Menuju konten utama

Siasat Novanto Sebut Nama Pramono & Puan di Kasus e-KTP

PDIP menilai Setya Novanto menyebut nama Puan dan Pramono dalam lingkaran kasus e-KTP karena dalam kondisi tertekan.

Siasat Novanto Sebut Nama Pramono & Puan di Kasus e-KTP
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (tengah) mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/3/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Sidang kasus korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (22/3) memunculkan dua nama politikus PDI Perjuangan: Pramono Anung dan Puan Maharani. Setya Novanto terdakwa yang menjalani sidang itu menyebut Pramono dan Puan telah menerima uang masing-masing sebesar $500 ribu dolar. Informasi ini ia dapat dari pengusaha Made Oka Masagung dan Andi Naragong—yang juga terdakwa kasus e-KTP.

Menurut Novanto, uang berasal dari Made, diberikan saat Puan masih menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP DPR periode 2012-2014. Sedangkan Pramono menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Pernyataan Novanto cukup mengejutkan mengingat nama Pramono dan Puan tidak ada dalam dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum.

Apa motif Novanto menyeret nama-nama orang di lingkaran Istana?

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar memperkirakan ucapan Novanto tentang Puan dan Pramono bermotif agar pengajuan dirinya sebagai Justice Collaborator (JC)—tersangka tapi bukan pelaku utama yang ingin membongkar orang yang terlibat di atasnya—dapat diterima KPK.

Fickar menduga Novanto ingin publik dan aparat penegak hukum tahu bahwa dalam kasus proyek E-KTP ia bukanlah “pemain” utama. Fickar juga berpendapat, Novanto seolah ingin menunjukkan dengan mengungkap nama-nama lain dalam proyek e-KTP status JC bisa lebih mudah didapat.

Fickar menilai ada unsur politis di balik penyebutan nama Puan dan Pramono. Sebab semestinya nama Puan dan Pramono diucapkan Novanto sejak awal proses sidang atau ketika ia masih menjalani pemeriksaan di KPK. Fickar berharap Novanto bisa membuktikan ucapannya ke aparat penegak hukum.

Di sisi lain, penegak hukum juga mesti menindaklanjuti pernyataan Novanto dengan memeriksa Made dan Andi. Bila kedua orang tersebut membenarkan ucapan Novanto maka kesaksian Novanto bisa disebut sebagai fakta persidangan.

“Jika sudah menjadi fakta hukum, sudah bisa dikonfirmasi sebagai alat bukti, dianggap cukup, maka bisa dijadikan dasar untuk menetapkan tersangka baru dalam kasus e-KTP,” ujar Fickar pada Jumat (23/3).

Namun, bila Novanto tak bisa membuktikan pernyataannya, justru bisa menjadi bumerang. Bagi Novanto bila kesaksiannya terbukti palsu maka ada konsekuensi hukum.

"Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta," kata Fickar mengutip Pasal 22 UU Tipikor.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Fariz Fahrian menduga ada campur tangan kuasa hukum di balik penyebutan nama Puan dan Pramono oleh dalam persidangan Novanto. Fariz memperkirakan Novanto sengaja menyebut pihak-pihak lain dalam kasus korupsi e-KTP sebelum vonis dijatuhkan hakim.

"Karena sekarang kesempatan satu-satunya Setnov untuk menyebut keterlibatan pihak lain. Setelah putusnya vonis tentu akan sulit bagi Setnov untuk menyebut pihak-pihak lain," kata Fariz kepada Tirto.

Fariz yang mengikuti jalannya sidang memperkirakan penyebutan nama Puan dan Pramono oleh Novanto juga didorong bukti yang muncul selama jalannya sidang. Salah satu bukti itu misalnya aliran dana ke keponakan Novanto, Irvanto pemimpin PT Murakabi Sejahtera yang kini berstatus tersangka.

"Motif lainnya saya kira Setnov tidak ingin dijerat sendirian dalam kasus e-KTP, makanya ia 'bernyanyi'," ujar Fariz.

Maqdir Ismail, kuasa hukum Novanto mengakui penyebutan nama Pramono dan Puan sudah didiskusikan dengan tim kuasa hukum. Ia menolak ada motif politis dari ucapan Novanto. Menurutnya Novanto hanya mengikuti perintah hakim yang ingin terdakwa bicara apa adanya.

"Soal benar atau tidak benar, saya kira ya kita serahkan nanti kepada waktu," kata Maqdir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin.

Faktor waktu dan momentum menurut Maqdir juga menjadi alasan mengapa nama Puan dan Pramono baru disebut jelang masa sidang perkara Novanto berakhir. Persidangan kasus Novanto akan memasuki agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa, pekan depan. Setelah itu, mantan Ketua DPR itu akan diberi waktu menyampaikan pledoi.

"Bagaimana pun juga ketika ia diperiksa sebagai terdakwa beliau bisa bicara apa saja... Jadi tidak spesifik bahwa karena hari ini diperiksa sebagai terdakwa, maka baru menyebut orang. Tidak seperti itu," kata Maqdir.

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum dan HAM Trimedya Panjaitan mengatakan pihaknya telah mencermati BAP dan jalannya sidang Made. Menurut Trimedya tidak sekali pun Oka menyebut nama Puan dan Pramono sebagaimana disampaikan Novanto. Ia menduga pernyataan Novanto disampaikan dalam kondisi tertekan.

“Kami paham Pak Setnov dalam situasi tertekan dan berupaya menjadi justice collaborator," ujar Trimedya Panjaitan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku masih mempelajari soal keinginan Novanto menjadi justice collaborator. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan analisis harus dilakukan karena Novanto menyebut nama dua politikus itu berdasarkan kesaksian orang lain.

"Tentu informasinya perlu dikroscek dengan saksi dan bukti lain... kami akan analisis dulu fakta sidang untuk kepentingan tuntutan," ujar Febri melalui pesan singkat kepada para media.

Febri tak menjawab tegas ihwal ada atau tidaknya nama Puan dan Pramono sebelum persidangan kasus e-KTP berlangsung. Ia berkata tak bisa mengungkap materi penyidikan kasus itu. KPK hanya fokus dalam aspek hukum dalam menangani perkara itu.

"KPK cukup fokus pada fakta hukum. Aspek politik bukan domain KPK," ujar Febri.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya