Menuju konten utama

Sepenggal Sejarah Sukabumi, Kota yang Kini Diperhatikan Jokowi

Andries De Wilde, tuan tanah dan mantan dokter bedah pasukan artileri Belanda, adalah orang yang mula-mula mengenalkan nama Sukabumi.

Sepenggal Sejarah Sukabumi, Kota yang Kini Diperhatikan Jokowi
Hotel Lido di danau Cibumbung, Sukabumi; 1947. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Joko Widodo memang memenangi Pilpres 2014, tapi ia kalah telak di Jawa Barat. Di provinsi dengan tingkat partisipasi sebesar 70,39 persen atau 23.990.089 pemilih itu Jokowi-JK hanya meraih 40,22 persen suara, sementara Prabowo-Hatta meraih 59,78 persen.

Setelah resmi menjabat sebagai presiden, Jokowi rajin berkunjung ke sejumlah kota di Jawa Barat. Beberapa proyek infrastruktur pun ia genjot, termasuk di Sukabumi, kota tempat Hatta dan Sjahrir pernah diasingkan pemerintah kolonial, juga tempat Hamka ditahan pemerintah Orde Lama.

“Kami saksikan kegigihan Bapak Presiden melalui kerja bersama dalam membangun infrastruktur di seluruh wilayah NKRI tercinta ini,” ujar Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz dalam sambutannya sebelum melaksanakan salat Idul Adha yang dihadiri Jokowi di Lapangan Merdeka, Sukabumi (1/9/2017).

Beberapa pembangunan infrastruktur di Sukabumi meliputi jalan tol yang menyambungkan Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) yang sudah lama mangkrak, pembangunan jalur ganda rel kereta api Bogor-Sukabumi, dan Bandara Sukabumi yang masih dalam tahap pembebasan tanah.

Sementara daerah Lido, Kabupaten Bogor, yang berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, direkomendasikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tempat untuk pembangunan sirkuit balap. Rencananya sirukuit tersebut akan dibangun perusahaan properti MNC Land yang bekerjasama dengan Organisasi Donald Trump. Pembangunan sirkuit balap ini untuk melengkapi kawasan Lido yang membangun sejumlah properti seperti hotel, vila, dan kondominium.

Pelbagai pembangunan infrastruktur di Sukabumi dan rencana megaproyek di lokasi yang berbatasan dengan Sukabumi tentu akan membuat kota di Priangan Barat ini semakin hidup. Salah satu masalah terbesarnya, yaitu kemacetan dari dan menuju Bogor, akan segera teratasi. Artinya, roda perekonomian akan semakin lancar.

Sejumlah kalangan menyebut langkah Jokowi dalam pembangunan infrastruktur di Jawa Barat, termasuk di Sukabumi, adalah ikhtiar untuk meraih simpati warga provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil itu. Targetnya jelas: mendulang suara di Pilpres 2019.

Daerah Sejuk yang Tanahnya Diperniagakan

Sebelum memilih Cikembar sebagai lokasi pembangunan Bandara Sukabumi, pemerintah sempat merahasiakan tempat yang akan dipilih untuk menghindari mafia tanah. Para mafia itulah yang melambungkan harga tanah dan biasanya menghambat pembangunan.

Pembebasan atau pembelian lahan memang akan menjadi persoalan mendesak di Sukabumi terkait dengan pelbagai pembangunan tersebut. Jika tidak ditangani dengan hati-hati, konflik kepemilikan lahan akan mengintai.

Sejarah mencatat, sejak zaman kolonial Sukabumi adalah wilayah yang diperjualbelikan sampai akhirnya jatuh ke tangan swasta. Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014) menjelaskan, beberapa gubernur jenderal adalah pemborong tanah milik negara yang kemudian menjualnya lagi kepada pihak swasta.

Herman Willem Daendels, gubernur jenderal yang membuat Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan yang terkenal bengis, ternyata juga cekatan dalam bidang jual-beli tanah. Menurut Breman, Daendels memborong tanah milik negara dan menjual tanah tersebut dengan harga sepuluh kali lipat kepada pemilik awalnya.

Hal serupa juga dilakukan penggantinya, Thomas Stanford Raffles. Pejabat kolonial Inggris ini merupakan salah satu pembeli pada lelang yang diadakan untuk mengalihkan wilayah Sukabumi ke tangan swasta dengan harga lunak.

Selanjutnya, wilayah di Pringan barat ini ia jual kepada Andries De Wilde, mantan dokter bedah pasukan artileri Belanda dan pembantu utama Daendels, yang kemudian dekat dengan Raffles.

“Tanah yang dimiliki oleh Andries de Wilde melalui beberapa kali pembelian—mulanya berkongsi dengan Raffles sebagai mitra terbesarnya dan kemudian bersama dengan N. Engelhard dengan cara mengambil alih saham dari Gubernur Jenderal Inggris dengan harga teman—meliputi wilayah yang berpenduduk jarang dan sebagian besar berupa tanah yang belum diolah, terletak di bagian barat dataran tinggi Priangan,” tulis Breman.

Mulai 1814, De Wilde mengembangkan Sukabumi sebagai wilayah perkebunan dan pertanian. Ia yang memiliki tanah tak hanya di Sukabumi menggambarkan betapa lengangnya wilayah Priangan barat yang akan ia buka.

“Punggung dan dataran pegunungan yang tak ada habisnya, yang membentang sangat luas, terletak di setiap kabupaten yang sesungguhnya dalam keadaan liar dan kosong, meskipun ada tanahnya yang mungkin sangat cocok untuk dijadikan lahan penanaman padi dan jenis tanaman lain,” tulisnya seperti dikutip Breman.

Saat De Wilde membeli Sukabumi, wilayah itu hanya dihuni sekitar 16 ribu penduduk. Beberapa tahun kemudian meningkat menjadi 20 ribu jiwa, yang sebagian merupakan pindahan dari Cianjur.

Antara Cikole dan Gunung Parang

Sebelum berstatus gemeente atau kotapraja, Sukabumi hanya sebuah dusun yang berada dalam wilayah Distrik Gunung Parang, Onderafdeling Ciheulang, bagian dari Afdeling Cianjur, Karesidenan Priangan.

Nama Sukabumi yang mula-mula diperkenalkan Andries De Wilde, oleh sebagian kalangan dianggap berasal dari bahasa Sunda. Sukabumi berasal dari kata “Suka-Bumén” yang bermakna kawasan yang memiliki udara sejuk dan nyaman sehingga orang-orang suka bumén-bumén (membangun rumah tangga alias menetap). Sementara sebagian lagi menyebutkan bahwa kata “Sukabumi” berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya bumi tempat kesenangan, kebahagiaan, kesukaan.

J.M. Knaud mencatat pada buku Herinneringen Aan Soekaboemi (1976), seperti dikutip Setia Nugraha di artikel “Kota Sukabumi, dari Distrik Menjadi Gemeente (1815-1914)”, dalam laporan survey De Wilde saat membuka lahan perkebunan di Kepatihan Tjikole, ia mencantumkan nama Soeka Boemi sebagai tempatnya menginap.

Kepada temannya, Nicolaus Engelhard yang menjabat sebagai administratur Hindia Belanda, ia mengirimkan surat agar Engelhard mengajukan penggantian nama Tjikole menjadi Soekaboemi.

Warsa 1914, Distrik Gunung Parang—kini hanya nama sebuah kelurahan di Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi—yang diganti menjadi Distrik Sukabumi dijadikan sebagai burgerlijk bestuur dengan status gemeente. Ini dilakukan untuk memudahkan pelayanan kepada sejumlah perkebunan milik orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang terdapat di hampir sekeliling kota.

Sembilan tahun sebelum statusnya menjadi kotapraja, tepatnya pada 1905, seperti dicatat Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe (2015), warga Eropa di Sukabumi berjumlah 570 orang dan Tionghoa sebanyak 1.450 orang.

Infografik Sejarah sukabumi

Infografik Sejarah sukabumi

Di pengujung abad ke-19, jalur kereta api telah masuk ke Sukabumi. Pada 1882, Stasiun Sukabumi dibuka dan melayani perjalanan Sukabumi-Bogor. Seorang pelancong dari Inggris, William Basil Worsfold, mencatat dalam A Visit to Java: an Account of the Founding of Singapore (1893) tentang perjalanannya dari Bogor ke Sukabumi menggunakan kereta api. Tujuannya adalah perkebunan Ciwangi di Sukabumi.

Dari kesaksiannya, dari Bogor ke Sukabumi yang jaraknya ia sebut hanya 30-40 mil itu ditempuh dengan kereta api yang tidak terlalu cepat. Tapi gerbongnya cukup nyaman, dibuat dengan gaya Amerika yang dilengkapi tirai pelindung dari teriknya sinar matahari.

“Kereta di negeri tropis ini tak secepat kereta Flying Dutchman atau the Scotch Express. Namun aku lihat gerbongnya cukup nyaman,” tulisnya.

Ia menambahkan, selain kepala stasiun yang dijabat orang Eropa, semua petugas kereta api adalah orang-orang Jawa dan Tionghoa. Para petugas itu, meski mengenakan pakaian gaya Eropa, tapi juga dilengkapi dengan pakaian tradisional mereka.

Worsfold yang salah naik gerbong, sehingga terpisah dengan para penumpang Eropa, duduk sendirian. Ia bebas membuka dan menutup jendela seenaknya sambil menikmati pemandangan gunung, sawah, dan kebun, juga saat kereta berhenti cukup lama di stasiun yang dilewatinya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan