Menuju konten utama
Misbar

Sembunyik Gong: Petak Umpet di Tengah Karhutla

Pemilihan petak umpet sebagai salah satu device dalam film adalah sebentuk alegori yang mampu menjelaskan situasi umum lingkungan hidup dengan baik.

Sembunyik Gong: Petak Umpet di Tengah Karhutla
Petak Umpet. foto/Rian Apriansyah

tirto.id - Dalam satu dekade terakhir, khasanah film Indonesia cukup banyak diwarnai oleh karya-karya yang mengangkat realita krisis lingkungan hidup. Pemilihan narasi tersebut bukan tanpa sebab. Merujuk pada laporan Enviromental Performance Index (EPI) Tahun 2022, Indonesia menempati posisi 164 dari 180 negara yang menjadi objek survei mengenai isu keberlanjutan lingkungan. Bila ruang lingkupnya kita persempit menjadi kawasan ASEAN saja, maka Indonesia berada pada urutan kedelapan dari sepuluh negara. Fakta ini merupakan alarm darurat tentang betapa buruknya komitmen kita atas pemeliharaan lingkungan hidup.

Akar masalah lingkungan hidup di banyak daerah di Indonesia tidak jauh-jauh dari ihwal pembangunan yang senantiasa mendewakan dan mengejar pertumbuhan ekonomi dengan segala cara, termasuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan tata kelola lingkungan. Alhasil, para pembuat film generasi terkini tak kesusahan memotret berbagai problematika turunan yang hadir di sekeliling mereka seperti polusi udara, pengelolaan sampah plastik, ketersediaan air bersih yang menyusut akibat logam berat yang mencemari sungai-sungai, illegal fishing, kenaikan emisi karbon, dan lain sebagainya.

Film pendek milik Feranda Monica Aries berjudul Menenggelamkan Mata (2016) dan sempat tayang di 2017 Singapore International Film Festival misalnya, menyajikan kecemasan sepasang pemuda yang mendapati suara warga lokal dibungkam terkait dampak negatif wacana reklamasi pesisir pantai Kota Makassar. Ada pula film dokumenter berjudul 1880 MDPL (Riyan Sigit Wiranto dan Miko Saleh, 2016) yang mengetengahkan situasi dilematis berupa himpitan ekonomi yang dihadapi sekelompok petani kopi di Desa Merah Jemang, Kecamatan Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Kualitas tanah garapan para penduduk transmigran yang merosot dengan cepat membuat mereka tak punya pilihan selain membuka lahan baru di kawasan hutan lindung demi upaya bertahan hidup.

Karya berikutnya yang tak kalah penting dalam bingkai serupa adalah film pendek bertajuk Ngelimbang (Rian Apriansyah, 2015). Film ini mengangkat sebuah masalah sosial yang masih terhitung jarang terekspos di ruang publik: ihwal anak pekerja di area tambang. Walaupun dikemas dalam balutan narasi fiksi, penggambaran semesta ceritanya amat spesifik dan konkret sebab menyasar kawasan tambang timah di Pulau Bangka. Ngelimbang tak pelak menampilkan sebuah tragedi lokal yang menggambarkan kegagalan negara secara telanjang, baik dalam hal menyediakan jaminan perlindungan bagi anak dari segala bentuk eksploitasi maupun dalam upaya menurunkan tingkat disparitas kesejahteraan masyarakat.

Tahun ini, bersama komunitas sineas muda di Bangka, Rian kembali memproduksi sebuah film pendek yang masih konsisten membicarakan krisis lingkungan hidup serta berkonsentrasi pada figur anak-anak. Karya ini diberi nama Sembunyik Gong (Hide and Seek) dan bercerita tentang sekumpulan anak kecil yang sedang bermain petak umpet dengan riang gembira di sebuah rumah. Di tengah permainan tiba-tiba rumah itu dipenuhi kabut asap, lantas suasana berubah ganjil ketika anak-anak lain menghilang tanpa sebab, disusul kemunculan sesosok hitam misterius yang membawa kabur sesuatu dari dalam rumah, memaksa sang tokoh protagonis lari keluar mencarinya. Namun setibanya di halaman, si anak malah tersesat dan tertelan balutan asap yang entah dari mana sumbernya. Adegan tersebut kemudian mengalami transisi ke serangkaian footage tentang fenomena kebakaran hutan serta dampak destruktif yang dihasilkannya terhadap kualitas kesehatan seluruh warga setempat, terutama anak-anak.

Pemilihan petak umpet sebagai salah satu device dalam film adalah sebentuk alegori yang mampu menjelaskan situasi umum lingkungan hidup saat ini dengan baik. Petak umpet merupakan contoh permainan tradisional yang identik dengan anak-anak serta mulai dilupakan akibat perkembangan teknologi digital, tak ubahnya masa depan lingkungan yang terancam pudar bila upaya preservasi tak benar-benar serius dijalankan semua pemangku kepentingan.

Lebih lanjut, substansi narasi film yang bertumpu pada anak-anak terasa seperti bunyi gong yang keras mendera namun seketika lenyap dalam senyap kritik di ruang publik. Pernyataan implisit yang diajukan pembuat film pun cukup tajam, bahwa anak-anak adalah masa depan keluarganya, komunitas sosialnya, ekosistem kemasyarakatan, bangsanya, hingga negaranya. Bila kebakaran hutan nyaris setiap tahun merusak kesehatan anak-anak sedari dini, baik di area sumber utama kabut asap maupun wilayah-wilayah lain yang terdampak, maka di mana letak tanggung jawab negara menyikapi hal itu? Apakah pemerintah masih terus berpura-pura bermain petak umpet dengan entitas swasta yang disinyalir kuat membakar lahan, atau justru tampil kreatif mencari kambing hitam alternatif?

Infografik Misbar Sembunyik Gong

Infografik Misbar Sembunyik Gong. tirto.id/Ecun

Pada titik ini, aroma eksploitasi kembali menguar selaku tema yang kerap berulang dalam karya-karya Rian. Jika Ngelimbang menampilkan eksploitasi anak yang ‘bekerja lepas’ di kawasan pertambangan timah secara aktif, Sembunyik Gong menyuguhkan eksploitasi anak-anak kampung secara pasif tatkala satu per satu dari mereka. Alih-alih bersembunyi dalam permainan petak umpet, anak-anak malah menghilang akibat terpapar oleh kabut asap tebal yang menyerang secara mendadak.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bisa dibilang merupakan pemandangan lazim di Pulau Sumatera. Sepasang provinsi ‘langganan’ karhutla yaitu Provinsi Sumatera Selatan (data Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Sumsel per Agustus 2021 menyatakan peristiwa karhutla melanda sedikitnya 2.003 hektar) dan Provinsi Riau (data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau menyatakan luas wilayah karhutla pada 2021 mencapai 1.400,08 hektar). Kiriman asap yang sangat massif dari kedua provinsi tersebut bahkan telah berulangkali merangsek ke ruang udara milik negara tetangga seperti Malaysia maupun Singapura.

Sebagai putra asli Bangka, Rian tentu tak asing dengan konsekuensi yang timbul akibat karhutla yang berasal dari provinsi tetangga. Kampung halamannya termasuk dalam daftar daerah-daerah penerima kiriman asap dengan nilai kerugian fantastis, serta memicu krisis multidimensi berkepanjangan. Sebagai contoh, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau pernah menghitung estimasi kerugian materiil akibat kabut asap karhutla yang terjadi hingga beberapa bulan pada tahun 2019. Hasil kalkulasi mereka menunjukkan potensi nilai kerugian sanggup menyentuh angka 50 triliun rupiah serta menyebar pada beberapa sektor esensial: gangguan aktivitas pertanian, perdagangan, jasa, preservasi flora dan fauna, kuliner, perkebunan, sampai penundaan aktivitas penerbangan hingga berkali-kali. Itu baru dari Riau saja, lantas bagaimana dengan provinsi lain yang memiliki cakupan karhutla tak kalah luas seperti Kalimantan Barat atau Nusa Tenggara Barat?

Pada akhirnya, jika belum ada perubahan drastis terkait moda orientasi pembangunan di tingkat lokal, regional, hingga nasional, yang harus mulai memprioritaskan keberlanjutan lingkungan hidup, maka permainan petak umpet dan eksistensi suatu bangsa di banyak tempat akan punah tinggal sejarah, sebab tak ada lagi anak-anak setempat yang tersisa untuk menghidupi keduanya.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Lilin Rosa Santi