Menuju konten utama

Sentimen Anti-Asia Terkait Erat Agresifnya Kebijakan Luar Negeri AS

Serangan terhadap etnis minoritas di Amerika pernah tak lepas dari kebijakan agresif Paman Sam di luar negeri.

Sentimen Anti-Asia Terkait Erat Agresifnya Kebijakan Luar Negeri AS
Ilustrasi Rasisme. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Satu tahun pandemi berlalu, warga keturunan Asia di Amerika semakin waspada akan berbagai serangan yang ditujukan kepada mereka. Penembakan di Atlanta, Georgia pada Rabu (17/3) menjadi tragedi terbaru yang merenggut delapan korban jiwa—enam di antaranya berdarah Asia. Beberapa hari sebelumnya, di Oakland, California pria asal Hong Kong berusia 75 tahun meninggal dunia setelah diserang dan dibegal saat jalan-jalan pagi, sementara di kota San Francisco, imigran Thailand berusia 84 tahun didorong sampai tersungkur dan akhirnya menghembuskan napas terakhir pada Februari silam.

Wajah-wajah berkarakter Asia Timur dijadikan sasaran amukan warga yang berasumsi liar bahwa mereka pantas disalahkan atas penyebaran Covid-19. Anak sekolah, jurnalis sampai dokter mengalami beragam bentuk persekusi: dilecehkan, dimaki-maki, dipukul, ditendang, diludahi. Perlakuan rasis ini juga berdampak pada keberlangsungan bisnis kuliner sampai salon kuku di kawasan pecinan dan kompleks pasar Asia, yang harus bertahan dari pengucilan oleh klien, di samping menanggung kerugian ekonomi karena pemasukan merosot drastis.

Sejak awal pandemi hingga sekarang, kelompok advokasi Stop AAPI (Asian American Pacific Islander) Hate (PDF) sudah menerima sekiranya 3.800 aduan insiden kebencian terhadap warga Amerika keturunan Asia. Hampir 70 persennya adalah pelecehan verbal, sedangkan serangan fisik mencakup 11 persen. Pihak advokasi memperingatkan, statistik tersebut hanyalah sepotong kecil penindasan yang dialami warga Amerika keturunan Asia, tetapi sudah cukup membuktikan betapa rentannya keseharian etnis minoritas tersebut selama pandemi.

Retorika Anti-Cina di Balik Perang Dagang

Situasi pandemi yang mencekam dan penuh ketidakpastian ini tidak bisa dipisahkan dari retorika politis oleh pucuk kepemimpinan AS kala itu, Donald Trump, yang gemar menyudutkan otoritas Cina atas penyebaran virus ke penjuru dunia. Sejak Maret 2020, Trump sudah mulai mempopulerkan Covid-19 sebagai “virus Cina”, istilah yang dianggapnya “sama sekali tak rasis” karena “asalnya memang dari Cina”. Di lain kesempatan, Trump mengejeknya dengan nama “kung flu”. Sampai menjelang akhir jabatan, Trump masih menyerukan, “Ini salah Cina”. Politisi konservatif di sekeliling Trump, seperti Menlu Mike Pompeo dan sejumlah figur Republikan, ikut-ikutan bikin gerah suasana dengan pemakaian istilah “virus Wuhan”.

Padahal, sudah diperingatkan oleh Cecillia Wang dari American Civil Liberties Union, labelisasi demikian bisa berdampak pada aksi mengambinghitamkan yang berbahaya dan meluasnya kebebalan. “Dengan menyebarkan fitnah ini, para pejabat telah mengobarkan rasisme serta tindakan pelecehan dan kekerasan secara terbuka terhadap masyarakat Amerika keturunan Asia,” tulis Wang. Merujuk panduan WHO 2015 untuk penamaan penyakit menular baru, lokasi geografis merupakan kategori yang perlu dihindari agar tidak menyinggung etnis atau komunitas regional tertentu.

Russell Jeung, dosen Kajian Asia-Amerika di San Francisco State University dan salah satu pendiri Stop AAPI Hate, mengiyakan korelasi antara komentar-komentar Trump terkait virus Cina, ujaran kebencian di linimasa media sosial, dan kekerasan terhadap komunitas keturunan Asia. “[Retorika] ini memberikan izin pada orang-orang untuk menyerang kami. Serangan beruntun yang sekarang dilancarkan kepada para lansia adalah bagian dari dampak retorika tersebut di masyarakat luas,” ujar Jeung kepada majalah Time Februari kemarin.

Setelah insiden penembakan di Atlanta, sekretaris pers Jen Psaki di Gedung Putih menegaskan bahwa “retorika merusak yang dikumandangkan pemerintah sebelumnya”—seperti sebutan virus Wuhan dan lainnya—menyebabkan persepsi tidak akurat dan tidak adil pada warga Amerika keturunan Asia, sekaligus telah meningkatkan berbagai ancaman terhadap mereka.

Tudingan dari administrasi Trump terhadap otoritas Cina atas penyebaran Covid-19, berikut usaha mereka untuk mereproduksi mitos “virus Cina” dan istilah merendahkan lainnya, tidak muncul secara tiba-tiba. Apabila dilihat dari konteks perang dagang AS-Cina, ekspresi-ekspresi rasis tersebut tak lain merupakan cerminan atau ekstensi dari langkah agresif Washington untuk menekan Cina dan memudarkan citranya di panggung dunia. Melansir pandangan profesor antropologi di University of British Columbia, Hugh Gusterson, labelisasi “virus Cina” dari Trump sejalan dengan kebijakannya memusuhi Cina selama ini.

Kegusaran Trump terkait relasi dagang dengan Cina sudah terlacak sejak kampanye pilpres 2016. Trump berkoar-koar betapa praktik dagang Cina merugikan pekerja Amerika. Dalam salah satu orasi, ia pernah mengecam kebijakan dagang Cina, “Tak bisa kita biarkan Cina memperkosa negara kita dan itulah yang sekarang mereka lakukan. Ini adalah pencurian terbesar dalam sejarah dunia.” Dalam kampanye pilpres 2016, Trump berjanji akan memberlakukan tarif buat produk-produk Cina, agar defisit perdagangan AS-Cina bisa diperkecil. Dilansir dari dokumen (PDF) rencana kerjasama dagang dengan Cina, terungkap bahwa strategi yang ditawarkan Trump cenderung konfrontatif dan bersifat menghukum: mulai dari menyatakan Cina sebagai tukang manipulasi mata uang sampai mengecam Cina atas pencurian hak intelektual dan praktik-praktik dagang tidak adil.

Perang dagang resmi dimulai pada Juli 2018, ketika Amerika memberlakukan tarif 25 persen pada produk Cina, yang dibalas dengan langkah serupa oleh Beijing. Sampai akhir 2019, Amerika sudah menetapkan tarif kepada produk-produk Cina dengan total nilai USD 360 miliar. Di pihak Cina, tarif diterapkan pada komoditas Amerika yang nilainya mencapai USD 110 miliar.

Meskipun kesepakatan dagang tahap pertama terwujud pada awal 2020, konflik ini masih berkecamuk sampai sekarang dan menyisakan masalah: Cina kesulitan membeli komoditas Amerika sesuai janjinya karena terkendala pandemi, sementara Amerika masih membebani tarif untuk produk Cina. Belum lagi, perang dagang ini dinilai menimbulkan kerugian bagi ekonomi domestik, mengingat tarif sebenarnya dibebankan kepada pihak importir dari masing-masing negara. Dalam hubungan yang serba tidak mengenakkan inilah—dan selama pandemi Covid-19 berlangsung—sentimen anti-Cina digaungkan oleh administrasi Trump, yang kini berujung pada meningkatnya kejahatan kebencian terhadap etnis Cina di Amerika.

Muslim Amerika di Balik Bayang-Bayang 9/11

Dua puluh tahun silam, warga muslim keturunan Arab di AS mengalami berbagai perlakuan menyakitkan sebagaimana dialami orang-orang keturunan Asia Timur di Amerika hari ini. Pada 11 September 2001, pembajakan empat pesawat Boeing American Airlines menewaskan hampir 3.000 jiwa orang Amerika. Jumlah ini melampaui angka korban jiwa di Pearl Harbour enam dasawarsa sebelumnya. Serangan yang disponsori organisasi Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden ini disebut-sebut sebagai aksi balas dendam atas dukungan Amerika Serikat terhadap Israel.

Tak butuh waktu lama, ancaman dan aksi kekerasan mulai dilancarkan kepada orang-orang dengan paras Arab dan Asia Selatan—tak sedikit dari mereka beragama Islam atau Sikh. Pada 2011, Divisi Hak-hak Sipil dari Departemen Kehakiman AS merilis laporan (PDF) rangkuman aksi-aksi diskriminatif terhadap muslim Amerika sejak peristiwa 9/11. Statistik menunjukkan, aksi kejahatan bermotif kebencian (hate crime) meningkat selama tiga minggu pasca-insiden. Setelah itu angkanya melandai, namun tak pernah mencapai taraf sebelum terjadinya serangan ke WTC. Menurut Biro Federal Investiagasi (FBI), kasus kejahatan kebencian terhadap muslim meningkat 1.600 % pada 2001.

Sejumlah insiden kejahatan kebencian terjadi dalam kurun beberapa hari setelah serangan 9/11. Misalnya, di Seattle, Washington, seseorang merencanakan pembakaran mobil di pelataran masjid dan melakukan penembakan terhadap para jemaat. Restoran milik keluarga keturunan Pakistan di Salk Lake City, Utah, dilumuri bensin dan dibakar. Di Delaware, anak kelas 4 SD dipersekusi gurunya karena berhijab, sementara sebuah sekolah di Oklahoma melarang siswinya berhijab. Pada 2003, seorang pria New York membunuh 4 orang yang dikiranya berasal dari Timur Tengah karena terhasut oleh arus kebencian pasca-11 September.

Daftar pelecehan dan perlakuan rasis kepada komunitas Arab, Timur Tengah atau Asia Selatan ini masih panjang (PDF). Sebuah film dari tahun 2010 yang diperankan aktor India Shah Rukh Khan adalah salah satu representasi populer nan menggugah tentang perjuangan komunitas muslim Amerika setelah 11 September. Tokoh utamanya berusaha bangkit dari stigmatisasi dan diskriminasi sebagai seorang imigran Muslim di San Francisco. Ia menempuh perjalanan ke Washington DC untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Amerika, “Namaku Khan dan aku bukan teroris”.

Berbagai diskriminasi yang dialami oleh warga muslim Amerika ini terjadi seiring bergulirnya kebijakan Global War on Terror. Presiden George Bush meluncurkan Operation Enduring Freedom (OEF) untuk mengenyahkan kelompok-kelompok seperti Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan. Sementara di dalam negeri, sepuluh hari setelah insiden, Bush mengeluarkan kepres untuk mendirikan Jawatan Keamanan Dalam Negeri (kelak menjadi Departemen Keamanan Dalam Negeri) yang bertanggung jawab mengembangkan dan mengkoordinasikan strategi nasional untuk melindungi negara dari ancaman teroris.

Di luar berbagai kebijakan agresif untuk memberantas terorisme, pemerintahan Bush berusaha menunjukkan sikap merangkul komunitas muslim Amerika. Tak sampai seminggu setelah tragedi berlangsung, Bush mengunjungi masjid di Washington dan menyampaikan pesan tegas bahwa pelecehan terhadap komunitas Arab dan Muslim di Amerika tidak dibenarkan. “Wajah teror bukanlah iman sesungguhnya dalam Islam. Itu bukan Islam. Islam itu damai. Teroris-teroris ini tidak merepresentasikan perdamaian. Mereka mewakili kejahatan dan perang,” ujar Bush dalam sambutannya. Orang-orang yang merasa bisa mengintimidasi kaum Arab dan muslim, menurut Bush, “tidak mewakili yang terbaik dari Amerika, namun justru yang terburuk dari umat manusia”.

Di samping itu, instansi pemerintah melalui Divisi Hak-hak Sipil, FBI dan Kejaksaan, berperan besar dalam upaya selama bertahun-tahun untuk mendampingi warga muslim Amerika yang menjadi korban kebencian. Mereka juga turut membantu memproses langkah hukumnya. Sampai titik tertentu, public relations Bush berhasil membatasi ekses kekerasan terhadap warga muslim, meski warisan perangnya terasa hingga hari ini.

Infografik Rasisme di AS

Infografik Rasisme di AS. tirto.id/Fuad

Barak Tahanan Jepang Era PD II

Langkah yang diambil administrasi Bush nampak kontras dari Franklin D. Roosevelt pada era Perang Dunia II. Sebagai reaksi terhadap serangan militer Jepang di Pearl Harbour pada 1941, Roosevelt mengeluarkan Perintah Eksekutif 9066 untuk merelokasi warga sipil keturunan Jepang di kawasan Pantai Barat ke kamp-kamp interniran—yang lebih menyerupai barak-barak tahanan militer dengan kawat besi dan menara pengawas yang terisolasi dari pemukiman. Mereka dicurigai sebagai agen spionase pemerintah Jepang, tanpa didukung satu pun bukti.

Sekiranya 120 ribu orang Jepang dan keturunannya dipindahkan—dua per tiga di antaranya adalah warga negara Amerika. Mereka dipaksa meninggalkan rumah dan tempat kerja dengan membawa barang dan pakaian ala kadarnya. Dilansir dari laman History,mereka diasingkan sementara di “pusat interniran”, biasanya berupa bangunan bekas kandang kuda atau sapi di lapangan atau arena pacuan. Bahkan, tiga ribu orang dikabarkan pernah menetap di paviliun ternak di Portland, Oregon. Sementara di Santa Anita, California lebih dari delapan ribu warga ditempatkan di kandang kuda, dengan kondisi sanitasi memprihatinkan dan sering kekurangan makan. Selang beberapa bulan, barulah mereka dipindahkan ke “pusat relokasi” permanen—yang menyediakan sekolah, lahan pertanian dan pabrik-pabrik—hingga perang berakhir. Ketika dibebaskan, mereka harus kembali berjuang lagi dari nol, karena aset-asetnya sudah dirampas.

Setelah sekian lama warga keturunan Jepang berkampanye menuntut keadilan, Kongres membentuk komisi investigasi. Laporan mereka mengungkap bahwa penahanan terhadap warga sipil Jepang ini merupakan suatu bentuk “ketidakadilan berat” yang utamanya dimotivasi oleh “prasangka rasial, histeria perang, dan kegagalan kepemimpinan politik”.

Pada 1988, Presiden Ronald Reagan menandatangani UU Kebebasan Sipil untuk memberikan kompensasi kepada lebih dari 100 ribu korban tahanan Jepang. Selain memberikan pernyataan maaf secara formal, pemerintah membayar USD 20.000 (dalam kurs hari ini nilainya sekitar 640 juta rupiah) kepada individu yang masih hidup. John Tateishi, yang ikut ditahan di kamp sejak berusia 3 sampai 6 tahun, mengenang kepada NPR pada 2013 silam, “Kami keluar dari kamp-kamp ini dengan rasa malu dan bersalah, dipandang sebagai pengkhianat negara kami sendiri.”

Riwayat diskriminasi terhadap komunitas Asia di Amerika tidak berhenti di situ. Pada dekade 1920 sampai 1930-an, kehadiran puluhan ribu lebih imigran Filipina di California untuk bekerja sebagai buruh tani disambut dengan kebencian. Mengutip studi berjudul “Images from the Past: Stereotyping Filipino Immigrants in California” (2004) karya Melissa Flores, sejumlah dokumentasi kala itu menyebut orang Filipina “bodoh”, “inferior moralnya” dan “barbar”, yang sumbernya bisa dirunut ke narasi era Perang Filipina-Amerika pada akhir abad ke-19.

Diskriminasi rasial sehubungan dengan pandemi Covid-19 terhadap etnis Cina di Amerika Serikat pun sebenarnya bukan hal baru. Sejak 1860 hingga awal 1900-an, orang Cina sudah dikambinghitamkan sebagai sumber kotoran, polusi dan penyakit, salah satunya sehubungan dengan wabah pes yang pernah merebak di kawasan Pecinan padat di San Francisco pada 1900. Sebelum itu, orang-orang Cina bahkan sudah dihalang-halangi agar tidak lagi bermigrasi ke Amerika berdasarkan UU Pengecualian Orang Cina tahun 1882, produk dari ketakutan orang-orang kulit putih bahwa imigran Cina bakal merebut lapangan kerja mereka di sektor konstruksi jalur kereta dan infrastruktur lainnya.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf