Menuju konten utama

Selamat Datang Playboy Tanpa Gambar Telanjang

Playboy akhirnya melakukan perubahan. Hasil perubahan itu, tidak ada lagi perempuan telanjang di Playboy. Ini sebuah upaya menuju era digital. Platform baru Playboy akan bisa diakses untuk pertama kalinya oleh para pelanggan digital via Apple dan Google

Selamat Datang Playboy Tanpa Gambar Telanjang
Tampilan Playboy yang diunduh dari Playstore [Foto/Playstore]

tirto.id - Playboy tanpa gambar telanjang dan bisa diakses secara digital? Era itu akhirnya akan tiba. Majalah khusus dewasa ini sejak tahun lalu menyiapkan lompatan untuk menuju era digital. Mereka memulai debut digital dengan memanfaatkan piranti iTunes dan Google Play Store.

Visi baru Playboy sudah diumumkan pada 2016. Jaringan distribusi Playboy akan dikembangkan dengan banyak cara, yaitu dengan platform media tradisional dan digital. Semuanya untuk meraih pembaca yang lebih banyak dan bertahan di belantara digital.

"Masuk di iTunes dan Google Play Store adalah tonggak penting bagi Playboy karena kami terus mengeksplorasi peluang demi memperkenalkan konten kami kepada pembaca baru di dunia," kata David Israel, chief operating officer dan chief financial officer dari Playboy Enterprises dikutip dari Antara.

Titik yang dipijak Playboy hari ini merupakan bagian dari sebuah proses yag sudah dijajaki sejak beberapa tahun lalu. Pada September 2015, Cory Jones, Direktur Konten Playboy, menghadap Hugh Hefner di Playboy Mansion. Jones mengenakan pakaian resmi, berdasi, dan berjas. Hefner, sang pendiri Playboy, menyambut Jones hanya dengan memakai piyama.

Di sebuah ruangan makan berdinding kayu, dengan lukisan Picasso dan de Krooning tergantung di dinding, Jones sangat deg-degan ketika menawarkan perubahan radikal: majalah Playboy, yang telah memimpin revolusi yang membawa seks dari sesuatu yang tabu menjadi tidak lagi abu-abu, harus berhenti menayangkan gambar-gambar perempuan telanjang.

Seiring perkembangan media digital, para eksekutif Playboy masih percaya bahwa hidup tanpa cinta adalah hidup yang tak layak dijalani. Tapi mereka juga mulai meyakini, cinta Playboy tidak identik dengan gambar telanjang. Masih ada sekian hal lain yang hakiki dan telah menjadi ikonik dan layak diperjuangkan dalam diri Playboy: brand, logo, budaya-tanding.

Seorang pejabat teras Playboy mengakui, Playboy telah ditaklukkan oleh perubahan yang mereka bikin sendiri. "Sekarang kamu hanya berjarak satu klik dari semua laku seksual yang bisa kamu bayangkan, dan semuanya gratis. Dalam situasi seperti ini, Playboy telah menjadi kudet."

Lantaran tidak ingin menjadi basi dan usang seperti pepatah tanpa-tanpa, mereka pun mulai berpikir untuk merangkul semua perubahan yang terjadi di zaman ini. Mereka mulai memikirkan bagaimana menarik perhatian pembaca dari generasi milenial. Sebagai bagian dari rencana redesain, mereka akan lebih banyak memperbaiki kualitas konten di internet. Seperti yang diusulkan Jones dengan gugup kepada Hefner: tidak ada lagi telanjang bulat.

Tak disangka, Hefner, yang sudah berumur 89 tahun dan masih menjabat sebagai pemimpin redaksi, ternyata setuju.

Bukan Hanya Perempuan Telanjang

Dalam sebuah episode acara Night Beat di tahun 1965, Mike Wallace muda mengucapkan selamat datang kepada penontonnya, dan mengumumkan bintang tamu mereka malam itu adalah Hugh Hefner. Kamera menyorot bayangan wajah Hefner yang seperti maling tertangkap basah. "Kita akan cari tahu apa sebenarnya motif dia bikin Playboy?" kata Wallace, "dan apakah benar atau tidak itu semua hanya kisah cabul belaka?"

Alih-alih menjadi acara bincang-bincang biasa, sesi itu kemudian menjadi perdebatan politik dan ideologi seksual dari dua ikon media Amerika. Wallace mencap Hefner sebagai tua-tua keladi yang mempromosikan pandangan ganjil tentang seksualitas. Hefner menggeleng-gelengkan kepala, nyengir, dan berkata bahwa ia "secara sadar menganggap" seks adalah "laku yang sehat."

Malam itu, Hefner dengan elok membungkam kritik Wallace yang menyebut Playboy oversexed. Hefner bilang, di antara banyak hal lainnya, Playboy bukan sekadar kecabulan. Majalah itu juga berisi, "kesusastraan dari para penulis hebat," katanya.

Lebih dari setengah abad kemudian, pendekatan Hefner mengenai seks menjadi budaya arus utama, dan pandangan konservatif Wallace menjadi sama kunonya dengan tayangan hitam-putih Night Beat.

Hefner benar, meski Playboy dikenal luas pertama-tama dan terutama karena piktorial telanjangnya, editorial yang mereka kembangkan sebenarnya sangat baik dan menjanjikan. Mereka menyajikan campuran laporan jurnalistik yang memikat dan mendalam, opini sosial-politik yang progresif, rubrik wawancara yang tidak biasa, dan cerita pendek dari para sastrawan kelas dunia. Beberapa nama sastrawan yang menulis untuk Playboy di antaranya: Jorge Luis Borges, Vladimir Nabokov, Gabriel Garcia Marquez, dan Haruki Murakami.

Di New York, karena bacaan berkualitas yang dihadirkannnya, seloroh mengenai Playboy jadi lelucon yang sangat terkenal. "Saya beli Playboy HANYA untuk membaca artikelnya."

Harus Berubah

Maret 2016, untuk pertama kali dalam sejarah Playboy meluncurkan edisi yang bebas-ketelanjangan. Perhatikan dengan seksama, bolak-balik halamannya, Anda tidak akan menemukan gambar wanita tanpa sehelai benang.

Sebagai gantinya, Anda akan melihat bagaimana Playboy sangat serius melakukan rebranding agar lebih bisa diterima generasi milenial. Yang paling mencolok adalah kovernya. Menampilkan Sarah McDaniel, seorang seleb-Instagram, dengan pose dan pesan selfie ala Snapchat. Terkesan sangat tidak serius dan monoton jika dibandingkan dengan foto-foto cover Playboy sebelumnya—yang menampilkan berbagai gaya yang terlihat elegan dan mewah.

Pergeseran ini, bagaimanapun, tak ada hubungannya dengan kemenangan kaum feminis atau pandangan konsevatif Mike Wallace. Semuanya harus dilakukan karena kesadaran para eksekutif Playboy bahwa dunia digital adalah masa depan.

Pada 1953, Hugh Hefner mengejutkan dunia dengan gambar telanjang Marilyn Monroe di sampul majalah yang ia dirikan. Majalah ini kemudian berkembang menjadi ikon seks generasi 60 hingga 90-an. Playboy tumbuh menjadi bisnis raksasa. Selain penjualan majalah, mereka juga merambah ke acara televisi yang mendatangkan jutaan dolar—tetap dengan gambar telanjang sebagai daya tarik utamanya.

Tapi hari ini, model bisnis yang dipelopori Hefner ini telah ditinggalkan banyak orang. Di internet, mereka meniru Hefner menjual ketelanjangan, tapi mereka tidak lagi menjualnya dengan harga mahal. Kebanyakan malah gratis. Anda tidak perlu lagi mencari Playboy untuk melihat perempuan telanjang. Hefner telah ditelan revolusi yang dicetuskannya sendiri.

Bagi pria yang berusia di atas 40 tahun, pernah memegang majalah Playboy adalah pengalaman yang hampir mistis dengan daya tarik terlarang. Tapi pengalaman itu terasa menggelikan sekarang, ketika kita hidup di dunia di mana porno begitu banyak tersedia di internet dan "gratis"—diproduksi oleh perusahaan-perusahaan "amatir", tidak seprofesional Playboy.

Seks itu menjual, tentu saja. Apalagi kalau gratis.

Pergeseran ini tidak pernah diprediksi Hefner sebelumnya. Keruntuhan ekonomi hiburan dewasa tidak hanya memengaruhi Playboy yang sirkulasinya terus menurun, industri pornografi juga limbung karena serbuan pornografi "amatir" dan rekaman seks artis yang bocor di internet.

"Iklim politik dan seksual 1953, tahun ketika Hugh Hefner memperkenalkan Playboy kepada dunia, hampir tidak ada kemiripannya dengan hari ini," kata Scott Flanders, CEO Playboy Enterprises .

Untungnya, Playboy tidak sepenuhnya tentang ketelanjangan. Lelucon bahwa kaum laki-laki "membeli Playboy untuk membaca artikelnya" itu tidak terlalu keliru. Salah satu nilai jual penting yang telah majalah ini ciptakan adalah kesusastraannya. Pembaca Playboy bukan hanya para pecinta payudara semlohay, melainkan juga karya sastra berkualitas.

Playboy tampaknya mulai memahami beberapa model bisnis digital yang berkembang dalam lima tahun terakhir: Uber, Airbnb dan Seamless, untuk menyebut beberapa nama, seperti Go-Jek dan Traveloka di Indonesia. Bisnis model baru ini telah mengeksploitasi dan berhasil mengisi kekosongan dan kelemahan bisnis model lama. Dan Playboy juga ingin mengembangkannya. Para eksekutif Playboy akhirnya menyadari, mereka perlu melakukan inovasi atau menjadi basi.

Langkah meninggalkan gambar telanjang adalah pilihan yang mereka ambil untuk berinovasi dan menyesuaikan diri dalam peradaban digital. Sebagai media, Playboy sadar betul peran media sosial untuk meningkatkan jumlah pembaca. Sementara media sosial yang menjadi sumber lalu lintas pembaca seperti Facebook, Twitter, dan Instagram adalah platform yang melarang ketelanjangan. Ini langkah yang masuk akal.

Sejak Agustus 2014, Playboy memulai eksperimen menghilangkan gambar telanjang dari situs mereka. Hasilnya cukup menggembirakan. Menurut Flanders, setelah mereka menyingkirkan ketelanjangan dari edisi online, usia rata-rata pengunjung situs mereka turun ke usia 30 dari usia 47, dengan traffic tumbuh empat kali lipat dari 4 juta ke 16 juta pengunjung bulanan.

Akankah rebranding ini mengangkat kembali pamor Playboy?

Meski beberapa perubahan online yang mereka buat dampaknya sudah cukup baik, tantangan untuk memperbaiki citra merek Playboy tampaknya bukan pekerjaan mudah. Membaca Playboy masihlah bukan sesuatu yang patut dibanggakan bagi banyak orang. Nyaris tidak ada yang memamerkan diri sedang membaca Playboy di kafe atau bus kota. Di Indonesia, beberapa operator bahkan memblokir situs Playboy karena dianggap menyebarkan pornografi saja.

Selain itu, jika Playboy berubah semata-mata berkonsentrasi pada jurnalisme sastrawi atau fotografi berseni, Playboy harus berhadapan dengan brand mapan seperti The New Yorker dan Vanity Fair (yang di edisi bulan Oktober menampilkan foto "glamor dan artistik" Kourtney Kardashian).

Ini adalah perjudian. Playboy masih perlu menemukan formula yang tepat untuk brand digital mereka. Namun pemanfaatan piranti iTunes dan Google Play Store bisa jadi jawaban dan ikhtiar mereka agar tak tetap "telanjang" di tengah persaingan era digital yang super ketat.

Baca juga artikel terkait PLAYBOY atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti