Menuju konten utama

Senjakala Industri Manga Jepang Akibat Pembajakan

Pembajakan dan kisah yang kurang menggigit mengancam ketahanan industri manga Jepang.

Cover Film One Piece. FOTO/wikipedia

tirto.id - Siapa tak kenal One Piece? Serial komik Jepang atau manga ini begitu populer, tidak hanya di negeri asalnya Jepang, tapi juga di seluruh dunia. Sayangnya, kesuksesan One Piece tak otomatis mewakili kesuksesan industri manga secara keseluruhan.

Menurut peringkat komik Oricon News yang dikutip Anime News Network, volume ke-90 One Piece mencetak angka penjualan fantastis pada periode penjualan 3-9 September lalu, yakni sebanyak 1,4 juta kopi di pekan kedua rilis. Edisi yang sama sukses bercokol di peringkat teratas Japanese Comic Ranking.

Angka penjualan tersebut terlihat mencolok ketika dibandingkan dengan komik yang menempati peringkat kedua, yakni volume ke-20 dari serial populer My Hero Academia yang terjual sebanyak 365.115 kopi, meski periode tersebut adalah pekan pertama penjualannya.

Saking populernya, volume ke-90 One Piece bahkan masih bertengger di daftar 50 besar ranking komik Oricon News hingga 10 pekan, pada periode penjualan 29 Oktober hingga 4 November 2018.

Menurut data dari Statista, One Piece memang menduduki peringkat pertama penjualan serial manga sepanjang masa dengan angka penjualan mencapai 440 juta eksemplar per bulan September.

Manga yang dibuat oleh mangaka Eiichiro Oda itu bahkan melampaui penjualan serial Dragon Ball yang ‘hanya’ mencapai angka penjualan 361 juta eksemplar dan hampir dua kali lipat melampaui angka penjualan serial manga ninja populer Naruto.

Rekor One Piece tidak hanya terletak pada angka penjualan. Komik yang pertama Dirilis pada 1997 sebagai cerita bersambung di majalah komik mingguan Weekly Shonen Jump ini bahkan pernah menerima penghargaan dari Guinness World Record pada 2015 sebagai serial buku komik dengan jumlah eksemplar terbanyak dan diterbitkan oleh penulis tunggal.

Dilansir dari Comic Book, dalam sebuah wawancara yang dimuat di sebuah media Jepang, Oda mengatakan pada Juli lalu bahwa kisah One Piece sudah 80 persen selesai. Ini jelas mengkhawatirkan, tidak hanya bagi para penggemar serial tersebut, namun juga bagi industri manga secara keseluruhan.

Pasalnya, industri manga saat ini benar-benar belum memiliki serial yang berpotensi menggantikan peran One Piece dalam mendongkrak penjualan secara keseluruhan. Namun, terlepas dari kesuksesan One Piece, tren penjualan manga memang suram dalam beberapa tahun terakhir.

Senjakala Manga?

Menurut laporan dari Research Institute for Publications, penjualan manga versi cetak dan elektronik pada 2017 mengalami penurunan sebesar 2,8 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 433 miliar yen.

Perkiraan jumlah penjualan seluruh komik cetak (buku komik dan majalah komik) mengalami penurunan sebesar 12,8 persen dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 258,3 miliar yen. Ini merupakan penurunan penjualan komik cetak selama 16 tahun berturut-turut.

Rinciannya adalah buku komik turun 14,4 persen menjadi 166,6 miliar yen dan majalah komik turun 9,7 persen menjadi 91,7 miliar yen.

Kendati demikian, penjualan buku komik elektronik tumbuh 17,2 persen menjadi 171,1 miliar yen. Ini pertama kalinya penjualan buku komik elektronik melampaui penjualan buku komik cetak. Secara keseluruhan, angka penjualan buku dan majalah komik elektronik tumbuh 17,2 persen menjadi 174,7 miliar yen.

Pada 2016, kondisinya tidak kalah suram. Total penjualan manga cetak dan elektronik hanya tumbuh 0,4 persen menjadi 445,4 miliar yen, masih menurut data dari Research Institute for Publications.

Dilansir dari Nikkei Asian Review, distributor komik Tohan mengatakan bahwa penjualan manga mereka sampai September 2017 turun hingga 18 persen. Penjual dan distributor buku Nippon Shuppan Hanbai juga melaporkan tingkat penjualan yang turun hingga 20 persen.

“Angka-angka ini sangat mengejutkan,” ujar Seniro Managing Director Nippon, Hirokazu Anzai.

Yang lebih mengkhawatirkan, situasi ini masih ditambah dengan maraknya pembajakan komik via internet yang semakin mengancam keberlangsungan industri. Menurut sejumlah penerbit, inilah penyebab suramnya industri manga dalam beberapa tahun terakhir.

Sayangnya, masih sulit untuk mendeteksi dan melacak operator dari situs-situs pembajak tersebut. Walhasil, butuh waktu lama untuk menutup situs-situs itu. Masih dari Nikkei Asian Review, untuk melacak server dari sebuah situs pembajak bernama Free Books, misalnya, dibutuhkan waktu selama tiga bulan. Free Books akhirnya ditutup pada Mei 2017.

Padahal, manga adalah ujung tombak sejumlah penerbit maupun distributor. Tohan, contohnya, mengklaim bahwa manga meraup porsi penjualan sebesar 19 persen dari keseluruhan toko-toko buku mereka.

Menurut laporan Japan Times, salah satu situs pembajak manga pada Maret 2018 lalu memiliki jumlah pengunjung mencapai 174 juta pengunjung. Angka ini melonjak dari sekitar 690.000 pengunjung pada September 2017, sebuah indikasi bahwa situs-situs pembajak ini semakin populer.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/14/industri-manga--mild--quita-01.jpg" width="860" alt="Infografik Industri Manga" /

Manga Japan, sebuah grup pencipta manga yang berbasis di Tokyo, menyatakan ketakutan bahwa situasi ini akan membunuh industri buku manga secara perlahan namun pasti.

“[Situs-situs pembajak] hanya mempedulikan uang. Mereka tak ambil pusing jika tindakan yang mereka ambil bakal memengaruhi masa depan kreator manga. Mereka bukan penggemar manga. Mereka hanya mengeksploitasinya,” kata Manga Japan.

Nikkei Asian Review melaporkan bahwa pembajakan oleh situs-situs online diperkirakan telah merugikan industri manga sekitar 400 juta hingga 500 juta yen dalam sebulan. berdasarkan keterangan Kementerian Ekonomi Jepang pada 2014 yang dikutip Japan Times, jumlah kerugian mencapai 50 miliar yen. Di Amerika Serikat, jumlah kerugian ini bahkan mencapai 1,3 triliun yen.

Pemerintah Jepang mengaku masih kewalahan menghadapi pembajakan. “Belum ada solusi definitif hingga saat ini,” ujar Orie Kishimoto, konselor untuk Pusat Strategi Kekayaan Intelektual dari Kantor Kabinet Jepang.

Pada Maret 2018, Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang telah meluncurkan kampanye bersama dengan Cina dan Korea Selatan untuk mendorong orang agar tidak mengakses situs-situs pembajak.

Kesulitan Cari Penerus

Masalah lainnya adalah ketiadaan serial baru yang potensial menyamai kesuksesan manga-manga populer seperti One Piece atau Naruto. Salah satu indikatornya adalah makin rendahnya penjualan majalah manga seperti mingguan populer Shonen Jump.

Sebagai catatan, selain serial One Piece, serial populer seperti Dragon Ball, Slam Dunk, dan Naruto termasuk dalam serial yang diterbitkan oleh majalah manga ini. Itulah sebabnya Shonen Jump masih jadi tolak ukur industri manga sampai hari ini.

Seperti yang dilaporkan Asahi Shinbun, selama ini Shonen Jump, mengandalkan seniman dan judul manga baru sebagai konten utama untuk menarik pembaca. “Kebijakan editorial itu tetap tidak berubah selama 50 tahun,” kata pemimpin redaksi Shonen Jump Hiroyuki Nakano.

Di sisi lain, strategi tersebut hanya akan menggerus penjualan. Menurut Asosiasi Penerbit Majalah Jepang (Japan Magazine Publishers Association), sirkulasi terakhir Shonen Jump hanya mencapai 1,76 juta eksemplar, turun 30 persen dari puncak sirkulasi majalah tersebut. Pada 1994, sirkulasi Shonen Jump mencapai puncaknya dengan 6,53 juta eksemplar.

Saat ini, serial One Piece masih jadi penopang judul-judul serial unggulan Shonen Jump. Dapat dibayangkan nasib suram majalah ini jika kelak cerita One Piece mencapai kata tamat dalam beberapa tahun ke depan.

Baca juga artikel terkait MANGA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf