Menuju konten utama
Misbar

Sex Education: yang (Nyaris) Tak Dibicarakan Remaja Indonesia

Otis Milburn adalah sahabat yang dibutuhkan remaja Indonesia.

Sex Education: yang (Nyaris) Tak Dibicarakan Remaja Indonesia
Trailer Film Sex Education. youtube/Netflix

tirto.id - Sex Education, serial drama komedi teranyar dari Netflix, memang punya judul kaku.

Kalau benar-benar tak pernah melihat trailer-nya dan tak sengaja mengkliknya karena sundulan algoritma, Anda mungkin saja berpikir kalau ia adalah film dokumenter berisi petuah-petuah normatif perihal seks, khas penyuluhan di puskesmas.

Sex Education atau Pendidikan Seks memang lebih terdengar seperti judul brosur dari Kementerian Kesehatan yang dibagikan buat anak-anak SMA, alih-alih sebuah drama komedi segar yang lucu dan menghibur khas Netflix. Namun, nyatanya serial berisi 8 episode ini benar-benar jauh dari kesan menggurui seperti digambarkan judulnya.

Ia adalah jenis serial yang bukan cuma layak binge-watching, tapi juga patut ditunggu musim berikutnya. Semua berkat naskah ciamik dari Laurie Nunn.

Sex Education bercerita tentang hidup Otis Milburn (Asa Butterfield), remaja kikuk yang tak pernah masturbasi karena punya trauma masa lalu. Ia jijik dengan aktivitas swa-seks itu karena selalu terbayang adegan selingkuh ayahnya, yang tak sengaja ia lihat ketika kecil. Well, Otis bukan cuma geli dengan onani, tapi semua hal terkait seks. Otomatis ia masih perjaka.

“Tidak masturbasi” serta “masih perjaka” adalah dua kombinasi tidak wajar buat remaja 16 tahun di Inggris. Jika orang-orang tahu, cap “aneh” akan otomatis menempel di jidatnya. Dan dianggap tidak normal adalah hal terakhir yang diinginkan seorang remaja.

Demi menutupi dua fakta itu, Otis bahkan pernah meletakkan majalah porno, tisu, dan pelumas di atas kasurnya hanya agar sang ibu percaya kalau ia sudah pernah masturbasi. Sang ibu, Jean (Gillian Anderson), yang adalah seorang seksolog alias terapis seks, tentu saja tak mudah termakan gimik putra semata wayangnya.

Anda keliru jika berpikir Sex Education akan jadi monolog panjang tentang perjalanan Otis mempelajari seks. Akan lebih keliru jika Anda berpikir semua pelajaran itu justru datang dari Jean, sang ahli. Premis utama serial ini adalah ironi tentang Otis yang tak pernah melakukan aktivitas seks, tapi malah jadi terapis khusus seks di sekolahnya.

Mendobrak Lorong Seks yang Tabu

Sejak ada agama, pembicaraan tentang seks mulai dimasukkan ke dalam lorong tabu. Agama-agama samawi bahkan percaya dan menganjurkan seks baru bisa dijalani dengan berkah jika sudah melewati pernikahan. Di dalam kitab-kitabnya, peraturan turunan tentang seks juga diatur sedemikian rupa.

Namun, karena seks dilihat sebagai tabu, pembicaraan tentang seks lebih sering berupa bisik-bisik. Pengetahuan seks juga sering tercampur mitos. Alhasil, membicarakan seks sering melahirkan perasaan kikuk, bahkan di era milenium ketiga ini. Apalagi di negara yang warganya relatif religius seperti Indonesia.

Coba tanyakan pada diri sendiri: Ada berapa orang di dunia ini, yang kepadanya, Anda benar-benar bisa jujur menceritakan pengalaman seks (di luar nikah) Anda? Tanpa perlu merasa canggung, apalagi takut dihakimi.

Dalam Sex Education, seks yang dilihat sebagai tabu disindir habis-habisan. Tidak dengan cara yang menggurui dan pedas, melainkan lewat humor dan satire cerkas.

Otis tidak akan mengajari klien-kliennya dengan cerita-cerita erotis atau membagikan teknik posisi seks yang bisa di-googling siapa saja di internet. Serial ini jauh dari kesan mesum yang muncul karena tema seksualitas yang dibawanya. Memang akan ada beberapa adegan seks yang muncul, tapi tak pernah benar-benar dibalut erotisme seperti pada serial Skins yang sama-sama keluaran Inggris. Adegan sensual di Sex Education lebih sering hadir kocak.

Infografik Misbar Sex Education

Infografik Misbar Sex Education

Kebanyakan drakom bertema seks yang sudah-sudah lebih senang bercerita tentang protagonis yang masih perjaka dan usaha-usaha mereka untuk bisa bercinta. Otis hadir sebagai anomali. Ia lebih sering muncul sebagai altruis ketimbang narsisis. Ia juga cenderung hadir sebagai penyokong dalam narasi-narasi orang di sekitarnya, alih-alih mengambil lampu sorot di tengah panggung dan membuat serial ini hanya tentang dirinya.

Lewat Otis, kita justru dibawa Nunn untuk menyelami problematika seksual di sekitar kita, tanpa prasangka dan sikap menghakimi. Sikap yang sangat diperlukan remaja-remaja (dan orang dewasa) kurang pengetahuan seks, seperti warga negeri ini.

Akan ada cerita tentang aborsi, homofobia, revenge porn, dan penyakit kelamin yang dikemas begitu rapi dan dituturkan asertif dalam Sex Education. Perspektifnya amat humanis dan jauh dari solusi-solusi brutal maskulinitas yang beracun, khas masyarakat patriarkis. Artinya, serial ini tidak menempatkan perempuan dan hal-hal feminin jadi sumber konflik. Ia justru mengurai problematika itu secara dingin dan komprehensif.

Contohnya adalah diskusi tentang aborsi. Lewat karakter Maeve (Emma Mackey) di salah satu episode, Sex Education menunjukkan solusi dari persoalan ini adalah dengan memberi ruang dan kepercayaan pada perempuan untuk menentukan sendiri nasib kandungannya. Hebatnya, persoalan itu tak dibalut miring sebelah. Nunn yang juga menulis naskah bersama beberapa rekannya turut menghadirkan karakter-karakter yang kontradiktif dengan solusi tersebut tanpa mengolok-olok mereka.

Setelah melahap 8 episode-nya, saya akhirnya paham mengapa judul Sex Education yang paling tepat menggambarkan serial ini. Serial ini tak hadir semata sebagai penghibur, tetapi juga sarat edukasi dan pencerahan tanpa berpretensi menggurui.

Baca juga artikel terkait RESENSI FILM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani