Menuju konten utama

Sepatu Doc Mart: Dipopulerkan Skinhead, Berakhir di Wali Kota Risma

Bot Dr. Martens awalnya diciptakan untuk orang yang mengalami cedera kaki.

Sepatu Dr Martens. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebulan belakangan, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bergaya trendi layaknya anak muda dengan sepatu bot merek Doctor Martens (DM). Anggapan ini sebenarnya tidak begitu tepat. Pasalnya, DM memang didesain untuk orang dewasa yang membutuhkan sepatu nyaman setelah mengalami cedera kaki.

Risma telah mengembalikan DM ke fungsi awalnya. DM dikenakannya ketika blusukan dan menghadiri berbagai acara informal pemerintahan karena ia sedang menderita gangguan syaraf kaki. Dikutip dari Kompas, Risma menyatakan sepatu lain tidak bisa membuatnya leluasa beraktivitas karena syaraf di kakinya terlalu sensitif terhadap sentuhan benda yang tak ergonomis.

DM diciptakan oleh dokter tentara asal Jerman Klaus Martens pada 1947 setelah kakinya cedera akibat bermain ski. Luka di kaki membuat Martens tak bisa lagi mengenakan sepatu tentara yang menurutnya tidak nyaman. Oleh sebab itu ia berupaya menciptakan sepatu yang dilengkapi bantalan empuk (air cushion) agar nyaman dikenakan. Ia pun bekerjasama dengan rekannya sesama dokter untuk menyempurnakan desain sepatu tersebut.

Maka jadilah sebuah sepatu tahan minyak, panas, dan asam. Sepatu tersebut juga tahan kontaminasi lemak hewani sehingga bisa digunakan di dalam pabrik pengolahan makanan.

Setelah Perang Dunia II di Jerman, DM sebagian besar digunakan oleh kaum perempuan paruh baya, tukang pos, dan para pekerja pabrik. Saat itu DM dipandang sebagai sepatu paling nyaman di seantero Jerman.

Kepopuleran DM akhirnya sampai ke telinga pengusaha sepatu asal Inggris Benjamin Griggs dan Septimus Jones. Mereka adalah pendiri Griggs, lini sepatu yang terkenal dengan produksi bot. Griggs dan Jones lantas mengajak Martens berkolaborasi membuat produk. Mereka menciptakan bot—dengan mengawinkan metode pembuatan ala Martens dengan desain sepatu karya Griggs—yang diberi nama 1460, angka yang diambil dari tanggal produksi sepatu. Mereka sepakat melabelinya dengan merek baru, yakni Dr. Martens.

1460 dijual seharga 2 poundsterling. Rata-rata konsumennya adalah pekerja pabrik serta tukang pos. DM pun jadi identik dengan sepatu kelas pekerja. Pada dekade 1960-an pula DM punya citra baru sebagai simbol perlawanan kaum muda Inggris.

Ini terjadi pada 1969 kala subkultur Skinhead muncul di Inggris. Anggota Skinhead punya prinsip berpenampilan berbeda dari anggota subkultur lainnya. Anak-anak muda subkultur--misalnya kaum Teddy Boy dan Mod--biasanya berupaya keras untuk berdandan bak orang kaya agar diakui dan dipandang. Sementara Skinhead justru ingin tampil sesuai kelas sosial dan bangga sebagai anggota kelas pekerja. Oleh karena itu mereka mengenakan atribut yang digunakan oleh para pekerja. Salah satunya DM yang kelak jadi ikon subkultur ini.

Penulis Skinhead History, Identity, and Culture (2018) Kevin Borgeson dan Robin Maria Valeri menyatakan bahwa Skinhead adalah subkultur yang mudah tersebar dan banyak diikuti di negara lain seperti Jepang, Rusia, AS, dan Korea.

“Karena Skinhead mengajarkan anggotanya untuk bangga menjadi diri sendiri dan mendorong anggotanya agar bersikap loyal pada kawan. Ajaran yang terkesan universal ini kemudian bisa merangkul orang-orang dari berbagai ideologi,” tulis Borgeson dan Valeri.

Kaum elite menganggap eksistensi Skinhead sebagai ancaman. Mereka dianggap perusak dan tukang berkelahi karena kerap bikin rusuh setelah pertandingan sepak bola. Seperti subkultur lainnya, eksistensi Skinhead tak bertahan lama. Skinhead mulai redup pada awal 1970-an dan kembali muncul pada akhir dekade yang sama, meski tak sefenomenal dasawarsa 1960-an. Meski demikian, sampai saat ini pengaruh Skinhead masih tergolong kuat, termasuk di kalangan Skinhead Jakarta—dan mereka masih mengenakan DM.

Darren Campbell, Global Vice President Dr. Martens bilang kepada Quartz bahwa DM bisa terus besar karena mereka didukung oleh berbagai kalangan massa.

“Ada konsumer yang memakai DM karena mereka anggota subkultur tertentu. Ini terjadi pada 1960-an dan 1970-an di kalangan anak punk. Pada 1980-an DM dikenakan kalangan anak-anak penggemar skuter (scooter boys). Pada 1990-an penganut dan penikmat musik Grunge dan Britpop memilih DM,” kata pria yang menganggap Pete Townshend, personel The Who sebagai influencer besar DM.

Infografik Dr Martens

undefined

Setelah gelombang subkultur dan musik, peminat DM datang dari kalangan fesyen. Mereka adalah orang-orang yang menganggap DM murni sebagai gaya tanpa peduli makna sosial yang pernah tersemat padanya.

Momen itu muncul pada 2000-an kala DM mulai berkolaborasi dengan desainer fesyen seperti Yohji Yamamoto dan Commes des Garcons. Beberapa desainer seperti Jean Paul Gaultier dan Marc Jacob juga menampilkan DM sebagai aksesori model peragaan busana.

New York Times sempat melaporkan beberapa label busana premium yang memutuskan membuat sepatu serupa DM yakni Coach, Dolce & Gabbana, Calvin Klein, dan Alexander McQueen.

Para selebritas seperti Miley Cyrus serta model/influencer seperti Gigi Hadid dan Kendall Jenner pun mengenakan bot 1460 kala tampil di depan media. Demikian pula dengan para model di Pekan Mode 2019.

Itulah mengapa DM tetap populer, bahkan kini jadi indikator gaya fashionable.

Financial Times melaporkan pada 2017 bahwa perusahaan tersebut mengalami peningkatan keuntungan. Tahun lalu Campbell menyatakan bahwa kiprah DM cukup baik di pasaran meski jumlah keuntungannya masih jauh di bawah pesaing terbesarnya, Timberland.

Baca juga artikel terkait SEPATU atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf