Menuju konten utama

Senjata Tumpul Melawan Samurai Gula

Pasar gula cenderung oligopoli, hanya dikuasai beberapa orang. Julukan tujuh, delapan, sembilan samurai gula diberikan untuk menggambarkan kelompok-kelompok penguasa pasar yang bisa memainkan pasokan dan harga. Sayangnya pergerakan mereka hanya bisa terendus, belum terjaring hukum persaingan usaha apalagi pidana.

Senjata Tumpul Melawan Samurai Gula
Buruh memikul gula asal Thailand yang diturunkan dari kapal Fery BRR NAD-Nias di pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Kamis (25/6). ANTARA FOTO/Ampelsa.

tirto.id - Sekelompok bandit membuat onar dan merampok sebuah desa. Mereka tak hanya mengambil hasil panen beras para petani, tapi juga para wanita desa. Bagi penduduk desa ulah para bandit ini sudah sangat meresahkan. Suatu hari, seorang penduduk dapat informasi para bandit akan kembali lagi untuk merampas hasil panen desanya.

Mereka pun sepakat mencari samurai bayaran untuk disewa menjaga desanya dari para bandit. Dengan bersusah payah, penduduk desa menemukan tujuh orang samurai secara terpisah dan tak bertuan, yang bersedia membantu mereka meski hanya imbalan dengan nasi. Akhirnya, para samurai berhasil menumpas para bandit meski harus mengorbankan nyawa.

Kisah tujuh samurai berhati mulia ini terekam dalam film klasik Jepang, Seven Samurai atau Shichinin no Samurai yang dirilis 62 tahun lalu, besutan Sutradara Akira Kurosawa yang melegenda. Di Indonesia, istilah samurai selain diartikan sebagai senjata dari Jepang, juga sering dikonotasikan sebagai hal yang negatif yakni mafia pangan. Ada istilah tujuh samurai, delapan samurai, sembilan samurai atau apapun namanya, berkomplot menciptakan pasar oligopoli.

“Distributor gula dikuasai oleh beberapa pedagang besar yang terkenal dengan sebutan 8 samurai,” sebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Position Paper KPPU tahun 2009 terkait kebijakan dalam industri gula.

Gula, Samurai, dan Naga

Samurai dalam bisnis gula merujuk kepada para distributor atau pedagang besar. Istilah ini muncul untuk menggambarkan terhadap penguasaan stok dan harga gula. Jumlah samurai gula pernah mencapai 9 pedagang besar pada 2004. Mereka bermodal kuat, menguasai jalur distribusi gula hingga lapis kedua dari hasil pabrik gula BUMN dan petani. Para samurai tak hanya berperan sebagai pedagang, mereka juga berperan sebagai investor besar, yang punya pendekatan baik kepada petani maupun pabrik gula. Mereka menyiapkan dana talangan kepada petani sebelum kegiatan lelang gula. Mereka dianggap berjasa menekan risiko kerugian petani.

Kondisi ini membuat para “samurai” dengan mudah menguasai stok gula. Saat musim giling tebu atau produksi gula tiba, pada Juni-September, hasil lelang gula jatuh ke tangan para pedagang besar. Kondisi pasar semacam ini identik dengan oligopsoni atau segelintir pembeli menguasai pasar. Sedangkan kondisi sebaliknya saat musim paceklik, ketika tak ada kegiatan giling tebu Desember-April, stok gula sudah dikuasai oleh para pedagang. Dengan demikian pasar gula murni berjalan sebagai oligopoli, hanya beberapa pedagang menguasai stok gula, dan harga pun mudah dikendalikan.

Keadaan semacam ini terjadi semenjak Indonesia menjadi pasien IMF pada 1998. IMF mempereteli kewenangan Bulog sebagai jangkar pengendali harga pangan seperti gula di masa Orde Baru. Bulog yang tak lagi bergigi, memunculkan embrio kelompok-kelompok penguasa pangan dari kalangan swasta. Sebagai antisipasi kondisi pasar yang bebas, dihadirkan sebuah “senjata” wasit persaingan yang bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang lahir dari rahim UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Saat KPPU lahir, para samurai pun bermunculan sejak 2002. Dari tahun ke tahun cengkeraman mereka makin besar terhadap penguasaan gula dan jumlahnya bertambah. Cikal bakal samurai ini sebenarnya sudah ada sejak 1980-an saat mereka menjadi mitra Bulog.

“Dari tahun ke tahun kelompok yang 7-8 orang ini menguasai, pada waktu itu gula rafinasi belum mulai ada, rafinasi baru ada sejak 2005,” kata Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC) Colosewoko kepada tirto.id, Rabu (21/9/2016)

Menurut M. Husein Sawit, seorang peneliti ekonomi pertanian dalam makalahnya yang berjudul “Kebijakan Swasembada Gula: Apanya yang Kurang?” para samurai ini menguasai 80 persen produksi gula di dalam negeri. Bila mengutip Asosiasi Gula Indonesia (AGI) yang mencatat rata-rata produksi gula putih di dalam negeri dalam rentang 2005-2009 hanya 2,37 juta ton per tahun, sebanyak 42 persen berasal dari petani, 22 persen dari pabrik gula BUMN, dan 36 persen dari pabrik gula swasta.

Artinya, bila menghitung kebutuhan konsumsi gula dalam negeri 5,7 juta ton per tahun, maka produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 40 persen saja, sisanya 60 persen ditopang dari impor khususnya gula mentah yang diolah menjadi gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan minuman hingga farmasi. Celakanya semua lini dari gula lokal hingga gula rafinasi yang berbasis impor, hampir seluruhnya dikuasai oleh swasta

Industri gula rafinasi mulai dilirik oleh banyak pemain gula, termasuk para samurai. Transformasi dari samurai yang selama ini menguasai sebagai pedagang besar gula putih lokal, mereka juga masuk ke industri gula rafinasi yang dianggap lebih menguntungkan. Komposisi samurai gula akhirnya berkurang dari delapan hanya jadi empat samurai sejak 2009.

Kebutuhan terhadap gula rafinasi terus meningkat sejalan perkembangan industri pengguna. Sejak awal 2000-an pemerintah menambah izin pendirian pabrik gula rafinasi. Pada 2004 pabrik gula rafinasi hanya 3 pabrik, lalu terus bertambah menjadi 8 pabrik hingga 2009 dengan kapitas total 3,2 juta ton. Hingga kini totalnya sudah ada 11 pabrik gula rafinasi yang tersebar di Jawa yang umumnya berlokasi dekat pelabuhan antara lain Cilacap, Cilegon, dan Serang. Mereka memang tak disiapkan untuk menyerap tebu petani tapi pencari rente dari gula impor yang diolah. Pemain industri gula rafinasi ini sering juga dijuluki sebagai “naga”.

“Samurai yang dulu, menjelma jadi naga,” kata Colosewoko.

Persoalan gula ini terus menggelinding liar, termasuk ke ranah politik di meja para anggota parlemen di Senayan. Berbagai panitia kerja (panja) gula dibentuk soal gula selama beberapa tahun terakhir, mulai dari tema Panja Swasembada hingga persoalan rembesan gula rafinasi. Hampir setiap tahun juga terjadi isu rivalitas antara gula putih lokal dengan gula impor rafinasi yang merembes ke pasar umum. Namun yang pasti para pemain gula ini lah yang diuntungkan karena kenaikan harga yang terus terjadi akibat lemahnya produksi di dalam negeri. Samurai dan naga menjadi penentu permainan ini.

"Kalau kita selalu mencari jalan keluar dengan cara mengimpor, dampaknya akan mematikan petani tebu dalam negeri," kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil yang mewakili suara pabrik gula lokal dan petani, dikutip dari Antara.

Samurai gula memang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan keberadaannya dengan kenaikan harga gula di pasar. Di sisi lain petani tak merasakan dampak kenaikan harga gula. Harga gula tercatat dalam 7 tahun terakhir telah naik 41 persen. Pada 2009 harga rata-rata gula nasional masih Rp8.691 per kg, sedangkan tahun lalu sudah mencapai Rp12.317 per kg. Kenaikan ini belum menghitung perkembangan harga gula rata-rata nasional di tahun ini, pada September misalnya harga rata-rata gula sudah mencapai Rp 14.000 per kg.

Sadar terhadap kondisi pasar gula yang tak wajar, pada 2009 KPPU sudah melakukan kajian lebih jauh terkait dengan penyebab tingginya harga gula. Jauh sebelumnya masalah gula juga sempat jadi perkara yang diputuskan KPPU pada 2006, terkait distribusi gula di PTPN XI. Ini hanya satu perkara tata niaga gula yang ditangani KPPU. Padahal persoalan di pasar gula sudah tercium tapi tak tersentuh, karena jari dan tangan KPPU tak kuasa menggenggamnya, apalagi soal ekses pasar dari persoalan kuota impor gula.

“Rezim kuota impor komoditas pangan juga rawan menyebabkan praktik kartel, yaitu persekongkolan Dalam mengatur pasokan komoditas pangan ke pasar (kartel pasokan) atau persekongkolan dalam menetapkan harga (price fixing),” kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi.

Senjata yang Tumpul

Sayangnya di tengah pasar yang tak sehat ini, KPPU sebagai “senjata” pengendali di rezim pasar bebas, tak punya taji dan kekuatan yang besar. Ini dapat terlihat dari hasil penanganan keberatan di Pengadilan Negeri (PN) maupun penanganan kasasi di Mahkamah Agung (MA) selama periode 2000-2011, sebanyak 44 persen putusan KPPU dibatalkan oleh PN dan 56 persen diperkuat oleh PN. Sedangkan untuk tingkat MA, 27 persen keputusan KPPU dibatalkan oleh MA dan sisanya 73 persen diperkuat MA.

Data lain menunjukkan minimnya eksekusi atas hasil keputusan KPPU. Setidaknya ada 52 perkara yang sudah ditetapkan KPPU, tetapi belum dilaksanakan. Hal ini terjadi karena putusan yang dikeluarkan oleh KPPU harus dimintakan penetapan eksekusi ke PN. Artinya, putusan KPPU tidak dapat langsung dieksekusi atau dilaksanakan. Putusan KPPU biasanya jadi bukti awal penyidikan di PN bila terlapor sebuah kasus mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU.

KPPU dihadapkan dengan persoalan internal soal status pegawai KPPU yang saat ini hanya berstatus honorer. Persoalan ini berbuntut pada kinerja KPPU secara keseluruhan khususnya soal produktivitas mereka dalam menangani dan memutuskan perkara.

Lembaga wasit persaingan usaha ini juga punya masalah soal wewenang. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999, kewenangan KPPU hanya sebatas menerima laporan, melakukan penelitian, penyelidikan, menyimpulkan penyelidikan, memanggil pelaku usaha, menghadirkan saksi, menetapkan keputusan, dan menjatuhkan sanksi. KPPU tak punya wewenang untuk mempermudah penyelidikan dan penyidikan seperti menyita alat bukti atau upaya paksa memanggil para terduga kasus persaingan usaha.

Kekuatan KPPU sangat jauh jika dibandingkan lembaga penegak hukum lain, misalnya KPK. Selama ini KPK terkenal dengan instrumen Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang bisa membuat orang lain jera. Namun, KPPU hanya punya instrumen mengenakan denda atas sebuah pelanggaran. Ironisnya, denda maksimal hanya Rp25 miliar. Denda yang kecil ini tak memberikan efek jera. Posisi KPPU yang lemah ini bukan tidak disadari oleh para pemangku kepentingan. DPR pun mengajukan revisi UU No 5 Tahun 1999 sejak 2011, tapi belum terealisasi hingga kini.

Pemerintah punya tiga modal untuk membenahi persoalan pasar gula. Pertama, penegakan hukum persaingan usaha dengan memaksimalkan KPPU, termasuk dibantu dengan penegakan hukum pidana. Kedua, meningkatkan produksi gula dan kapasitas industri gula nasional dengan pabrik baru dan peremajaan lahan tebu. Ketiga, memaksimalkan peran Bulog dari sisi stok hingga kemampuan distribusi, jangan hanya bergantung dengan mitra.

Tiga cara ini bisa jadi solusi untuk membenahi pasar gula, tapi bukan langkah yang mudah. Ini sama hal dengan kisah memberantas para bandit pencuri hasil panen petani dalam kisah Seven Samurai. Gula merupakan komoditas yang menguntungkan karena harganya terus naik dan bisa dipermainkan. Orang pun bisa gelap mata karenanya.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti