Menuju konten utama

Sentuhan Tangan Anak Pendeta di Masjid Istiqlal

Masjid Istiqlal adalah keajaiban Indonesia. Bukan karena status dan kemegahan masjid ini, tapi karena sang arsitek, Friedrich Silaban, merupakan non Muslim. Istiqlal tak hanya keajaiban tapi sebuah pesan yang mendalam dari para pendahulu Indonesia.

Sentuhan Tangan Anak Pendeta di Masjid Istiqlal
Foto udara kawasan Masjid Istiqlal. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Pada 1950, berbagai kelompok Islam di Indonesia yang menghendaki sebuah Masjid Nasional. Sebuah masjid yang besar, yang akan dibangun di pusat pemerintahan seperti kebanyakan di alun-alun di kota-kota Pulau Jawa.

Suara itu sampai ke telinga Menteri Agama Kyai Haji Wahid Hasyim dan Politisi Sarekat Islam Anwar Tjokroaminoto. Mereka tak hanya sepakat tapi juga membantu mewujudkan gagasan besar itu. Sebuah yayasan dan panitia pembangunan masjid berdiri pada 7 Desember 1954. Di dalamnya ada tokoh Islam dan insinyur teknik sipil.

Sukarno duduk sebagai ketua juri. Anggota dewan juri Ir Roesseno, Ir Djoeanda Kartawijaya, Ir Ukar Bratakusumah, Rd Soertatmoko, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, haji Aboebakar Atjeh dan Oemar Huseim Amin. Mereka adalah para juri akan menjadi penilai dalam sayembara rancang bangun masjid yang kini bernama Istiqlal.

Sayembara berlangsung sejak 22 Februari 1955 hingga 30 Mei 1955. Semula terdapat 30 peserta, namun hanya 27 peserta saja yang menyerahkan sketsa dan maketnya. Dari 27 peserta, ternyata hanya 22 yang memenuhi syarat sayembara. Setelahnya ditetapkan lima nominator. Di antara nominator terdapat mahasiswa-mahasiswa Institut Teknologi Bandung juga arsitek-arsitek kenamaan seperti R Utoyo, Hans Gronewegen, dan Friedrich Silaban.

Di Istana Negara, pada 5 Juli 1955, dewan juri akhirnya menetapkan desain bersandi Ketuhahan miliki Friedrich Silaban sebagai pemenang. Silaban membawa hadiah emas 75 gram dan uang sebesar Rp25 ribu atas karyanya itu. Namun, peletakan batu pertama pembangunan masjid di bekas Taman Wilhelmina dan benteng yang dulu pernah ada, baru dilakukan pada 24 Agustus 1961.

“Silaban beruntung, karena sejak awal (ketika Sukarno masih berkuasa) sampai era Soeharto diberi kepercayaan untuk mengawal penyelesaian Istiqlal. Tidak mungkin terjadi di era sekarang dengam sistim pengadaan jasa yang bisa-bisa orang lain yang mengawal,” ungkap arsitek senior Indonesia Bambang Eryudhawan. Artinya dengan waktu perancangan sejak 1955 dan selesai 1978, maka Friedrich Silaban telah mengawal pembangunan Istiqlal selama 23 tahun.

Sebelum sukses diresmikan, pembangunan masjid ini tidak lancar karena berbagai macam alasan. Apalagi setelah G30S 1965, terjadi suksesi kepemimpinan di Indonesia. Akhirnya, setelah memakan waktu 17 tahun untuk menuntaskannya, pada 22 Februari 1978, masjid yang dalam bahasa Arab berarti Merdeka ini, resmi dibuka.

Lokasi Masjid Istiqlal berdiri sangat berdekatan dengan Gereja Katedral, tempat umat Katolik biasa beribadah. Sementara itu, sang arsitek Istiqlal Friedrich Silaban, merupakan penganut Kristen.

“Istiqlal dirancang sebagai karya sayembara tahun 1955, ketika nama Silaban baru mulai berkibar di era kemerdekaan.... Dibanding karya Silaban lainnya, Masjid Istiqlal tidak jauh berbeda, kecuali kualitas desain dan pengerjaannya relatif di atas dari karya yang lain,” ujar Bambang saat menggambarkan keseriusan sosok Silaban saat merancang Istiqlal.

Infografik Arsitek Non Muslim Perancangan Istiqlal

Friedrich Silaban memang bukan arsitek biasa. Karyanya banyak. Diantaranya adalah gedung-gedung milik pemerintah. Bangunan-bangunan itu masih kokoh hingga saat ini. Hanya terlihat jadul saja, tapi tetap sedap dipandang mata.

Menurut buku Rumah Silaban (2008), Friedrich Silaban, terlahir sebagai anak pendeta Djonas Silaban di Bonandolok, Tapanuli pada 16 Desember 1912. Sang ayahnya, dengan lidah lokal Bataknya, memanggil anak kelimanya itu dengan: Perderik. Tahun 1927, ketika dirinya tamat dari sekolah dasar Belanda untuk pribumi di Holland Inlandsche School (HIS) Norumonda, Tapanuli Selatan, Friedrich Silaban muda berlayar ke Jakarta. Untuk belajar jadi ahli di Koningen Wilhelmina School (KWS).

Di sekolah kolonial itu, Silaban tertarik pada arsitektur. Meski sekolahnya bukan sekolah pencetak arsitek. Dia belajar dari arsitek Belanda JH Antonisse. Pemuda ini pun terbawa arus dalam aliran arsitektur yang ketika itu berkembang. Pelan-pelan pemuda ini belajar secara ototidak tanpa pernah merasakan bangku kuliah untuk menjadi arsitek.

Friedrich Silaban lulus dari KWS di tahun 1931. Ketika usianya hampir 19 tahun. Setelah sempat bekerja di Kantor Departemen Pekerjaan Umum kolonial, dia masuk militer KNIL, dalam unit yang terkait dengan konstruksi: zeni. Dia pernah dikirim ke Pelambang dan Pontianak sekitar tahun 1937-1939. Di Pontianak dia menjadi perwira yang mengepalai bagian teknik di sana.

Dalam masa dinasnya di militer, Silaban pernah memenangkan sayembara pada 1935, rancang bangun rumah wali kota Bogor dan sebuah hotel di daerah pegunungan. Usianya kira-kira baru 23 tahun ketika itu.

“Silaban adalah lulusan Koningen Wilhelmina School (KWS), suatu sekolah menengah teknik yang terkenal di Jakarta. Selama bertahun-tahun, dia bekerja di bagian arsitektur dalam Zeni Militer Belanda. Karena saya mantan calon perwira Zeni maka terdapat ikatan batin diantara kami,” kata TB Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1991).

TB Simatupang bertemu Silaban di masa pendudukan Jepang. Di mana “Silaban jelas tidak menyukai Jepang.... saya merasakan bahwa dalam batinnya dia belum sepenuhnya putus rotan dengan Belanda pada waktu itu.” kata TB Simatupang.

Sepanjang hidupnya, Silaban lebih peduli pada arsitektur ketimbang politik. Meski pernah bekerja untuk Belanda, setelah pengakuan kedaulatan, Silaban ikut serta memperkaya dunia arsitek modern Indonesia. Menurut buku Rumah Silaban, terlibat dalam pendirian Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pada 17 September 1959. “Dia Arsitek senior pendiri IAI bersama Liem Bwan Tjie dan Mas Soesilo,” terang arsitek senior Bambang Eryudhawan.

“Silaban adalah arsitek yang menganut pandangan fungsionalisme, sebagaimana banyak dianut oleh arsitek Eropa di awal abad ke-20,” tulis Agus Sachari dalam Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkemabangan Gaya Visual (2007).

Silaban menganut gaya fungsionalis secara konsisten menerapkan pada karya-karyanya. Suatu kali Friedrich Silaban pernah mengucap: “Arsitektur yang baik adalah arsitektur yang sesederhana mungkin, seringkas mungkin, dan sejelas mungkin, dan semua hal yang tidak mutlak dibutuhkan suatu bangunan, tidak perlu diadakan.”

Setelah banyak berkarya di Indonesia, Silaban memberanikan diri untuk go international, dengan menawarkan diri ke PBB. Dalam surat lamarannya, anak pendeta Djonas Silaban ini dengan penuh percaya diri memperkenalkan diri dalam pembukaan surat lamarannya dengan pernyataan lugasnya.

“Saya adalah arsitek, tapi bukan arsitek biasa.”

Baca juga artikel terkait ISTIQLAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra