Menuju konten utama

Siasat Jokowi Menyelamatkan BPJS Kesehatan

Pemerintahan Jokowi telah mengeluarkan beragam kebijakan untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit anggaran.

Siasat Jokowi Menyelamatkan BPJS Kesehatan
Warga antre mengurus kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (30/7/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Jarum jam menunjukkan hampir setengah sembilan malam. Suasana ruangan di Komisi IX DPR RI di Senayan, Jakarta, masih ramai. Malam itu sedang berlangsung rapat gabungan Komisi IX DPR bersama BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang sudah berjalan hampir enam jam.

Rapat yang alot dengan beberapa kali penundaan salah satunya membahas pencabutan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan. Peraturan Nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 diteken pada 25 Juli 2018. Isinya: menjamin penderita penyakit katarak hanya dengan visus kurang dari 6/18; membatasi biaya BPJS Kesehatan untuk penjaminan bayi baru lahir dengan kondisi sehat pasca-operasi caesar maupun per vaginam; mensyaratkan rehabilitasi medis dengan jumlah maksimum dua kali per minggu atau delapan kali dalam sebulan.

Namun, Fachmi Idris selaku direktur utama BPJS Kesehatan bergeming.

“Kita bukan menghapus, tetap kita obati sesuai ketentuan pengendalian,” kilah Fachmi saat rapat, Senin malam pekan lalu, 17 September.

Persoalan yang dibahas pada malam itu sempat jadi perbincangan pada rapat serupa pada 27 Agustus. Rekomendasinya tetap sama: pencabutan Perdirjampelkes. Alibi yang jadi pijakan BPJS Kesehatan untuk ngotot mempertahankan aturan itu karena regulasi itu tak dilarang oleh presiden dan telah dibawa ke rapat tingkat menteri, dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, sehingga tak bisa sekonyong-konyong dicabut.

“Kami akan berkirim surat,” ujar Fachmi, meminta penundaan putusan rapat.

Pemimpin sidang Komisi IX akhirnya menyerah, tapi keputusan pencabutan peraturan itu tetap akan dibahas pada masa sidang pertama tahun persidangan DPR 2018-2019.

Persoalan tarik ulur Perdirjampelkes terjadi sejak pertama kali diluncurkan. Di internal pemerintah pun terjadi perbedaan sikap. Menteri Kesehatan Nila Moeloek sudah meminta aturan ini dicabut karena berisiko menghambat target-target perbaikan kesehatan di Indonesia. Selain itu, dalam jangka panjang, berpotensi membikin beban kesehatan semakin meningkat dan kembali BPJS yang menanggung beban di masa mendatang.

Sebelum Perdirjampelkes diterapkan, tak ada pengecualian visus bagi penderita katarak. Semua tingkatan katarak bisa ikut operasi dan dijamin BPJS, begitu juga persalinan dan rehabilitasi medis. Sebagai seorang dokter spesialis mata, Nila memaparkan katarak dapat berkembang jadi komplikasi serius seperti glaukoma ketika ditunda pengobatannya.

“Katarak kita di dunia nomor dua, jika tak ada perbaikan tentu dua tahun lagi akan jadi nomor satu,” katanya di sela-sela rapat.

Padahal, sebelum penerapan Perdirjampelkes, biaya yang dikucurkan BPJS Kesehatan untuk operasi katarak belum mencukupi. Nila juga masih sering meminta dana CSR dari perusahaan swasta maupun BUMN untuk membiayai operasi di luar BPJS demi menuntaskan target mengeliminasi semua penyebab utama kebutaan pada 2020.

Masalah lain adalah paket pembiayaan persalinan. Dalam Perdirjampelkes Nomor 3 tahun 2018, penjaminan BPJS pada bayi baru lahir dengan kondisi sehat dibayar dalam satu paket persalinan. Artinya, klaim biaya anak yang butuh perawatan khusus ditagih di luar paket.

Saat ini BPJS hanya menjamin sekitar Rp4 juta untuk persalinan caesar dari sebelumnya berkisar Rp7 juta. Pada rehabilitasi medis, pasien harus menanggung kelebihan biaya rehabilitasi jika lebih dari delapan kali sebulan.

“Kalkulasi kita dalam waktu satu tahun bisa Rp1 triliun,” ujar Fachmi menjawab estimasi efisiensi dari berlakunya Perdirjampelkes.

Ia menegaskan tak ada penghapusan penjaminan pada ketiga poin tersebut. “Tidak ada kami biarkan apalagi sampai buta, hanya diatur, kalau sudah tak bisa melihat pasti ditindaklanjuti."

Infografik HL Indepth BPJS Kesehatan

Ragam Penyelamatan BPJS Kesehatan

Polemik soal Perdirjampelkes sebagai upaya BPJS Kesehatan melakukan efisiensi anggaran hanya potret kecil dari drama besar ihwal darurat anggaran BPJS Kesehatan.

Setiap tahun masalah defisit anggaran mengemuka dan belum ada solusi yang ampuh. Strategi untuk menaikkan premi tak menjadi pilihan pemerintah dengan segala pertimbangan teknis dan politis yang sulit.

Pemerintah memang sudah berupaya mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan lewat pelbagai kebijakan. Antara lain melalui Peraturan Presiden dan kebijakan internal di BPJS Kesehatan Target totalnya, pemerintah dapat memperoleh dana Rp9,23 triliun.

Salah satu langkahnya dengan mendisiplinkan pemerintah daerah melalui PMK Nomor 183 Tahun 2017 (PDF) yang mengatur mekanisme penyelesaian tunggakan iuran jaminan kesehatan pemda. Caranya dengan memotong dana alokasi umum atau dana bagi hasil ke masing-masing pemda yang bandel. Selama ini banyak pemda yang mangkir membayar iuran peserta warganya, yang didaftarkan melalui program Jaminan Kesehatan Daerah.

Targetnya, pemerintah bisa memperoleh dana Rp527 miliar. Saat ini, dana yang sudah diperoleh dari pemda cuma Rp186 miliar, padahal data terakhir pada 1 September 2018 ada 26,49 juta jiwa peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar melalui Jamkesda.

Data BPJS Kesehatan menyebut beberapa pemda telat membayar iuran dan cenderung mendaftarkan penduduk yang memiliki penyakit risiko tinggi. Imbasnya, ia menyumbang defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Jalur Jamkesda yang menunggak bayar iuran ini membuat defisit Rp1,45 triliun (2014), Rp1,68 triliun (2015), Rp1,22 triliun (2016), dan Rp1,68 triliun (2017).

Cara lain pemerintahan Jokowi buat menambal defisit lewat PMK 222/ 2017 (PDF) tentang penggunaan, pemantauan dan evaluasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Dana senilai Rp1,48 triliun dari cukai hasil tembakau ini diharapkan dapat membantu mendukung fasilitas kesehatan.

Kementerian Keuangan juga akan memotong pajak rokok dari seluruh daerah sebesar 10 persen, yang diambil dari total pendapatan cukai rokok, sebagaimana tertera dalam Perpres 82/2018.

“Dalam Perpres, ada aturan yang memerintahkan menteri keuangan untuk bisa memotong sesuai dengan PMK berupa 75 persen dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah, yang digunakan untuk JKN (Jaminan Kesehatan Nasional),” jelas Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.

Saat ini baru 13 provinsi dan 230 kabupaten/kota yang telah terintegrasi Jamkesda dengan BPJS Kesehatan, menurut Mardiasmo. Angka itu pun masih di bawah 37,5 persen, sehingga setoran dana JKN dari pemda baru Rp1,68 triliun. Masih ada 22 provinsi yang bahkan belum menganggarkan Jamkesda sama sekali, ujarnya.

Kebijakan ini punya potensi untuk menambal kas BPJS Kesehatan sebesar Rp5,51 triliun yang selama ini bocor serta bisa menghemat dana operasional sebesar Rp200 miliar.

Strategi lain adalah perbaikan manajemen klaim fasilitas kesehatan berupa mitigasi fraud, sehingga bisa menghemat Rp750 miliar.

Upaya lain yang juga ditempuh adalah menyelaraskan BPJS Kesehatan dengan jaminan sosial lain seperti BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, Asabri, dan Jasa Raharja, menurut Mardiasmo.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris juga merancang upaya lain. Saat ini BPJS Kesehatan tengah memperbaiki sistem rujukan dan rujuk balik lewat sistem online, yang diharapkan bisa menghemat dana hingga Rp500 miliar. Target sistem online ini bisa menghemat Rp1,74 triliun.

Kebijakan menyelamatkan defisit keuangan BPJS Kesehatan yang mencapai Rp8-9 triliun pada akhir tahun 2018 memang jadi momok pemerintahan. Bila problem ini berlarut-larut dibereskan, sebagaimana sejak awal BPJS Kesehatan beroperasi pada 2014, imbasnya terhadap para pasien itu sendiri. Hal ini akan jadi bumerang bagi pemerintah sendiri.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri & Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri & Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra