Menuju konten utama

Seni Pengambilan Keputusan ala Sherlock Holmes

Sherlock Holmes adalah representasi dari konsep psikologi tentang berpikir dengan kesadaran penuh. Itu bisa dipelajari dan berguna dalam keseharian kita.

Seni Pengambilan Keputusan ala Sherlock Holmes
Ilustrasi berpikir ala Sherlock Holmes. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kisah petualangan duo Sherlock Holmes-John Watson sudah berusia 131 tahun. Sejak pertama kali terbit pada 1887, cerita Arthur Conan Doyle tak henti-hentinya memikat para pembaca. Pesona detektif yang ngekos di Jalan Baker nomor 221B, London, itu telah dianggit ke dalam puluhan film dan serial televisi.

Pesona terbesar Holmes adalah kemampuan observasi dan deduksinya yang tajam. Conan Doyle menggambarkannya sebagai orang hampir selalu bisa berpikir rasional dan objektif dalam segala situasi. Ia menjelma pemikir yang dingin, hampir menyerupai mesin.

Kualitas itu seakan tak terjamah orang biasa di dunia nyata. Namun, asumsi ini ditolak psikolog Maria Konnikova. Menurutnya, kemampuan Holmes adalah pengejawantahan konsep mindfulness alias “kesadaran penuh”.

Psikolog Ryan M. Niemiec, seperti dikutip laman Psychology Today, menjelaskan definisi umum mindfulness adalah fokus pada suatu objek dengan tujuan tertentu dan menghindari penilaian subjektif. Secara praktis, itu berarti keingintahuan yang besar, keterbukaan yang utuh, dan penerimaan yang jernih terhadap suatu objek.

Itulah dasar dari kualitas Sherlock Holmes yang sebenarnya bisa dipelajari dan digunakan dalam keseharian.

“Sherlock Holmes bukanlah psikolog. Ia bahkan bukan tokoh nyata. Namun, ia bisa jadi panduan mempelajari tentang bagaimana semestinya kita berpikir,” terang Maria Konnikova dalam artikelnya, “Sherlock Holmes, The Mindful Detective”, yang tayang di situs Scientific American.

Observasi adalah Kunci

Klien mereka, Mary Sutherland, baru saja pulang dan memberi kasus sepele tapi unik pada Sherlock Holmes. John Watson heran bagaimana Sherlock Holmes bisa tahu bahwa Mary adalah juru ketik yang menderita rabun dekat. Padahal keduanya baru pertama kali bertemu dan Holmes hanya memperhatikannya sebentar.

Si detektif konsultan meminta Watson memaparkan kesan dan apa saja yang ia lihat dari Mary. Watson merinci semua yang dilihat dari klien yang tunangannya menghilang secara tiba-tiba beberapa saat sebelum pemberkatan. Mulai dari segala yang dikenakannya, warnanya, juga kesan tentang si nona. Watson menyimpulkan: Penampilannya bak orang kaya, tapi gayanya santai, seenaknya, dan agak kampungan.

“Kau tampaknya memperoleh banyak hal dari penampilannya yang tak kelihatan olehku,” ujar John Watson kepada Holmes.

“Bukannya tak kelihatan, tapi kaulah yang tak memperhatikan, Watson,” kata Sherlock Holmes.

Holmes lantas menjelaskan deduksinya kepada Watson:

“Sebagaimana kau lihat wanita ini berhiaskan bulu di lengan bajunya, dan hal ini meninggalkan jejak yang penting. Ada dua lekukan agak di atas pergelangan tangannya. Ini jelas menunjukkan bahwa dia seorang juru ketik, karena di bagian itulah tangannya menelan meja. Seandainya dia sering menjahit dengan mesin jahit yang masih dijalankan dengan tangan, bisa juga timbul lekukan seperti itu, tapi hanya di tangan sebelah kiri dan agak lebih jauh dari ibu jari. Tapi itu tak terjadi. Aku lalu memperhatikan wajahnya, dan kulihat ada tanda bekas kacamata di hidungnya. Itulah sebabnya aku lalu berkesimpulan bahwa ia menderita rabun dekat, dan pekerjaannya mengetik.”

Petikan “A Case of Identity”, cerita yang terdapat dalam bunga rampai The Adventures of Sherlock Holmes (1891), menunjukkan perbedaan antara Holmes dan Watson—juga sebagian besar orang. Sementara yang lain hanya melihat sekilas, Holmes melatih dirinya untuk selalu mengobservasi.

“Holmes melatih dirinya sendiri untuk selalu melakukan observasi, hampir seperti manusia super [...] Dia tak pernah putus mengobservasi dan selalu menautkan diri dengan lingkungannya. Sebagian besar dari kita tak seteliti itu,” tulis Maria Konnikova yang meraih PhD di bidang psikologi di Columbia University.

Holmes hampir secara tepat merepresentasikan konsep kesadaran penuh. Seturut Niemiec, perhatian kita memang dapat diatur sesuai tujuan apa yang ingin dicapai. Tujuan spesifik itulah yang membedakan Holmes dan Watson.

“Pekerjaan saya memang mencari tahu tentang banyak hal. Saya mungkin telah terbiasa melihat hal-hal yang terlewatkan oleh orang lain. Itu sebabnya Anda datang meminta nasehat saya, kan?” ujar Holmes kepada Nona Sutherland yang juga keheranan oleh ketajaman deduksinya.

Berpikir Ala Sherlock Holmes

Menghindari Subjektifitas

Dalam konsep kesadaran penuh, sangat penting menghindari penilaian subjektif. Inilah pelajaran lain yang bisa dipetik dari Holmes. Prasangka bisa mengaburkan kesimpulan dan mendistraksi proses pengambilan keputusan.

Mengetahui apa yang mesti mesti dipertimbangkan dan apa yang patut diabaikan adalah keterampilan mendasar seorang pembuat keputusan yang hebat. Menjadi amat penting mengabaikan apa yang disebut distracters—segala hal yang tidak relevan tetapi dapat memengaruhi penilaian.

Distracter datang dalam banyak samaran: emosi dan kesan pribadi—meski kadang-kadang berguna, namun seringnya benar-benar tidak penting. Atau juga informasi tambahan yang tak signifikan tapi benar-benar memengaruhi keputusan kita. Misalnya, warna teks: kita mungkin memilih satu opsi di atas yang lain karena kebetulan berwarna biru, sementara yang lain memilih karena warnanya merah.

[...] Tetapi banyak dari kita yang membuat penilaian subjektif terus-menerus, membiarkan preferensi kecil, takhayul, ritual dan rutinitas menjauhkan kita dari apa yang seharusnya kita lihat,” tulis penulis buku Mastermind: How to Think Like Sherlock Holmes dalam “Lessons from Sherlock Holmes II: Cultivate What You Know to Optimize How You Decide” yang tayang di laman Big Think.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan