Menuju konten utama

Seperti Apa Rasanya Melancong ke Candi Borobudur di Era Kolonial?

Candi Borobudur sudah menjadi objek wisata favorit sejak masa Kolonial. Pernah dikunjungi pelancong terkenal asal Amerika, Eliza Scidmore.

Wisatawan menikmati suasana matahari terbit di kawasan Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (15/12/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

tirto.id - Beberapa waktu lalu, Candi Borobudur menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Pangkal soalnya adalah pengumuman Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa harga tiket untuk naik ke Candi Borobudur bakal naik drastis. Dalam rencananya, tarif tiket baru bakal menjadi Rp750 ribu bagi wisatawan domestik dan $100 untuk wisatawan mancanegara.

Rencana itu dibuat dalam konteks sebagai salah satu cara untuk menjaga kelestarian bangunan Candi Borobudur yang merupakan salah satu cagar budaya peringkat nasional. Kebijakan ini sontak menuai banyak protes. Pemerintah pun pada akhirnya membatalkan rencana tersebut.

Terlepas dari polemik tersebut, pembicaraan tentang Borobudur pun mengemuka lagi. Banyak orang, juga media, yang membicarakan lagi sejarah Borobudur hingga melontarkan ide alternatif terkait langkah konservasi yang lebih tepat. Bagaimana pun, ia adalah salah satu objek wisata sejarah yang monumental dan ikonik.

Bicara soal sejarah kepariwisataannya, Borobudur memang memikat sejak era Kolonial. Sempat terkubur zaman, eksistensi candi yang didirikan oleh Wangsa Syailendra itu mengemuka lagi kala Inggris menguasai Jawa.

Pada 1814, Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles mendapat laporan mengenai ditemukannya sebuah bukit kecil dengan struktur bangunan di daerah pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo.

Raffles kemudian memerintahkan seorang insinyur zeni pasukan Belanda bernama H.C. Cornelius ke Magelang untuk memeriksa kebenaran laporan tersebut. Penelitian dan pemeriksaan lebih lanjut terhadap struktur Borobudur lantas dilanjutkan oleh otoritas Belanda yang kembali menguasai Jawa.

“Residen Kedu C.L. Hartmann sangat tertarik dengan Candi Borobudur dan kemudian memerintahkan untuk membersihkan candi. Ia juga memerintahkan untuk membongkar stupa puncak dan menemukan arca Buddha yang belum selesai dan benda-benda lain seperti sebilah keris,” tulis Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia Seri Jawa (2013, hlm. 95).

Pekerjaan yang dilakukan C.L. Hartmann itu kemudian dilaporkan pada 1853 oleh Wilsen yang mendapat tugas menggambar candi. Sejak upaya tersebut, Candi Borobudur telah menjadi salah satu situs yang bisa dikunjungi untuk wisata.

Borobudur nan Memesona

Sejak masa Kolonial, menurut Denys Lombard, pemerintah Hindia Belanda telah menyadari betul manfaat pariwisata bagi perekonomian koloni. Candi-candi di Jawa merupakan modal penting pariwisata Jawa di samping pemandangan alam dan cuacanya. Di mata orang Eropa, reruntuhan bangunan kuno itu penuh pesona dan amat menarik.

“Candi-candi terpendam dengan ikonografi Indianya memperkuat kepercayaan akan gagasan memesona bahwa pernah ada ‘koloni’ Arya kuno,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan (2018, hlm. 62).

Salah satu reruntuhan bangunan kuno yang menarik perhatian pelancong asing itu adalah Candi Borobudur. Menurut Achmad Sunjayadi, Borobudur—bersama Candi Prambanan dan Mendut—adalah candi yang paling sering direkomendasikan dalam buku panduan wisata dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

“Pemandangan indah pada saat matahari terbit dari atas Candi Borobudur menjadi salah satu daya tarik,” tulis Sunjayadi dalam bukunya Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942 (2019, hlm. 70).

Pada masa itu, ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengunjungi Borobudur dari Batavia. Salah satunya dengan kereta api. Wisatawan dapat menggunakan kereta api tujuan Surabaya untuk kemudian turun di Yogyakarta.

Kendati menggunakan kereta api, perjalanan ini memakan waktu hampir dua hari. Pasalnya, perjalanan harus dihentikan setelah tiba di Maos pada malam hari. Pada saat itu, kereta api tidak diizinkan untuk berjalan di malam hari karena beberapa alasan.

Menurut penulis dan fotografer Eliza Ruhamah Scidmore, Staatsspoorwegen (SS) tidak mengoperasikan kereta api di malam hari karena belum percaya para pegawainya sanggup melakukan hal tersebut. Lain itu, petinggi SS juga mempertimbangkan kondisi keamanan.

Setelah menginap satu malam di Maos, seperti yang tertulis dalam buku panduan wisata Java the Wonderland (1900), perjalanan kembali dilanjutkan menuju ke Yogyakarta dan kemudian ke Stasiun Muntilan, Magelang, dengan kereta api lain.

Catatan Perjalanan Scidmore

Kisah perjalanan menarik tentang Borobudur di masa Kolonial datang dari Eliza Scidmore. Pelancong kelahiran Iowa, 14 Oktober 1856, itu merupakan perempuan pertama yang menjadi anggota dewan National Geographic Society. Kisah-kisah petualangannya banyak dimuat jurnal National Geographic dan terbit sebagai buku.

Pada 1885, Scidmore menerbitkan buku travelogue pertamanya Alaska, Its Southern Coast and the Sitkan Archipelago. Dia juga berkesempatan mengunjungi berbagai tempat di Asia, seperti Jepang yang kemudian tuliskan dalam Jinrikisha Days in Japan (1891). Beberapa buku perjalanan Scidmore lainnya adalah Westward to the Far East (1892), Java Garden of the East (1897), China, the Long-Lived Empire (1900), dan Winter India (1903).

Kisah perjalanannya ke Borobudur pada 1895 dapat dibaca dalam Java Garden of the East. Lain itu, dia juga berkunjung ke Prambanan dan Sewu. Tak sekadar berdasar pengamatan dan pengalaman sendiri, penulisan buku itu juga berangkat dari beberapa karya sebelumnya seperti Guide to the Dutch East Indies karya Dr. J.F. van Bemmelen dan Kolonel J.B. Hoover.

Menurut Scidmore, Jawa adalah salah satu tempat paling indah di dunia. Kala itu, Candi Borobudur, Prambanan, dan Sewu belum dipugar. Banyak stupa-stupa yang rusak, begitu juga patung-patung yang kondisinya sudah tidak lengkap—sebagian kehilangan bagian kepala, lengan, dan bahkan ada patung yang terguling dan hilang.

Di stupa puncak Borobudur kala itu, ada tangga yang sengaja dipasang agar orang-orang dapat menuju bagian teratas candi untuk melihat keseluruhan reruntuhan dan pemandangan sekitarnya. Scidmore juga menulis mengenai salah satu rangkaian relief tentang kehidupan Siddharta Gautama.

Menurut Scidmore, daya tarik Borobudur tidak hanya rangkaian relief dan patung-patungnya. Senada dengan penjelasan Sunjayadi sebelumnya, pengunjung juga bisa menikmati indahnya matahari terbit dan terbenam dari atas candi.

Setelah puas mengunjungi Borobudur, Scidmore lantas bertolak ke Prambanan. Dalam caatatannya, candi bercorak Hindu yang dibangun di masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Pikatan (732 M – 1016 M) itu disebutnya sebagai contoh karya manusia yang mengagumkan.

“Dari reruntuhan bangunan Candi Prambanan, terbayang satu struktur bangunan yang menjulang tinggi meruncing di bagian atas seperti bangunan gapura yang ada di India bagian selatan lengkap dengan relief-relief,” ungkap Scidmore dalam Java Garden of the East (hlm. 222-223).

Di Prambanan, Scidmore mengamati beberapa arca penting bagi umat Hindu, seperti Ganesha, Siwa, Parwati, dan Durga Mahisasuramardhini—dikenal juga sebagai arca Rara Jongrang. Selain arca-arca, Scidmore juga menuliskan deskripsi satu rangkaian relief yang menceritakan kisah Ramayana.

Terakhir, Scidmore berkunjung ke Candi Sewu yang letaknya tidak jauh dari Candi Prambanan. Menurutnya, kondisi Candi Sewu saat itu lebih sepi dan terbengkalai dibandingkan Prambanan. Banyak arca yang rusak dan hilang, belum lagi banyak semak belukar yang membuat kondisi candi seperti tidak terawat.

Salah satu arca di Candi Sewu yang menarik perhatian Scidmore adalah Arca Dwarapala. Patung ini memiliki tinggi sekitar tujuh kaki, dalam posisi berlutut, memegang gada di tangan kanannya, ular yang melingkar di badannya, serta memiliki wajah yang galak.

Baca juga artikel terkait CANDI atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi