Menuju konten utama

Serikat Buruh Tolak Wacana Pemerintah Berlakukan Upah Per Jam

Rencana pemerintah menerapkan skema upah per jam mendapatkan penolakan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) lantaran skema itu dinilai hanya memiskinkan buruh ketimbang menyejahterakan.

Serikat Buruh Tolak Wacana Pemerintah Berlakukan Upah Per Jam
Ilustrasi menerima gaji. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Rencana pemerintah menerapkan skema upah per jam mendapatkan penolakan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) lantaran skema itu dinilai hanya memiskinkan buruh ketimbang menyejahterakan.

“Kami enggak setuju upah minimum dihapus karena per jam itu artinya UMP akan terhapus. Secara struktural kami sedang dimiskinkan,” ucap Presiden KSPI Said Iqbal kepada wartawan saat ditemui di Gedung LBH Jakarta, Sabtu (28/12/2019).

Said mengatakan upah minimum yang saat ini diatur dalam PP No. 78/2015 tentang pengupahan dan UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan bertujuan untuk melindungi pekerja. Adapun, upah minimum itu menjadi jaring pengaman bagi upah buruh.

Bila skema upah per jam berlaku, lanjut Said, maka skema upah minimum tersebut otomatis tidak berlaku lagi, sehingga jaring pengaman agar pengusaha tidak semena-mena menetapkan upah juga tidak berlaku lagi.

“Misal Jakarta upah Rp4,2 juta bagi 30 hari jadi Rp140.000 per hari. Bagi sehari kerja 8 jam berarti sekitar Rp18.000 per jam, upah sejam kerja di Jakarta. Artinya, bayaran para buruh akan lebih kecil,” ucap Said.

Said mengakui bahwa negara industri dan maju memang menerapkan skema upah per jam. Namun demikian, skema tersebut tidak mudah dilakukan karena ada berbagai syarat yang harus terlebih dulu dipenuhi.

Salah satu syarat tersebut di antaranya negara harus mampu mengukur produktivitas pekerja agar dapat menentukan besaran upah yang tepat untuk skema upah per jam. Persoalannya, data itu sama sekali tidak ada di Indonesia.

“Mengukur produktivitas satu orang buruh saja kita enggak bisa. Mau seenak-enaknya. Wah, kacau negara pengusaha ini namanya super drakula. Coba tanya menaker deh cara menghitung produktivitas buruh,” ucap Said.

Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional Iswan Abdullah juga menolak skema upah per jam itu. Alasannya, Iswan khawatir upah per jam akan menghilangkan kewajiban pengusaha mendaftarkan dan menanggung karyawannya dalam perkara jaminan sosial.

“Kalau ini berlaku maka jaminan sosial buat pekerja akan hilang. Beban pengusaha bayar itu juga hilang. Sementara upah minimum mengatur itu,” ucap Iswan dalam konferensi pers di Gedung LBH Jakarta, Sabtu (28/12/2019).

Alasan penolakan lainnya adalah usulan upah per jam itu dimasukan tanpa melibatkan pekerja. Iswan bilang istilah upah per jam tidak dikenal dalam dewan pengupahan. Bahkan pembahasannya sendiri kata Iswan, tidak pernah ada.

“Tidak ada namanya upah per jam. Tidak ada pembahasan upah akan diberlakukan per jam,” ucap Iswan.

Baca juga artikel terkait RUU KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang