Menuju konten utama

Si Gila Marcelo Bielsa adalah "Tuhan" bagi Para Fan Leeds United

Seorang fanatikus Leeds United memberi pujian untuk Bielsa: "You are God"—sanjungan yang barangkali tak berlebihan.

Si Gila Marcelo Bielsa adalah
Marcelo Bielsa. AP Foto / Michel Spingler

tirto.id - Pada 18 Juli 2020 Athletic membuka forum tanya jawab di situs mereka. Berlangsung dari pukul 5 hingga 7 malam waktu Inggris, forum tanya jawab itu membicarakan tentang keberhasilan Leeds United promosi ke Premier League setelah 16 tahun penantian. Phil Hay, jurnalis Athletic, ditunjuk sebagai narasumber. Sebagian besar pertanyaan tentu saja datang dari para penggemar Leeds yang sedang bersuka cita.

“Seorang pemain dari Rosario (tempat asal Marcelo Bielsa) baru saja menunda perpanjangan kontrak dengan Barcelona. Apakah kita (Leeds) punya kesempatan (untuk mendatangkannya), Phil?” tanya seorang pembaca dengan akun bernama Lewis D.

Yang dimaksud Lewis adalah Lionel Messi dan Phil menjawab dengan enteng: “Gaji pemain tersebut sesuai dengan standar kita. Jadi ada kemungkinan ia akan datang ke Elland Road pada musim depan.” Lalu, tahu bahwa Phil sedang bercanda, sebagian peserta forum menimpali jawaban itu dengan tawa.

Setelah itu Phil lantas dibanjiri pertanyaan-pertanyaan lain seputar Leeds, membuat forum tanya jawab tersebut ramai dan menghasilkan lebih dari 500 komentar. Ada yang bertanya soal berita terbaru, ada yang bertanya tentang calon-calon pemain baru Leeds, hingga ada yang sekadar berterima kasih kepada Phil karena liputan-liputannya tentang Leeds di Athletic. Namun, di antara semua pertanyaan, sebagian besar pertanyaan hanya mengarah ke satu hal: Apakah Marcelo Bielsa akan bertahan di Leeds United?

Pertanyaan itu, publik sepakbola Inggris tahu, tentu saja sangat beralasan. Selain berhasil membawa Leeds kembali ke kancah Premier League, Bielsa adalah penyebab utama tercapainya sebuah harapan yang sempat nyaris padam. Jika pelatih-pelatih Leeds sebelumnya biasa berdiri di tepi lapangan hanya untuk menjadi sasaran hujatan para penggemar atau, kata Phil Hay, sebagai “penangkal petir”, Bielsa sebaliknya. Ia membawa gairah, kerja keras, kemenangan, dan membuat Leeds kembali dicintai. Bahkan saking besarnya sumbangsih yang diberikan Bielsa kepada Leeds, salah seorang penggemar Leeds pernah memberikan pujian terang, ringkas, dan bertenaga secara langsung kepada Bielsa:

“Anda adalah Tuhan.”

Hampir Tak Ada Harapan

Phil Hay dalam “After 15 Managers and Five Owners at Leeds – is Football’s Biggest Comeback On?” menjelaskan bahwa Leeds United pernah menjadi klub yang sangat menyedihkan. Setelah degradasi ke Championship pada akhir musim 2003-2004, tim asal Yorkshire itu terus berjalan mundur. Nasib buruk itu, menurut Phil, salah satunya terjadi karena tingkah-polah Ken Bates, mantan pemilik Leeds United.

Saat Bates mengakuisisi Leeds dari tangan Gerald Krasner pada 2005, penggemar Leeds sebetulnya berharap pebisnis asal Inggris tersebut mampu menciptakan keajaiban. Lantaran bukan orang baru di dunia sepakbola, pernah menjadi pemilik Oldham, Wigan, hingga Chelsea, Bates dianggap bakal mengembalikan nama besar Leeds seperti sedia kala. Sayangnya, harapan itu ternyata jauh panggang dari api: di tangan Bates, Leeds justru dihajar masalah nyaris tanpa jeda.

Mula-mula Bates gagal memperbaiki kinerja manajemen klub sehingga Leeds tak bisa lepas dari lilitan utang. Alih-alih membatasi pengeluaran, ia justru bersikap acuh saat manajemen Leeds terus-terusan melakukan kebijakan transfer ngawur dengan mendatangkan pemain-pemain mahal yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan. Ganjarannya: menjelang berakhirnya musim 2006-2007, Leeds terkena masalah administrasi dan mendapatkan pengurangan 10 angka. Dari masalah inilah, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Leeds kemudian terdegradasi ke League One alias kompetisi kelas tiga sepakbola Inggris.

Peristiwa itu tentu saja membuat penggemar Leeds marah besar. Mereka tak terima lantaran Bates, yang sempat dianggap sebagai juru selamat, justru membuat Leeds terjerembab semakin dalam. Namun hanya beberapa saat setelah para penggemar Leeds melancarkan protes, masalah baru dengan pola serupa kembali muncul: Leeds lagi-lagi terkena administrasi dan harus memulai kompetisi League One musim 2007-2008 dengan pengurangan 15 angka.

Peristiwa nahas ini kemudian dikenal dengan “doing a Leeds”, sebuah istilah yang menggambarkan kinerja buruk manajemen klub sepakbola. Sejak itu “doing a Leeds” tidak hanya identik dengan Leeds, melainkan juga merujuk klub-klub sepakbola Eropa yang salah urus keuangan. Dan sejak itu pula para penggemar Leeds harus menyaksikan pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya: Leeds tidak hanya bertanding dari kota ke kota, tapi juga dari desa ke desa.

Bayangkan ini: pada 30 November 2008 Leeds harus bertanding melawan Histon FC, klub asal Desa Histon dan Impington yang hanya mempunyai penduduk sekitar 10 ribu orang. Dalam pertandingan fase awal Piala FA itu, Leeds kalah 1-0. Apesnya, pencetak gol kemenangan Histon bukanlah pemain sepakbola profesional, melainkan seorang pegawai kantor pos setempat bernama Matthew Langston.

Semua pengalaman buruk itu ternyata tak mengubah perilaku Bates.

Setelah Leeds kembali ke Championship pada musim 2009-2010, Bates memperlakukan Leeds layaknya opera sabun. Ia hampir selalu menciptakan drama, dengan tak mau mendengar keluhan para penggemar, memecat pelatih sesuka hati, dan membuat ruang ganti Leeds terpecah belah. Soal terakhir, Richard Naylor, kapten Leeds saat itu, bahkan sampai mengatakan bahwa pemain-pemain Leeds dikontrak bukan untuk bermain sepakbola, melainkan untuk saling bersitegang.

“Kondisinya selalu sulit, seakan-akan semua orang selalu menunggu sesuatu untuk diperdebatkan,” kata Naylor.

Lain itu, salah seorang mantan pelatih Leeds di era Bates, yang sempat ingin bunuh diri karena Leeds terus-terusan tampil buruk, juga pernah memberikan bocoran mengenai keadaan Leeds di bawah rezim Bates kepada Phil Hay. “Aku tahu kami seperti sampah,” katanya. “Aku juga tahu kami seharusnya bisa lebih baik. Namun itu sulit karena di sini tidak ada yang mau bertanggung jawab. Kami merasa sendirian.”

Kulminasi dari segala masalah yang ditimbulkan Bates kemudian terjadi pada 2012. Kala itu Bates memutuskan menjual Leeds ke Salah Nooruddin, seorang pebisnis asal Bahrain. Di tangan Nooruddin, Leeds justru semakin memburuk. Mereka hanya mampu finis di papan bawah Championship dalam dua musim berturut-turut . Lalu, pada 2014, Nooruddin menjual Leeds ke Massimo Cellino yang perilakunya tak jauh beda dengan Bates.

Di bawah kepemilikan Cellino, Leeds kembali gonta-ganti pelatih, bermasalah dengan keuangan, tetap berada di papan bawah Championship, dan punya kebijakan aneh. Perkara terakhir, pada awal musim 2014-2015, Guardian pernah melaporkan: Paddy Kenny, kiper utama Leeds yang lahir pada tanggal 17 Mei, terpaksa dilego sebab Cellino menilai angka 17 adalah pembawa sial.

Singkat cerita, semua masalah itu terus terjadi sampai akhir musim 2017-2018. Sementara para penggemar Leeds mulai merasa hanya bisa melihat gelap di masa depan, Phil Hay menilai Leeds hanyalah sebuah “entitas tak bernilai milik orang-orang yang hanya ingin membuat para pelatih dan pemain sebagai tumbal amarah para pendukungnya.” Dan saat publik sepakbola Inggris mulai melupakan Leeds, Andrea Radrizzani, pemilik anyar Leeds, tak ingin keadaan itu berlangsung selamanya.

Berbeda dari pemilik-pemilik Leeds sebelumnya, Radrizzani mau menerima masukan dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Maka, saat Victor Orta, Direktur Sepakbola Leeds, mengatakan bahwa Marcelo Bielsa merupakan satu-satunya pelatih yang bisa memperbaiki keadaan, ia langsung berupaya keras untuk mendatangkan pelatih berjuluk "si gila" itu. Pada akhirnya, 15 Juni 2018, Bielsa diperkenalkan di Elland Road sebagai pelatih anyar Leeds dengan misi kelewat besar: memperbaiki kultur klub, menciptakan mentalitas pemenang, hingga mengembalikan kepercayaan para penggemar.

Infografik Leeds United era Bielsa

Infografik Leeds United era Bielsa. tirto.id/Fuadi

Era Baru Leeds

Perjalanan Bielsa bersama Leeds dimulai lewat sebuah kisah yang kelak menjadi legenda. Suatu kali, di tempat latihan Leeds, ia mengumpulkan semua pemain, memperkenalkan diri, dan menjelaskan metode kepelatihannya. Lalu, secara absurd, ia bertanya: Berapa lama rata-rata penggemar Leeds harus bekerja agar mereka dapat membeli tiket pertandingan?

Pemain-pemain Leeds diam. Bielsa, entah dari mana, menemukan jawaban bahwa para penggemar Leeds harus bekerja selama tiga jam. Setelah itu, alih-alih memulai latihan, Bielsa justru menyuruh para pemainnya memungut sampah di sekitar tempat latihan Leeds selama tiga jam, sesuai dengan waktu kerja yang dibutuhkan para penggemar agar bisa membeli tiket pertandingan. Pemain-pemain Leeds pun langsung mendapatkan pelajaran berharga dari Bielsa: untuk meraih kesuksesan, mereka harus mau mengapresiasi para penggemar.

Phil Hay dalam “Marcelo Bielsa: The Inside Story of a Leeds Love Affair that Made Dreams Come True” menjelaskan bahwa Leeds memang langsung mengalami banyak perubahan setelah kedatangan Bielsa. Akademi, yang sebelumnya tampak sebagai pantas-pantas belaka, mulai mendapatkan perhatian serius. Tempat latihan Leeds diperbaiki. Tim analisis berperan jauh lebih besar ketimbang sebelumnya. Sementara pemilik klub tidak lagi berbuat sesukanya, kebijakan transfer juga dilakukan berdasarkan hitung-hitungan matang. Namun, menurut Phil, perubahan paling kentara di era Bielsa terjadi di atas lapangan.

Agar para pemain Leeds dapat bermain sesuai dengan filosofinya, Bielsa sama sekali tak mau berkompromi. Ia punya standar tersendiri soal siapa yang saja yang pantas bermain, entah itu berdasarkan hitung-hitungan berat badan, catatan lari, hingga pengambilan keputusan. Jika ada pemain yang tak memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, sebagus apapun pemain itu, ia dipastikan tak akan dipasang oleh Bielsa. Seandainya ada pemain yang mengeluh soal metode Bielsa, pemain tersebut juga dipastikan akan masuk ke dalam daftar jual.

Bielsa bertindak seperti itu bukan tanpa alasan: filosofi permainan Bielsa, yang berpusat pada permainan menyerang secara vertikal dan high-pressing, menuntut intensitas, kedisiplinan, serta kecerdasan di atas rata-rata. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari salah satu sesi latihan ala Bielsa yang paling terkenal: murderball.

Murderball ialah sesi latihan ala Bielsa yang paling berat. Dalam sesi tersebut, para pemain akan bertanding 11 melawan 11, seperti dalam pertandingan sesungguhnya. Namun, Bielsa menerapkan aturan sendiri: saat bola keluar lapangan, tidak ada lemparan ke dalam, tendangan sudut, dan lain-lain— pertandingan akan terus dilanjutkan dengan bola lain yang sudah disiapkan.

Murderball juga mempunyai intensitas lebih tinggi ketimbang dalam pertandingan sesungguhnya. Dalam sesi tersebut, para pemain dituntut untuk selalu melakukan sprint, baik dalam transisi bertahan ke menyerang ataupun sebaliknya. Selebihnya adalah umpan-umpan pendek penetratif yang sebisa mungkin selalu diarahkan ke depan.

Lain itu, ada satu alasan lagi mengapa murderball dikenal sebagai sesi latihan yang sangat berat: durasi setiap sesi biasanya lebih panjang ketimbang durasi sesi sebelumnya.

Lantas apa dampaknya?

Sejak memulai musim 2018-2019, Leeds langsung tampil meyakinkan sekaligus mengundang banyak pujian. Hingga pekan ke-9, anak asuh Bielsa sama sekali tak mengalami kekalahan. Setelah mengalahkan Stoke 3-1 di laga pembuka, Leeds pun menciptakan masalah seragam ke hampir setiap lawannya: tak punya jalan keluar untuk mengatasi pressing dan serangan penuh energi anak asuh Bielsa.

“Yang luar biasa dari Leeds adalah kinerja mereka saat kehilangan bola,” kata Paul Warne, pelatih Rotherham United, kepada Athletic. “Orang-orang terus berbicara tentang betapa bagusnya Leeds saat menguasai bola, dan saya setuju dengan mereka. Namun alasan mereka mampu menguasai bola sebaik itu adalah kerja keras yang mereka lakukan saat kehilangan bola.”

“Anda baru saja mendapatkan bola dan mereka langsung mengejarnya, memaksa Anda untuk melakukan kesalahan […] Itu sangat melelahkan, membuat Anda seakan-akan tak memiliki sedikitpun waktu untuk sekadar mengambil napas.”

Yang menarik, meski penampilan tersebut membuat Leeds mendapatkan predikat sebagai tim terbaik di Championship, mereka pada akhirnya gagal promosi ke Premier League. Pada pekan-pekan terakhir, seperti anak asuh Bielsa yang sudah-sudah, Leeds kehabisan bensin. Mereka tak mampu menang dalam empat pertandingan terakhir, membuat mereka finis di urutan ketiga. Dan pada babak play-off promosi, mereka juga kalah 2-4 dari Derby Country.

Namun kegagalan tersebut terasa berbeda. Jika kegagalan-kegagalan sebelumnya hanya menghasilkan gelap, kegagalan itu justru menciptakan sebuah harapan: itu adalah bagian dari proses perbaikan.

Setidaknya, di tengah kegagalan itu, pemilik Leeds terlihat lebih bertanggung jawab. Para penggemar Leeds tidak lagi datang ke stadion hanya untuk buang-buang uang karena hampir selalu disuguhi penampilan menghibur yang sering menghasilkan kemenangan. Pemain-pemain Leeds, yang sebelumnya tampil hanya memenuhi tuntutan profesi, juga mempunyai tujuan, yakni bekerja keras agar mendapatkan demi satu tempat di tim utama.

Dan Bielsa mengatakan:

“Kesuksesan melemahkan manusia; membuat kita santai, membuat kita lebih buruk, mempermainkan kita, dan membuat kita jatuh cinta kepada diri sendiri. Kegagalan sebaliknya. Ia membentuk kita, membuat kita lebih solid, membuat kita lebih dekat dengan keyakinan kita, dan membuat kita lebih koheren.”

Bielsa tentu saja tak asal bicara. Setelah mengalami kegagalan tersebut, tepatnya pada musim 2019-2020, Leeds mampu tampil lebih hebat ketimbang sebelumnya, menjadi juara Championship, sekaligus promosi ke Premier League. Di titik inilah para penggemar Leeds merasa khawatir: Apakah Bielsa akan bertahan di Leeds United?

Baca juga artikel terkait MARCELO BIELSA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Ivan Aulia Ahsan