Menuju konten utama

Serdadu dan Perawat: Kisah-Kisah Cinta dari Medan Perang

Serdadu dan perawat punya sejarah panjang dalam beberapa perang. Kisah yang dimaksud termasuk percintaan.

Serdadu dan Perawat: Kisah-Kisah Cinta dari Medan Perang
Header Mozaik Asmara Tentara. tirto.id/Tino

tirto.id - Jika Anda bermain Twitter, cobalah sesekali tengok akun @txtdrberseragam. Di sana dapat ditemukan bukti dari stereotipe bahwa tentara lebih memilih perempuan yang berprofesi bidan atau perawat sebagai teman hidupnya. Atau sebaliknya, bahwa bidan terobsesi dengan tentara.

Terkadang unggahan itu memancing emosi warganet, terutama karena profesi lain kerap dianggap lebih rendah. Namun pada dasarnya tidak ada masalah dari percintaan tentara/aparat-perawat/bidan.

Lantas, mengapa muncul fenomena demikian? Ada banyak analisis yang muncul menjawabnya, salah satunya karena faktor sejarah.

Membawa Hubungan Positif

Setiap tentara yang ikut berperang, kata Jessica Meyer dkk dalam “Life and Death of Soldiers” (2022), selalu berada dalam situasi antara hidup dan mati. Rasa cemas bercampur takut sudah pasti menyelimuti sekujur tubuh mereka. Ancaman berondongan peluru dan hantaman bom jelas membuat hidup tak lagi sama.

Mereka tentu memiliki satu keinginan sama: pulang dengan selamat, kalau bisa tanpa kekurangan fisik sedikit pun.

Namun perang bukanlah sesuatu yang mudah ditebak. Pada akhirnya, banyak di antara mereka yang tumbang bersimbah darah, entah terkena terjangan timah panas atau ledakan bom. Yang pasti itu menimbulkan rasa sakit yang teramat hingga tak jarang menimbulkan cacat.

Dalam Perang Dunia I, ada puluhan juta serdadu yang mengalami kondisi seperti ini.

Karena risiko seperti itulah, sebagaimana disampaikan Jack Edward McCallum dalam Military Medicine: From Ancient Times to the 21st Century (2008), petugas medis selalu menyertai setiap peperangan sepanjang sejarah. Mereka bertugas meningkatkan peluang hidup para tentara dengan mengobati luka atau menangkal penyakit lain, juga membantu menenangkan dari tekanan mental akibat stres.

Salah satu petugas medis yang dimaksud adalah perawat. Perawat kebanyakan perempuan yang bergabung dalam Korps Perawat dan Palang Merah. Tak jarang dari mereka adalah warga lokal yang terdampak perang.

Meski tidak semuanya menempuh sekolah medis, menurut Judith A. Bellafaire dalam The Army Nurse Corps in World War II (2002), sejak dahulu para perawat selalu berada di garis depan pertempuran, ditempatkan di rumah sakit lapangan dan berbagai transportasi medis. Risikonya memang tak kalah besar, namun pada umumnya mereka datang secara sukarela.

Keterampilan dan dedikasi para perawat, yang jumlahnya selalu ribuan orang, berkontribusi pada penurunan angka kematian tentara. Lebih dari itu, interaksi awal ini pada akhirnya berlanjut ke hubungan berikutnya yang konstruktif.

Infografik Mozaik Asmara Tentara

Infografik Mozaik Asmara Tentara. tirto.id/Tino

Dari Mata Turun ke Hati

Menurut Gail Braybon dan Penny Summerfield dalam Out of the Cage: Women’s Experiences in Two World War (2014), pria kerap menggoda perempuan adalah hal yang lazim di daerah perang. Keberadaan lawan jenis seperti angin segar buat mereka. Bagi perempuan, hal ini juga membuka peluang baru, apalagi tidak sedikit dari mereka yang belum berumah tangga.

Dari godaan-godaan inilah timbul benih-benih cinta. Tentu saja tumbuh juga di antara prajurit dan perawat. Mengutip laman Palang Merah Inggris yang berkisah tentang surat cinta saat Perang Dunia I, hubungan dua profesi ini biasanya dimulai saat proses pengobatan.

Para perawat menghabiskan waktu berjam-jam di bangsal ketika mengobati tentara yang terluka. Selama itulah mereka saling berbicara. Para juru rawat melempar lelucon yang setidaknya mampu mengalihkan rasa sakit dan memberikan sedikit rasa hiburan. Puji-pujian juga dilontarkan oleh tentara sebagai bentuk terima kasih.

Sejarawan Elizabeth M. Norman dalam Women at War (1990) memberikan analisis lebih lanjut yang menarik. Meski bertolak pada kasus Perang Vietnam (1955-1975), argumennya bisa memberikan gambaran tentang hubungan kedua profesi ini saat perang secara umum.

Kata Elizabeth, pengobatan perawat menumbuhkan perasaan positif dalam diri para tentara. Tentara kemudian tidak hanya mengapresiasi perawat karena pengetahuan dan keterampilan medis yang diberikan, tetapi juga kepedulian dan keramahannya. Sikap ramah dan peduli ini melekat pada diri perawat bahkan di luar rumah sakit.

Para prajurit, yang jarang mendapat kepedulian sosial seperti ini, mulai menaruh perhatian pada perawat. Terlebih, para prajurit mayoritas tergolong usia dewasa muda yang masih haus akan romansa. Lantas, terjadilah persahabatan antara keduanya. Mereka saling menguatkan di tengah perang yang tak kunjung usai.

Hubungan ini perlahan membentuk pandangan kalau perawat adalah sosok yang dirindukan dan diidam-idamkan oleh tentara. Mereka dianggap mampu menjalankan sikap protektif yang membawa kebahagiaan baik di masa sekarang atau masa depan. Para perawat pun mafhum atas modus seperti ini. Mereka juga adalah manusia biasa yang terkadang butuh timbal balik dari lawan jenis.

Dari sini, terjalinlah hubungan lebih lanjut. Dalam penelusuran Elizabeth, ada yang sekedar mengagumi, mengadakan kencan, atau melakukan one night stand. Itu semua dilakukan sebagai penawar atas pahitnya hidup masa perang.

“Tanpa kasih sayang dan seks, semangat mereka akan pulih lebih lambat dari luka emosional akibat pekerjaan,” tulis Elizabeth.

Tak ayal, hubungan itu berkembang ke jenjang yang lebih serius: pernikahan. Ada banyak cerita cinta prajurit dan perawat yang bermula dari medan perang.

Satu Kisah Serupa

Kisah pertama datang dari Perang Dunia I.

Suatu hari pada Oktober 1915, Rumah Sakit Chepstow, Inggris, kedatangan pasien dari rumah sakit lapangan di medan perang Eropa. Pasien itu adalah Gordon Edwards, polisi Australia yang ditugaskan menjadi prajurit. Gordon datang dengan kondisi luka parah akibat terjangan peluru. Ada dua luka, salah satunya menembus paru-paru. Ia lantas menjalani operasi dan dilanjutkan perawatan.

Selama di rumah sakit itulah ia berkenalan dengan perawat sukarelawan bernama May James. May adalah salah satu yang merawat Gordon. Namun hubungan mereka lebih dari sekadar pasien-perawat. Keduanya berinteraksi intens, berpacaran, sampai menikah pada Juni 1916. Menariknya, seluruh proses itu dilakukan di rumah sakit.

Nahas, rumah tangga keduanya tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, Gordon gugur di medan perang.

Dari medan Perang Dunia II (1939-1945), Gill Paul merangkum kisah serupa dalam World War II Love Stories (2014). Salah satu yang diungkap adalah hubungan Bob dan Rosie. Bob adalah prajurit Amerika serikat yang ditugaskan di Southampton untuk mengurus logistik pertempuran D-Day pada 1944, sementara Rosie adalah perawat dari Palang Merah AS bernama Rosie.

Bob melihat Rosie sebagai sebagai sosok yang cantik dan memiliki kepedulian tinggi, apalagi saat sedang mengurus pasien. Bob meyakini telah jatuh cinta kepada Rosie sejak pertemuan pertama.

Berbagai modus pun dilancarkan pria asal Negeri Paman Sam ini. Nyatanya tidak mudah menaklukkan hati sang pujaan hati, apalagi Rosie tahu kalau Bob telah memiliki istri--karena memakai cincin kawin. Bagi Rosie, tidak mungkin berkenalan apalagi berpacaran dengan orang seperti itu.

“Aku tidak mau berkenalan dengan pria yang telah menikah,” tegas Rosie saat Bob nekat menyampaikan perasaannya.

[infog]

Jawaban ini jelas membuat Bob kaget sekaligus malu. Namun penolakan tidak membuatnya mundur. Ia telah telanjur jatuh cinta pada Rosie. Seakan lupa dengan perkawinannya, prajurit ini tetap nekat mendekati Rosie. Ia mengatakan, entah berbohong atau tidak, sudah bercerai. Dari sini Rosie mulai terbuka.

Hubungan keduanya makin dekat dan cinta membawa mereka menikah pada 30 Juli 1946 di California.

Ada pula cerita dari Perang Vietnam, melibatkan pasangan bernama David dan Soni. Kepada Orlando Sentinel, mereka berkisah semua bermula pada suatu hari di tahun 1967. Itu ketika David dibopong ke rumah sakit di daerah Dong Tam akibat luka parah di kakinya. Saat itu, yang ada di pikiran David hanya kematian.

Ia langsung diberi tindakan oleh dokter bedah. Si dokter ini dibantu seorang perawat yang tidak lain adalah Soni. Nyawa David pun terselamatkan.

Seusai tindakan, Soni diberi tugas untuk merawat David. Lantas, timbullah interaksi yang berujung pada tersemainya asmara antara keduanya. Usai sembuh, prajurit AS ini mengajak Soni menikah. Sang perempuan pun setuju.

Tepat dua minggu setelahnya, biduk rumah tangga keduanya pun berlayar dari rumah sakit, dan masih bertahan hingga kini.

Baca juga artikel terkait TENTARA atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Rio Apinino