dari seluruh wilayah Nusantara.

Rencana dan niatan Sukarno untuk berhati-hati dalam merencanakan kemerdekaan mendapat tentangan keras dari pada pemuda revolusioner. Golongan muda seperti Sutan Sjahrir, Wikana, dan Chairul Saleh terang-terangan menentang sikap lunak yang ditunjukan Dwitunggal Sukarno-Hatta. Bahkan, mereka mulai menuduh Sukarno berada di pihak Jepang.

Setelah melewati serangkaian perdebatan yang diwarnai perang urat syaraf antara golongan tua dengan golongan muda, akhirnya Sukarno-Hatta setuju untuk menunda sidang PPKI dan memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa bersejarah ini dilanjutkan dengan sidang PPKI pertama satu hari setelahnya.

Infografik Mozaik Sidang Pertama PPKI

Infografik Mozaik Sidang Pertama PPKI. tirto.id/Nauval

UU Dasar yang Menyatukan Bangsa

Rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 bertempat di Gedung Pancasila. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini bernama Gedung Tyuuoo Sangi-in yang beberapa bulan sebelumnya dijadikan lokasi merumuskan Pancasila dan rancangan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

Menurut catatan St. Sularno dan D. Rini Yunarti dalam Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (2010: 112), para pengurus PPKI sempat menghadapi permasalahan penting seputar rancangan UU Dasar yang sebelumnya sudah pernah dibahas Panitia Sembilan dalam sebuah rapat tanggal 22 Juni 1945.

Sebelum disahkan, para anggota PPKI didesak untuk membahas kembali kalimat yang termaktub dalam Pasal 6 Ayat 1 tentang calon Presiden dan Wakil Presiden beragama Islam. Dilanjutkan dengan revisi Pasal 29 Ayat 1 tentang agama yang sebelumnya berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Hal tersebut diupayakan untuk mengantisipasi keluhan beberapa anggota PPKI dari wilayah Indonesia Timur, seperti Sam Ratulangi, Tadjoedin Noor, Pangeran Noor, I Ketut Pudja, dan Latuharhary. Seusai upacara di Pegangsaan Timur 56 tanggal 17 Agustus secara berurutan mereka kembali menyatakan keberatan dengan kalimat-kalimat yang cenderung Islamsentris.

Akibatnya, sidang yang dijadwalkan dibuka pada pukul 09.30 harus mundur menjadi pukul 11.30 dengan penambahan anggota sebanyak 6 orang. Saat akhirnya sidang dapat dibuka, Sukarno selaku ketua langsung mengutarakan bahwa perubahan yang penting-penting saja yang akan dibahas agar pekerjaan mengesahkan UU Dasar dan memilih Presiden dan Wakil Presiden dapat dilaksanakan dalam persidangan di hari yang sama.

Hatta kemudian memperjelas apa yang dipaparkan Sukarno dalam pidato pembukaan ketua sidang tersebut. Setidaknya ada dua usulan Hatta yang menunjukan keinginan menghapus penyataan yang meruncing ke arah Islam agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru, sebagaimana dicatat dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945 (1995: 415).

Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta (1991: 208) mencatat bahwa sejak awal Hatta memang sudah menyadari bahwa tidak semua suku di Indonesia dapat menerima rancangan UU Dasar yang baru saja dirumuskan. Seorang perwira Angkatan Laut Jepang bahkan berulang kali mengingkatkan Hatta tentang kelompok-kelompok Kristen di wilayah Indonesia Timur yang merasa keberatan menerima klausa Pancasila dan UUD yang menyebut masalah kewajiban Islam.

Untuk mengatasi persilangan keyakinan yang ada, Hatta berusaha membujuk salah seorang anggota PPKI sekaligus pemimpin Muhammadiyah Jawa, Ki Bagus Hadikusumo supaya tidak berkeberatan jika kalimat-kalimat yang meruncing ke arah Islam dihilangkan. Bujukan Hatta nyatanya berbuah hasil. Dalam memoarnya, Hatta menuliskan bahwa dua orang pemimpin Islam yang hadir dalam sidang PPKI saat itu benar-benar memikirkan masa depan dan persatuan bangsa.

“Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa,” kata Hatta di hadapan peserta sidang.

Berdasarkan catatan St. Sularno dan D. Rini Yunarti, pembahasan UU Dasar dalam sidang PPKI dapat dirampungkan tidak lebih dari dua jam. Tepat pada pukul 13.50, peserta sidang berhasil mencapai mufakat dilanjutkan dengan pengesahan Rancangan dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Menurut risalah rapat, sidang yang dilanjutkan hingga jelang sore itu bisa dengan segera menunjuk Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden berkat aksi gerak cepat Oto Iskandardinata.

“Berhubung dengan keadaan waktu saya harap supaya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri. Dan saya usulkan Bung Hatta menjadi Wakil Kepala Negara Indonesia,” kata Oto disambut tepuk tangan 25 peserta sidang, dilanjutkan suara pekik kemerdekaan dan lagu Indonesia Raya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KEMERDEKAAN atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Nuran Wibisono