Menuju konten utama

Serapan Anggaran Buruk: Corona Tak Tertangani, Ekonomi Tak Terbantu

Realisasi anggaran terendah per Mei 2020, Kemensos 0,89%, Kemenkes 2,17%, Kemenag 2,19%, Kemenkeu 3,43% dan Kementan 9,32%.

Serapan Anggaran Buruk: Corona Tak Tertangani, Ekonomi Tak Terbantu
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat terbatas (ratas) di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (4/2/2020). Ratas tersebut membahas kesiapan dampak virus corona pada perekonomian di Indonesia. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.

tirto.id - Presiden Joko Widodo geram terhadap kinerja para menteri. Ia menilai para pembantunya itu kurang maksimal mengelola lembaga selama masa pandemi Corona atau COVID-19. Salah satu indikatornya adalah minimnya penyerapan anggaran.

Ancaman perombakan kabinet pun menanti.

Mantan Gubernur DKI itu lantas berjanji akan memperhatikan pencairan anggaran di seluruh kementerian/lembaga dan bakal menegur menteri dan kepala lembaga "kalau [serapan anggaran] masih rendah." Hal ini ia nyatakan saat berkunjung ke kantor Gugus Tugas Jawa Tengah di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020).

Penyerapan anggaran sejauh ini memang payah. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi anggaran kementerian/lembaga (K/L) sampai Mei lalu hanya 10,41 persen. Angkanya jauh di bawah realisasi tahun lalu, 18,86 persen.

K/L dengan realisasi terendah per Mei 2020 lalu adalah Kementerian Sosial, yaitu 0,89 persen, disusul Kementerian Kesehatan 2,17 persen, Kementerian Agama 2,19 persen, Kementerian Keuangan 3,43 persen dan Kementerian Pertanian 9,32 persen. Di luar 10 pemilik anggaran terbesar, realisasi anggaran gabungan K/L hanya mencapai 5,3 persen.

Menurut Kemenkeu, turunnya realisasi anggaran dibandingkan Mei 2019 ini disebabkan karena adanya revisi atau blokir atas lelang dan belanja modal. Hal ini terjadi seiring dengan penghematan dan antisipasi dampak COVID-19.

Serapan Anggaran Mengikuti Tradisi Lama

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menyatakan situasi ini ironis karena sebelumnya pemerintah terus bicara agar situasi krisis ini harus direspons cepat. Menkeu Sri Mulyani bahkan menggunakan diksi “kegentingan yang memaksa” saat menyusun ulang APBN 2020.

"Terlihat gagap dan kurang tanggap di tengah COVID-19," ucap Misbah saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (30/6/2020).

"Seharusnya seluruh K/L punya strategi percepatan implementasi anggaran," tambahnya, menegaskan tak ada beda antara serapan anggaran saat situasi genting seperti sekarang dibanding tahun-tahun normal sebelum COVID-19: rendah di awal dan tinggi di akhir tahun.

Menurut Misbah, di antara seluruh K/L lain, sekurang-kurangnya Kemensos, Kemenkes, dan Kementan yang perlu mendapat sorotan lebih karena belanja mereka sangat berkaitan dengan penanganan COVID-19. Belum lagi, saat kinerja belanja Kemenkes dan Kemensos rendah, pemerintah malah tetap menambah belanja mereka seperti diatur dalam Perpres 72/2020.

Menurut Perpres 72/2020 yang merevisi Perpres 54/2020, anggaran Kemenkes dinaikkan dari Rp76,54 triliun menjadi Rp78,5 triliun. Kenaikan Kemensos lebih drastis, dari Rp60,68 triliun menjadi Rp104,44 triliun.

Rendahnya serapan kedua pos itu bisa berdampak pada semakin sulitnya penanganan COVID-19 hingga naiknya angka kemiskinan, katanya.

Peneliti dari Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan penyerapan anggaran ini perlu segera dibenahi karena efeknya akan terasa pada pertumbuhan ekonomi 2020, tepatnya pada komponen belanja pemerintah. Komponen ini menyumbang 6,5 persen dari struktur PDB pada Q1 dan digadang-gadang sebagai penopang ketika komponen lain seperti konsumsi (58,14 persen PDB) dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (31,91 persen PDB) tak bisa diandalkan karena perlambatan ekonomi akibat COVID-19. Belum lagi pertumbuhan komponen belanja pemerintah sudah melambat menjadi 3,74 persen dari 5,22 persen di Q1 2019.

Efek rendahnya belanja K/L juga bisa merembes ke komponen lain. Misalnya jika realisasi kemensos rendah, efeknya bisa menyeret komponen konsumsi rumah tangga karena belanja terbesar itu untuk bantuan sosial.

"Realisasi belanja kementerian yang lebih rendah semakin menunjukkan bahwa pertumbuhan pada Q2-2020 bisa terkontraksi lebih dalam dari prediksi pemerintah--minus 3,8 persen,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto.

Situasi semakin berat usai stimulus dan anggaran penanganan COVID-19 ternyata juga belum termanfaatkan maksimal padahal seharusnya bisa menahan laju kontraksi Q2 2020 di depan mata. Lambatnya pemanfaatan ini dikhawatirkan bisa memperlambat pemulihan ekonomi yang saat ini sedang dikejar pemerintah.

Senin (29/6/2020) lalu, Kemenkeu mencatat realisasi pos kesehatan baru mencapai 4,68 persen, sektoral-Pemda 4 persen, insentif dunia usaha 10,14 persen, pembiayaan korporasi nol persen. Realisasi terbaik saat ini dicapai pos perlindungan sosial, 34,06 persen dan UMKM 22,74 persen.

Yusuf mencatat indeks penjualan ritel diprediksi minus 22 persen, yang berarti komponen konsumsi (58 persen PDB) tak bisa diharapkan. Sementara manufaktur yang menyumbang 20 persen PDB tumbuh minus 7 persen per Mei 2020.

"Untuk skenario buruk, prediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II akan mengalami sampai dengan minus 4 persen," ucap Yusuf.

Sejalan dengan itu, kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi pertumbuhan Q2 2020 bisa mencapai minus 0,15 persen jika realisasi stimulus fiskal di atas 50 persen. Jika realisasi anggaran stimulus seperti saat ini, tentu kontraksi Q2 2020 bisa semakin dalam lagi.

Baca juga artikel terkait DAMPAK CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Reja Hidayat