Menuju konten utama

Serba-Serbi Glodok, Kawasan Pecinan Sejak Masa VOC

Glodok juga pernah menjadi tempat peredaran candu.

Serba-Serbi Glodok, Kawasan Pecinan Sejak Masa VOC
Pasar Glodok tempo dulu. FOTO/Istimewa

tirto.id - Ingat Glodok, orang biasanya ingat barang elektronik. Tempat ini diramaikan oleh orang-orang yang berburu barang elektronik, mulai dari VCD bajakan sampai alat rumah tangga.

Sedari dulu, Glodok memang penuh hiruk-pikuk aktivitas ekonomi. Sejarahnya tak bisa lepas dari orang-orang Tionghoa yang kerap dicap spesialis dunia perdagangan. Banyak orang Tionghoa berdatangan pada masa awal Batavia dibangun oleh kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Sebagaimana dicatat dalam "Hikayat Jakarta" (1998) karya Willard Hanna dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) oleh Benny Setiono, Gubernur Jenderal VOC yang berkuasa hingga 1929, Jan Pieterszoon Coen, percaya bahwa orang-orang Tionghoa adalah "... bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja... Tak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya selain orang Tionghoa.” Maka, tak heran banyak komunitas orang Tionghoa kemudian tinggal di sekitar selatan benteng Belanda.

Baca juga:

Meski identik dengan orang-orang Tionghoa, nama Glodok sendiri bukanlah nama Tionghoa.

“Nama Glodok berasal dari nama air yang berbunyi glodok-glodok atau grojok-grojok,” tulis Alwi Shahab dalam Betawi Queen of the East (2002).

Versi lain, buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta (2004) terbitan Pemprov DKI Jakarta, menyebut, “Kata grojok diucapkan oleh orang-orang Tionghoa totok, penduduk mayoritas kawasan itu zaman dulu, berubah menjadi glodok, sesuai dengan lidahnya.”

Dulunya, menurut Alwi Shahab, Glodok “merupakan tempat pemberhentian kuda beban untuk diberi minum.” Menurut buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta, “di sana zaman dulu terdapat semacam waduk penampungan air dari Kali Ciliwung” yang dibangun pada 1670.

Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016), dengan merujuk Kronik Kai-ba-li-dai shij (Kronik Tionghoa di Batavia) yang disusun abad 18, menyebut, “Sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa Guo Xun Guan mendirikan sebuah kelenteng untuk menghormati Guan-Yin di daerah Glodok. Waktu itu Glodok masih agak kosong.”

Dari situ, kesimpulan Heuken, orang-orang Tionghoa sudah tinggal di Glodok pada pertengahan abad 17.

Sebagai kawasan luar tembok benteng Batavia, di daerah Glodok pernah didirikan sebuah benteng kecil dari tanah (redoute) untuk mengantisipasi serangan dari Mataram atau Banten.

Menurut Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage (2005), pada 1630 sudah ada Benteng Buren—yang pernah dinamai Hollandia dan Batenburg—di sana. Menurut Heuken, lokasi benteng yang tak bersisa itu tak jauh dari kompleks Pertokoan Glodok Plaza.

Infografik Glodok tempo doeloe

Pada abad berikutnya, tepatnya Oktober 1740, menjadi tahun buram penuh darah bagi orang-orang Tionghoa. Mereka dianggap sumber masalah sosial di sekitar kota Batavia oleh orang-orang Belanda. Serdadu-serdadu VOC membunuhi orang-orang Tionghoa dan kemudian terjadi pemberontakan di utara Jawa. Ketika itu Gubernur Jenderal VOC dijabat Adriaan Valckenier.

“Setelah Baron van Imhoff menjadi Gubernur Jenderal di Batavia, warga etnis Tionghoa dipusatkan di satu tempat di luar Benteng kota yang sekarang disebut Glodok,” tulis Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal, 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005).

Di Glodok, mereka membuat bangunan yang lebih kuat dibanding sebelumnya. Daerah ini kemudian punya pasar nan ramai, dan pelabuhan pun letaknya tak begitu jauh dari Glodok.

Baca juga:

Kawasan Glodok dan sekitar akhirnya menjadi daerah Pecinan (Chinatown) di Batavia dan menjadi sentra perdagangan selama lebih dari dua ratus tahun.

Menurut Alwi Shahab, “pada 1950-an dan 1960-an, sebagian besar uang beredar di kawasan Glodok. Sampai pertengahan 1960-an, Glodok—bersama Pasar Baru—merupakan pusat perdagangan dolar gelap.” Kala itu pemerintahan Sukarno menutup pintu terhadap Amerika Serikat.

Kegemaran orang-orang Tionghoa akan candu membuat daerah ini jadi tempat dagang candu juga, yang kala itu legal. Fitri Ghozallly dalam Dari Batavia Menuju Jakarta (2004) menyebut daerah Glodok adalah "pusat peredaran candu di Batavia.

Tak jauh dari kawasan dagang Glodok, terdapat penjara kolonial bernama Strafinrichting Glodok. Penjara ini mulai dibangun pada 1743. Penjara itu sempat digunakan untuk menahan orang-orang Tionghoa saja.

Namun, belakangan, di masa pergerakan nasional, proklamator Mohammad Hatta juga pernah meringkuk di sana. Ketika musik rock 'n roll yang "ngak ngik ngok" dilarang oleh Sukarno, Koes Bersaudara juga pernah mendekam di sana karena membawakan lagu The Beatles. Penjara itu kini sudah tak ada, berubah menjadi Gedung pertokoan Harco.

Baca juga artikel terkait TIONGHOA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani