Menuju konten utama

Siasat Wilhelmina dan Kegagalan Hitler Menggapai Hindia Belanda

Agar negeri jajahannya tak dijamah Jerman, Wilhelmina memerintahkan penguasa Hindia Belanda untuk memutus hubungan dengan Den Haag dan London.

Siasat Wilhelmina dan Kegagalan Hitler Menggapai Hindia Belanda
Header Mozaik Belanda Mengelabui Jerman. tirto.id/Tino

tirto.id - Setelah diserang lewat udara dengan mengerahkan Luftwaffe (Angkatan Udara Nazi), pada 15 Mei 1940 Jerman berhasil menduduki Belanda. Situasi ini memaksa Ratu Wilhelmina beserta keluarga dan para pejabat meninggalkan wilayah kekuasaannya.

Jerman kemudian menunjuk Jenderal Alexander von Falkenhausen sebagai pucuk pimpinan Pemerintahan Belanda. Namun tak lama kemudian posisinya diganti oleh Dr. Arthur Seyss-Inquart, pengacara asal Austria yang berperan penting dalam aneksasi Austria pada 1938.

Menurut Jennifer L. Foray dalam buku Vision of Empire in the Nazi-Occupied Netherlands (2012), keputusan Hitler mengganti Falkenhausen (militer) dengan Seyss-Inquart (sipil) dilakukan karena ia tahu aksinya digerakkan secara serampangan. Pondasi perebutan Belanda serta wilayah lainnya di Eropa didasari semangat rasial bertajuk “ethnische sauberung” atau “pembersihan etnis”.

Padahal dalam bayangan Hitler, Belanda serta wilayah lainnya di Eropa yang berhasil diokupasi hendak dijadikan “Kontinentalreich” alias “Kerajaan Benua” milik Nazi Jerman.

Musababnya, hingga Hitler melancarkan aksi pendudukan di seantero Eropa pada 1939, Jerman tak memiliki koloni mumpuni untuk dimanfaatkan memperoleh kekayaan, kalah dibanding negara-negara Barat lain, terutama Inggris, Spanyol, Portugal, dan Belanda.

Meskipun Belanda “dapat dikatakan sebagai negara kerdil dalam perpolitikan Eropa,” tulis Foray, “mereka adalah salah satu raksasa di bidang kolonialisme.”

Hitler jelas iri dengan kenyataan tersebut. Mengganti jenderal dengan seorang sipil untuk memimpin Belanda ditujukan untuk menutup pondasi itu. Ia hendak mengganti muka seram pembersihan etnis dengan "imajinasi bahwa Jerman datang untuk membawa perubahan bagi masyarakat Belanda," imbuh Foray.

Kebijakan ini terdapat dalam cetak biru Orde Baru Nazi yang meyakinkan bahwa Jerman tidak datang ke Belanda sebagai penjajah atau untuk menegakkan keyakinan politik Nazi, melainkan mencari hubungan yang lebih dekat antara orang Jerman dan Belanda, yang menurut Nazi sudah dihubungkan oleh kekerabatan rasial.

Untuk menampilkan sisi yang lebih humanis ini, Seyss-Inquart diperintahkan Hitler untuk tidak menyingkirkan para penguasa lokal Belanda. Perubahan ini ditelan mentah-mentah sebagian masyarakat Belanda, terutama para pengikut Nationaal Socialistische Beweging (NSB) alias Partai Nazi Belanda.

Partai ini tidak dibentuk pada 1931 oleh Anton Mussert sesuai kompatriot mereka di Jerman, melainkan didirikan dengan meniru konsep fasis ala Mussolini, dengan otoriter, korporatis, nasionalis, antiliberal, dan antikomunis sebagai prinsip mereka.

Karena bukan cerminan Partai Nazi Jerman, sebelum Hitler mengokupasi Belanda, NSB menganggap perbedaan rasial bukanlah masalah. Bahkan, dituturkan Liesbeth Rosen Jacobson dalam "The Experiences of European Jewish Refugee in the Dutch East Indies, Set Against Other Asian Destination, 1933-1965" (Jewish Culture History, 2021), melalui cabangnya di Hindia Belanda (Indonesia), NSB turut membantu kaum Yahudi yang terusir dari Eropa untuk hidup sementara waktu di wilayah kolonial Belanda tersebut.

Partai ini juga turut serta dalam membangun Nederlandsch-Indische Steunactie atau Aksi Dukung Hindia Belanda guna menyediakan perumahan bagi pengungsi Yahudi di Hindia Belanda. Sebuah sikap yang tidak terjadi di banyak negara lain tempat kaum Yahudi mengungsi.

Namun setelah Belanda dikuasai Jerman, NSB berubah. Terutama setelah Seyss-Inquart, atas kewenangan yang diberikan oleh Hitler berupa Reichskommisar, pada Desember 1941 melarang semua partai politik Belanda beroperasi, kecuali NSB.

Tak hanya Nationaal Socialistische Beweging yang teperdaya Hitler, tapi juga sebagian kalangan cendekiawan seperti Hendrik Colijn, seorang calvinis Belanda. Lewat tulisannya yang berjudul "Op de grens van twee werelden (Di Perbatasan Dua Dunia)" yang terbit pada Juni 1940, ia menghendaki Ratu Wilhelmina berkongsi dengan Hitler.

Menurutnya, kekuasaan Jerman atas seluruh penjuru Eropa hanya tinggal menunggu waktu. "Jika Belanda tak segera sejurus sejalan dengan Jerman, maka Kerajaan Belanda hanya tinggal nama," tulisnya. Berkongsi dengan Jerman, imbuh Colijn, dapat membawa perubahan berarti bagi Belanda.

Pasca krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada awal 1930-an, Belanda terpolarisasi secara besar-besaran antara kaum Katolik, Protestan, Liberal/Sekuler, dan Sosialis. Maka menurut Colijn, dengan bantuan Jerman sangat mungkin tercipta Nederlandsche Unie atau Persatuan Belanda.

Setelah memperoleh dukungan sebagian kalangan masyarakat Belanda, untuk sementara waktu Hitler memang memperlakukan Belanda dengan baik. Namun, kembali merujuk paparan Foray, perlakuan yang baik di bulan-bulan pertama pendudukan Jerman atas Belanda hanyalah bulan madu palsu.

Hitler lantas menunjukkan wajah aslinya yang pemberang dan ganas dengan menangkapi orang-orang Belanda yang tak sepaham dengannya.

Perubahan sikap Hitler terhadap Belanda dipicu karena Jerman gagal mengeruk keuntungan dari Hindia Belanda--lumbung kekayaan Negeri Kincir Angin.

Siasat Wilhelmina

Setelah terusir dari istananya di Belanda karena pendudukan Jerman, Ratu Wilhelmina menjalankan pemerintahan darurat dari London. Ia terutama menjalankan roda kekuasaannya yang terkait dengan Hindia Belanda dan Suriname, sambil mencari cara merebut kembali Belanda dari tangan Adolf Hitler.

"Kerajaan Belanda yang luas, yang tersebar di permukaan bumi dengan enam puluh lima juta penduduknya, akan tetap bebas dan merdeka sebagai negara karena merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa orang-orang bebas yang tidak akan dan tidak dapat binasa dari muka bumi,” ungkap Wilhelmina dalam pidato pertamanya di London.

Meskipun kenyataannya orang-orang negeri jajahan alias inlander di Hindia Belanda tidak pernah setara dengan orang Belanda dan Eropa lainnya, Wilhelmina tak tahu malu memanfaatkannya sebagai tameng eksistensi Kerajaan Belanda.

Hal ini menurut Alec Gordon dalam "Netherlands East Indies" (Journal of Contemporary Asia, Vol. 40 2010), bertujuan untuk menjaga agar Hindia Belanda tak direbut bangsa lain setelah Kerajaan Belanda jatuh karena pendudukan Jerman.

Alasannya jelas, Hindia Belanda merupakan sumber kekayaan Belanda yang memberikan total kekayaan dari 1878 hingga 1939 senilai $154 miliar (kurs dolar 2007) atau setara dengan nilai pasar Youtube saat ini.

Dalam "Netherlands India as a Paying Proposition" (Far Eastern Survey, Vol. 9 1940), warga biasa Belanda pun menikmati kekayaan Hindia Belanda karena antara seperlima hingga sepersepuluh dari seluruh populasi Belanda secara langsung ataupun tidak, bergantung secara finansial pada Hindia Belanda.

Artinya, Hindia Belanda adalah jantung sesungguhnya dari Belanda. Kehilangan Hindia Belanda jelas dapat menciptakan bencana. Kengerian tingkat tinggi yang tak mau dialami Ratu Wilhelmina dan merupakan titik lemah yang diketahui Hitler.

Menurut Jennifer L. Foray dalam buku Vision of Empire in the Nazi-Occupied Netherlands (2012), kemerdekaan palsu yang diberikan Hitler kepada Belanda bertujuan untuk dibayar dengan nilai ekonomi dari koloni yang dimiliki Belanda.

Terlebih, diyakini Hitler dan Seyss-Inquart saat itu, sebagian masyarakat Belanda yakni para pendukung Nationaal Socialistische Beweging (NSB) dan Nederlandsche Unie, mendukung Jerman.

Dukungan ini, sebagaimana ditulis Michael B. Miller dalam "When East Met East" (Central European History, Vol. 53 2020), diterjemahkan dalam arti kecil, yakni dengan kesediaan Deli Maatschappij (perusahaan perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara) membantu Jerman mengekstraksi kekayaan sumber daya alam dalam bentuk pembangunan perkebunan tembakau di Ukraina yang telah ditaklukkan Nazi dengan nama Ukraine Project.

Wlhelmina tak menghendaki ini. Maka itu ia bersiasat dengan memberikan kebebasan penuh sementara waktu bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Infografik Mozaik Belanda Mengelabui Jerman

Infografik Mozaik Belanda Mengelabui Jerman. tirto.id/Tino

Pada Mei 1940, roda pemerintahan Hindia Belanda yang tengah dijalankan Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dilarang mengadakan kontak dengan Den Haag dan London sebagai basis Ratu Wilhelmina berdiam sementara. Strategi ini dipilih untuk memutus mata rantai komunikasi Belanda dengan Hindia Belanda untuk menutup kemungkinan Hitler dan kroninya memberi "wejangan" kepada para pejabat di Hindia Belanda.

Tak hanya itu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga diperintahkan untuk melakukan bersih-bersih di dalam negeri dari pengaruh Jerman. Ini diterjemahkan dengan ditangkapnya seluruh warga Jerman yang berada di Hindia Belanda sejumlah 2.800 jiwa.

Tak ingin ada warga Belanda di Hindia Belanda yang bersimpati pada Jerman, Tjarda van Starkenborgh memenjarakan semua simpatisan NSB dan Nederlandsche Unie cabang Hindia Belanda yang kala itu berjumlah sekitar 500 orang. Mereka, baik warga Jerman maupun simpatisan NSB dan Nederlandsche Unie, dikurung atau dikucilkan di Pulau Onrust.

Saat mengetahui siasat Wilhelmina, Hitler pun berang. Lewat tangan Seyss-Inquart, Hitler membalas perlakuan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan menangkapi orang-orang di Belanda yang masih setia dengan Sang Ratu.

Mereka dikumpulkan seperti kaum Yahudi dan dikirim ke kamp-kamp milik Nazi, khususnya yang berada di Buchenwald, Jerman. Hal ini menurut Foray hendak dijadikan alat tukar untuk membebaskan warga Jerman yang disandera di Hindia Belanda.

Namun, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bergeming. Bahkan saat Hitler menyerah dengan memulangkan tawanannya dari Buchenwald ke salah satu seminari di selatan Belanda, nasib warga Jerman di Hindia Belanda tak berubah.

Kegagalan menggapai Hindia Belanda karena rantai komunikasi terputus serta mendapat perlawanan di dalam negeri Hindia Belanda membuat Hitler frustasi. Kekecewaannya kian menjadi-jadi ketika Inggris dan Australia lewat Anglo-Dutch-Australian Agreement yang ditandatangani pada Februari 1941 sepakat membantu Belanda untuk mengamankan Hindia Belanda.

Dan 10 bulan kemudian, setelah serangan Pearl Harbor, Amerika Serikat juga turut membantu Belanda. Akhirnya Hitler menyerah dalam usahanya mengeksploitasi Hindia Belanda.

Baca juga artikel terkait HINDIA BELANDA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi