Menuju konten utama

Siapa yang Berhak Mengikuti Pelatihan Bela Negara?

Dandim 06/03 Lebak, Letkol Czi Ubaidillah, dicopot dari jabatannya karena menggelar pelatihan Bela Negara tanpa izin komandan. Karena melibatkan anggota FPI?

Siapa yang Berhak Mengikuti Pelatihan Bela Negara?
Sejumlah mahasiswa mengikuti Pendidikan Bela Negara di halaman Kampus Universitas Negeri Siliwangi Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (9/1). Kegiatan ini diikuti 2.800 mahasiswa baru angkatan 31 tahun 2016/2017. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/ama/17

tirto.id - Komandan Daerah Militer (Dandim) 06/03 Lebak, Letkol Czi Ubaidillah harus melepaskan jabatannya karena tak melaporkan latihan Bela Negara kepada Pangdam III Siliwangi. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan bela negara sehingga pelatihannya saja harus dilakukan dengan prosedur ketat?

Barisan pria dan wanita berseragam biru loreng dan bertopi dan sepatu bot hitam dengan emblem “Bela Negara” di dada kiri terlihat garang menatap inspektur upacara. Jumlahnya kira-kira mencapai 200 orang. Usai melakukan upacara, mereka menyanyikan yel-yel penyemangat di bawah terik matahari yang membakar.

“Saya bangga kalian mau dengan sukarela melakukan pelatihan bela negara ini,” ungkap Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam pembukaan program Bela Negara di Lapangan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan, (22/10/2015).

Sang menteri mengatakan, sejatinya pelatihan bela negara dimaksudkan untuk mewujudkan warga negara yang memiliki kesadaran sikap rasa cinta terhadap Tanah Air, setia pada negara dan rela berkorban untuk bangsanya. Konsep pelatihannya mengedepankan diskusi soal kenegaraan dan pemecahan masalah yang terjadi di lingkungan masing-masing.

“Ada yang kuliah (di dalam ruangan), ada yang di lapangan. Kelas 70 persen dan 30 persennya di lapangan seperti baris-berbaris, hormat, latihan P3K, penanggulangan bencana, dan upacara bendera,” kata Ryamizard.

Dalam situswebnya, seluruh warga negara Indonesia dapat mengikuti program ini, karena bela negara merupakan hak dan kewajiban WNI. Jenis diklatnya sudah bisa dimulai kepada anak-anak usia 2-5 tahun yang berada di jenjang pendidikan PAUD atau Taman Kanak-kanak hingga WNI yang masih berumur di bawah 50 tahun.

Pendaftarannya cukup mudah. Terdapat formulir di situsweb tersebut dan dapat diisi daring. Hingga kini, total warga yang sudah mengikuti bela negara mencapai 1.588.777. Tiga provinsi menjadi penyumbang terbanyak: Jawa Tengah 264.803 kader, Jawa Timur 159.454 kader, dan Jawa Barat 42.904 kader.

Riwayat Bukittinggi dalam Sejarah Bela Negara

Sejarah bela negara tidak bisa dilepaskan dari Kota Bukittinggi. Semula, kota ini merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kedatangan Belanda membuat Bukittinggi menjadi kota pertahanan Belanda menghadapi Kaum Padri.

Pada 1825, Belanda mendirikan benteng pertahanan sekaligus tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda di Bukit Jirek. Benteng yang dinamai Benteng Sterreschans dibangun atas inisiatif Kapten Bauer itu kemudian menjadi cikal bakal Kota Fort de Kock (Koto Gadang Masa Kolonial, hal. 9).

Akhirnya, Bukittinggi berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota) dan berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam. Di masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militer untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand.

Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah kepimpinanan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Status administrasinya pun berganti dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho. Daerahnya juga diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit Batabuah (The Kenpeitai in Java and Sumatra, hal. 77).

Setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947, Bukittinggi ditetapkan Ibu Kota Provinsi Sumatera dengan gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan.

Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Kota Bukitinggi sempat ditunjuk Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer II. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittingi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin Prawiranegara.

Mengapa Agresi Militer Belanda II menjadi titik balik Hari Bela Negara padahal sebenarnya hari itu menjadi kekalahan telak bagi Republik? Simak empat laporan khas Tirto:

Apa Jadinya Jika Tak Ada PDRI?

Operasi Gagak Menduduki Ibukota Republik

Mengapa Ibukota Republik Bisa Diduduki dalam Hitungan Jam?

Mengapa Bung Karno Tak Ikut Gerilya Bersama Soedirman?

Peristiwa itulah yang menjadi cikal bakal ditetapkan Hari Bela Negara. Penetapan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara ini berdasarkan Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 19 Desember 2006.

Untuk mengenang sejarah perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintah Republik Indonesia pada 2013 membangun Monumen Nasional Bela Negara. Monumen itu berada di salah satu kawasan yang pernah menjadi basis PDRI dengan area seluas 40 hektar, tepatnya di Jorong Sungai Siriah, Nagari Koto Tinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota.

Infografik Bela Negara

Dasar Hukum Bela Negara

Dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat (3) dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pasal 30 ayat (1) juga mengamanatkan hal yang sama, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.

Dasar hukum ini diperkuat Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 9 ayat (1) yang mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”.

Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan, keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui: pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan pengabdian sesuai dengan profesi.

Semua dasar hukum tersebut menjamin hak setiap warga negara untuk mengikuti pelatihan Bela Negara. Namun, mengapa hanya pelatihan bela negara di Lebak, yang melibatkan anggota FPI, yang menjadi ramai dan membuat jabatan Komandan Daerah Militer 06/03 Lebak, Letkol Czi Ubaidillah, dicopot?

Pangdam III Siliwangi Mayjen M. Herindra mengklarifikasi seusai pelantikan Danrem 06/04 Maulana Yusuf di Alun-alun Barat Kota Serang, Banten, Senin pagi, (9/1/2017). Ia menyatakan, dari hasil pemeriksaan, ternyata pelatihan bela negara itu tidak melalui sitem dan prosedur yang ada.

“Sehingga saya buat keputusan Dandim dicopot," ujarnya. "Seharusnya untuk menggelar pelatihan bela negara, Dandim harus izin terlebih dulu ke Danrem dan Danrem izin ke saya, saya yang tentukan iya atau tidaknya pelatihan digelar.”

Meski bilang pencopotan Letkol Ubaidillah hanya masalah prosedural semata, tapi Mayjen Herindra menegaskan pelatihan bela negara diprioritaskan untuk setiap warga negara termasuk ormas maupun LSM pro-NKRI, Pancasila, UUD 45, bhineka tunggal ika, dan pro-kemajemukan.

“Itu kita siap melatih. Tapi kalau ormas yang tidak pro-Pancasila, saya akan pertimbangkan,” katanya.

Hanya saja, ketika ditanya maksud pernyataannya merujuk FPI, Mayjen Herindra hanya mengatakan "belum menelisik lebih dalam."

Sementara itu, Imam FPI Banten KH Qurthubi Jaelani menyatakan lewat video, yang dirilis di akun Facebook FPI Banten, bahwa pencopotan Dandim Letkol Ubaidillah tidak ada hubungannya dengan pelatihan kepada FPI.

“Tidak ada pencopotan. Sebelum pelatihan dimulai, Pak Dandim sudah katakan dirinya akan dimutasi. Lihat saja 10 Januari nanti akan ada serah terima jabatan Pak Dandim. Ini seolah mau mencitrakan TNI jangan dekat dengan umat Islam, nanti dicopot,” kata Qurthubi.

Baca juga artikel terkait FPI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS