Menuju konten utama

Sengkarut Persoalan Izin Rumah Ibadah

Kasus pelarangan kebaktian umat Kristiani di Desa Cikahuripan adalah contoh dari peliknya perizinan di balik pendirian rumah ibadah.

Sengkarut Persoalan Izin Rumah Ibadah
Jemaat GKI Yasmin Bekasi dan HKBP Filadelfia Bogor mengikuti ibadah perayaan Natal di seberang Istana Merdeka, Jakarta (25/12/2016). ANTARA/Hafidz Mubarak

tirto.id - Di media sosial beredar sebuah foto yang menampilkan surat yang diterbitkan Pemerintah Desa Cikahuripan, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Surat bernomor 450/815/XII/2017 itu viral setelah diunggah ke Facebook oleh akun bernama Birgaldo Sinaga pada Senin (19/12) pukul 22.37.

Surat bertanggal 15 Desember 2017 tersebut berisi teguran kepada Simamora untuk tidak melakukan kebaktian agama Kristen di kediamannya yang terletak di perumahan Vila Cileungsi Asri 2. Alasannya, izin bangunan rumahnya bukan untuk tempat ibadah.

Tiga belas jam setelah diunggah, foto itu dibagikan (share) sebanyak 348 kali dan ada 1,6 ribu akun menyukai (like).

Prahara di Cikahuripan

Ecin sedang berada di Desa Cikahuripan saat Tirto menghubunginya via telepon, Selasa (19/12). Sebagai Sekretaris Desa Cikahuripan dia membenarkan surat tersebut.

Surat teguran bermula kala warga perumahan Vila Cileungsi Asri 2 menyusun laporan keluhan mengenai aktivitas peribadatan umat Kristen yang dilakukan di kediaman Simamora. Laporan disusun pada Rabu (13/12).

Laporan tersebut disampaikan kepada Kepala Desa Cikahuripan pada Jumat (15/12). Ecin menyebut ada sekitar 60 warga yang menandatangani. Pada hari itu juga, pejabat Desa Cikahuripan membuat surat teguran (persis seperti yang diunggah Birgaldo) dan menyampaikannya kepada Simamora.

“Bukan kita membeda-bedakan suku atau agama. Kita wajb melindungi. Dalam surat teguran itu, kita bukan melarang mereka beribadah, hanya tempatnya itu, rumahnya itu, bukan tempat untuk beribadah. Dalam aturannya itu, kan, rumah tempat tinggal,” ujar Ecin.

Perumahan Vila Cileungsi Asri 2 berjarak satu jam perjalanan kendaraan bermotor dari pusat pemerintahan Kabupaten Bogor yang terletak di Cibinong. Secara administrasif, perumahan tersebut mencakup dua rukun tetangga (RT), yakni RT 01 dan RT 02. Kedua RT tersebut masuk dalam wilayah RW 09.

Menurut keterangan yang diberikan Ketua RT 01 Mahpudin kepada Tirto, Simamora merupakan warga RT 01 dan menempati dua rumah. Salah satu rumahnya digunakan sebagai tempat peribadatan umat Kristen.

Mahpudin tidak menjelaskan kelompok atau sekte Kristen mana yang beribadah di sana, namun pendeta yang membina tempat ibadah itu bernama Raja. Mahpudin juga mengaku awalnya tidak terlalu mengamati aktivitas peribadatan yang berlangsung di rumah Simamora hingga ada beberapa warga yang mengeluhkannya.

Merasa tidak berwenang melarang atau mengizinkan, Mahpudin akhirnya mengarahkan warga untuk melapor kepada Kepala Desa Cikahuripan.

Dimasalahkan Karena Izin

Sehari setelah surat teguran dilayangkan, pada Sabtu (16/12) malam, perwakilan jemaat dan warga mengadakan musyawarah di kediaman Mahpudin. Di sana, para jemaat memohon supaya bisa tetap beribadah di rumah Simamora, mengingat perayaan Natal berlangsung kurang dari sepekan lagi.

“Sebagai ketua RT saya tidak punya kewenangan untuk mengizinkan. Akhirnya para tokoh masyarakat yang hadir pada saat itu membolehkan dengan syarat meminta izin ke seluruh warga yang ada di perumahan. Pak Raja, sebagai pembina atau pendeta, menyanggupi hal tersebut. Dia bilang akan menjumpai para warga,” Mahpudin mengingat musyawarah tersebut.

Menurut Mahpudin kasus ini hanya terkait soal perizinan. “Itu ada salah seorang warga yang bilang ke Pak Raja, ‘Kalau Bapak di sini mendapatkan izin tertulis, ada hitam di atas putih dari pemerintah, kalau ada yang mengganggu, saya yang akan bela,’ katanya begitu,” ujar Mahpudin.

Di Indonesia, pendirian rumah peribadatan diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006—dikenal dengan sebutan PBM. Isinya mengenai definisi rumah peribadatan dan persyaratan yang mesti dipenuhi sebelum rumah peribadatan didirikan.

“Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga,” sebut pasal 1 ayat 2 peraturan tersebut.

Selain harus memunuhi syarat administrasi dan teknis bangunan, izin warga sekitar juga mesti dikantongi pendiri rumah ibadah. Pasal 14 ayat 2 menyebutkan, pendirian rumah ibadah harus mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.

Di samping itu, pendiri rumah ibadah juga harus menyertakan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Daftar tersebut harus disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayahnya.

Mereka juga mesti mendapat rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten atau kota. Setelah semua perizinan selesai, panitia pembangunan rumah ibadah masih harus mengajukan permohonan kepada bupati atau walikota untuk memperoleh IMB.

Gaduh Gedung Ibadah

"Sekarang yang jadi masalah di Jatinegara. Itu gereja sudah 30 tahun memang tidak ada izin. Ya, sama kok, banyak sekali masjid tidak ada izinnya, kok. Banyak wihara, klenteng juga enggak punya izin. Kamu bisa temukan ratusan masjid yang tidak punya IMB."

Kalimat tersebut diucapkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Kompas pada Juli 2015 kala masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Itu diucapkannya guna menanggapi Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Jatinegara yang tidak memiliki IMB. Pemda DKI Jakarta pun akhirnya membongkar gereja tersebut.

Ahok menyatakan hanya menjalankan aturan, namun dia menyayangkan keberadaan PBM yang justru menyulitkan pendirian rumah ibadah. Pengurus GKPI Jatinegara sendiri mengakui kesulitan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

"Yang menjadi kesulitan adalah kita harus mengumpulkan enam puluh persetujuan warga di sini, kita sudah kumpulkan 71 namun yang divalidasi kelurahan hanya 34 jadi belum memenuhi syarat," ujar pengurus GKPI Jatinegara Winter Sigiro.

Pada kasus peribadatan di rumah Simamora, Pendeta Raja diarahkan untuk meminta izin ke seluruh warga perumahan Vila Cileungsi Asri 2 yang berjumlah sekitar 300 KK.

Selain dukungan dari masyarakat yang kurang, jumlah jemaat tidak selalu memenuhi 90 orang. Misalnya, menurut keterangan Ecin, jumlah jemaat yang beribadah di kediaman Simamora hanya berjumlah 50-an orang.

Infografik Kasus Tempat Ibadah

Perizinan yang Rentan Memicu Diskriminasi

Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (2015) yang disusun Wahid Foundation menyebutkan, sepanjang 2015 ada 53 kasus penyegelan tempat ibadah. Sebanyak 37 di antaranya dilakukan aktor negara seperti Satpol PP atau polisi dan 16 lainnya oleh aktor non-negara seperti organisasi masyarakat lokal.

Tidak hanya berujung pada penyegelan atau pembongkaran, ketiadaan izin juga bisa memicu kriminalisasi terhadap pegiat rumah ibadah.

Baca juga: Tersinggung Karena Patung

Pada Juni 2014, Pendeta Nico Lomboan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Sleman karena menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah tanpa izin. Dia dianggap melanggar Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, karena menggunakan rumah pribadi tidak sesuai izin pemanfaatan.

Menurut Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos, pendirian rumah ibadah adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan berkumpul yang merupakan hak setiap warga negara. Hak tersebut bahkan dijamin UUD Negara RI 1945 dan konvensi internasional.

"Menjadi problematik ketika hak setiap orang tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari orang lain," kata Bonar kepada Antara.

Di satu sisi, rumah ibadah yang telah mengantongi dukungan warga tempatan pun mesti menghadapi kendala lain: mendapatkan rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Baca juga: Menjamurnya Gereja-gereja Raksasa

Misalnya, kasus yang terjadi pada Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia yang rencananya didirikan di Desa Jejalen Jaya, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Pimpinan Jemaat HKBP Filadelfia Pendeta Palti H Panjaitan dalam “Kronologi Permasalahan HKBP Filadelfia Tambun Bekasi” menyatakan, pada 2008 HKBP Filadelfia telah mendapatkan persetujuan tertulis dari 259 warga tempatan.

Namun, hingga setahun berikutnya, baik Bupati, Departemen Agama, FKUB Kabupaten Bekasi, dan Camat Tambun Utara tidak kunjung memberi rekomendasi pendirian HKBP Filadelfia.

Puncaknya, ibadah Natal yang diadakan HKBP Filadelfia di tanah gereja pada 25 dan 27 Desember 2009 serta 3 Januari 2010 diprotes massa. Tidak sampai sebulan kemudian, pada 31 Januari 2010, Bupati Bekasi mengirim kabar buruk: kegiatan pembangunan dan ibadah di lokasi gereja HKBP Filadelfia mesti dihentikan. Hingga kini—setelah delapan tahun berlalu—pelarangan tersebut masih berlaku.

Pada 2016, HKPB Filadelfia bersama GKI Yasmin mengadakan ibadah Natal di depan Istana Negara sebagai bentuk protes.

Bonar, begitu juga Ahok, menyarankan agar dilakukan revisi terhadap PBM. Namun, sebelum ada revisi—yang tampaknya akan berjalan alot—pemerintah sebenarnya punya peran. Jalan tengah itu sudah diatur oleh peraturan.

PBM mengatur jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadah terpenuhi, tetapi syarat dukungan masyarakat setempat belum tercapai, maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

Baca juga artikel terkait NATAL 2017 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan