Menuju konten utama

Selamat Datang di Republik Rakyat Kalcit

Menjadi manusia di Kalcit adalah mengakrabi keberagaman: orang-orangnya, kelas sosialnya, dan pekerjaannya. Asing sekaligus dekat.

Selamat Datang di Republik Rakyat Kalcit
Lanskap bagian barat kompleks apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan (9/10/18). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - “So I live in downtown Kalcit,” kata dosen dan peneliti Hizkia Yosie Polimpung.

Malam itu kami mengelilingi area semi terbuka di belakang pintu masuk Kalibata City Square. Waktu sudah lewat jam 10 malam. Udara bercampur asap rokok dari orang-orang yang masih begadang di sejumlah kedai kopi yang mengepung kawasan ini. Orang-orang masih saja berbincang santai seolah-olah hari esok ialah akhir pekan dan mereka tak perlu memikirkan pekerjaan.

Saya dan Yosie duduk di sebuah sofa yang memungkinkan kami leluasa memandang sosok-sosok yang berlalu-lalang memasuki area pusat Kalcit—akronim Kalibata City, sebuah kompleks apartemen di Jakarta Selatan. Ada yang berwajah Timur Tengah, Afrika, Tionghoa, hingga Jawa. Ada yang mengenakan abaya, ada pula yang memakai baju tidur sambil menenteng kantong belanjaan.

“Di sini, area gedung Flamboyan dan Kemuning, nuansanya vibrant. Terasa orang-orang datang dari berbagai kelas sosial, suku, pekerjaan, hobi, selera fesyen, dan gaya hidup. Kalau di tower lain, orang-orang hanya living out their daily life,” ujar Yosie yang tinggal di menara Flamboyan.

Alasan Yosie memilih Kalcit sebagai tempat tinggalnya terdengar sederhana. Mudah mencari tempat makan, cuci baju, akses transportasi, dan harga terjangkau. Perpaduan beberapa hal itu, menurutnya, tidak ia temukan di apartemen lain di Jakarta. Ia pun rela berkorban untuk tinggal di dalam unit kamar dengan desain yang menurutnya tak layak ditinggali.

“Di sini saya bisa bertemu, berkenalan, dan membangun relasi dengan neuroscientist, konsultan, pekerja startup, seniman, hipnoterapis, dokter cantik, sampai menteri. Rata-rata terjadi tanpa disengaja. Bisa diawali dengan pertemuan dengan seorang teman di salah satu kafe di downtown, kemudian terhubung dengan orang-orang lain yang ternyata juga tinggal di sini,” kata pria yang sudah dua tahun tinggal di Kalcit.

Salah satu hal yang membuatnya kian betah adalah nuansa saat bulan puasa. “Tidak ada perubahan dibanding hari-hari biasanya. Mal tetap ramai. Wanita-wanita dengan baju terbuka tetap lalu-lalang di tempat yang sama dengan mereka yang memakai burka.”

Semula Pabrik Sepatu Bata

Apartemen Kalibata City semula adalah pabrik sepatu Bata. Seorang pedagang kaki lima, yang berjualan di pinggir apartemen, bercerita kepada saya bahwa dulu lokasi ini adalah tempat kerja ayahnya. Si pedagang tinggal di pinggir rel, beberapa langkah dari pabrik, pada 1973- 2016.

Pada 2008, manajemen Bata memutuskan untuk menjual pabrik. Alasannya, lokasi tidak kondusif karena dekat dengan permukiman warga. Ibnu Baskoro, saat itu direktur perseroan, berkata nilai jual pabrik mencapai lebih dari Rp100 miliar. Dana tersebut cukup untuk mengelola dan mengembangkan pabrik baru di Purwakarta, Jawa Barat.

Sekarang yang tersisa dari Bata hanya satu kios sepatu yang menempati fasad pertama kompleks apartemen, sebuah area yang jarang dilalui orang. Tak ada lagi sisa-sisa kebesaran dari perusahaan yang menempati kawasan belasan hektare sejak tahun 1940 itu.

Dalam empat kali saya ke gerai sepatu Bata dari sembilan kali saya ke Kalcit untuk liputan ini, toko tersebut selalu sepi. Dua penjaga toko lebih banyak termenung di dalam ruangan sambil mendengar lagu-lagu pop Indonesia tahun 1990-an. Mereka sulit menyembunyikan raut wajah kecewa ketika calon pembeli urung berbelanja setelah memegang barang dagangan. Harga barang yang lebih murah dari toko sepatu bermerek lain tak membuat toko itu lantas diminati pembeli.

Toko sepatu Bata itu, dengan kata lain, seakan menegaskan sekeping jejak sejarah Kalcit.

Penanda Proyek Gagal 'Program 1.000 Tower'

Gerai sepatu Bata berada di tengah kisah-kisah yang pernah muncul dalam proses pembangunan Kalcit. Salah satunya tentang penyegelan proyek Kalcit karena menyalahi peraturan tentang koefisien lantai bangunan. Ini istilah yang merujuk izin pendirian area komersial dalam rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersubsidi.

Sejarahnya, proyek Kalcit adalah bagian dari "Program 1.000 Tower" era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia adalah proyek pembangunan kompleks hunian bertingkat dengan harga terjangkau. Program ini tergolong gagal ketika krisis ekonomi global pada 2008 menghantam sektor properti. Dampaknya, harga material bangunan terkerek karena harga BBM meroket. Banyak pengembang swasta menarik diri.

Maka, apartemen yang semula untuk warga berpenghasilan rendah ini berubah peruntukannya bagi siapa saja, otomatis hanya orang berkocek tebal yang mampu membelinya. Merekalah yang kemudian menyewakan unit-unit apartemen bagi para pekerja kelas menengah, seperti Hizkia Yosie Polimpung.

Pada akhirnya, penyegelan itu bak bumbu dalam cerita perjalanan Kalcit.

Kini, Apartemen Kalcit memiliki 18 menara, dan tiap menara terdiri 21 lantai. Tiap lantai berisi sekitar 40-50-an unit. Bangunan terbagi tiga jenis: Kalibata Residence, Kalibata Regency, dan Green Palace. Kawasan yang disebut downtown, area yang paling padat, terletak di sekitar Kalibata Residence.

Pada masa awal pemasaran, unit terkecil dipasarkan dengan harga Rp80 juta-an. Unit dua kamar dijual di bawah angka Rp150 juta. Proyek yang dibangun oleh baron properti Agung Podomoro Group dan Synthesis Group ini seketika menjadi barang menggiurkan.

Ada pembeli yang tak ragu mengambil beberapa unit apartemen sekaligus. Kini unit bisa disewa per hari sampai per tahun. Ongkosnya Rp350.000 hingga Rp400.000 per hari untuk harga sewa satu unit apartemen dua kamar.

Para pengembang bukan hanya membangun rusun melainkan juga pusat perbelanjaan dan ruang publik lain yang bisa dimanfaatkan untuk sekolah, tempat ibadah, kafe, dan restoran. Fasilitas-fasilitas ini membuat Kalcit lebih cocok disebut kawasan superblok.

Pusat Bisnis

Di Kalcit, orang tak hanya berlomba mencari unit tempat tinggal. Ada pula calon pengusaha yang mengincar ruang untuk toko. Targetnya adalah daerah pusat Kalcit, kawasan di sekitar mal.

Melissa Olyvia, misalnya. Ia membeli satu unit kios pada 2011, sekitar setahun setelah ruang mal dipromosikan. “Saya sudah tidak bisa dapat lokasi yang cukup strategis karena penuh,” katanya.

Strategis versinya bukanlah area sekitar atrium. Yang ia maksud hanya area sisi kiri mal yang tata letak ruangnya menyerupai ITC, jaringan pusat ritel yang dikembangkan baron properti Sinar Mas Land. Di sana kios-kios yang dijual berukuran sekitar 3x4 meter persegi.

Akhirnya, Melissa dapat ruang paling ujung, titik yang sulit terjamah bagi seseorang yang tak berniat datang ke toko atau sekadar ingin mengetahui seluk beluk mal. Saat ini lingkungan toko itu bagai kawasan mati. Di satu lorong yang remang, hanya ada toko milik Melissa dan salon sulam alis di seberangnya. Itu pun belum lama. Sebelumnya, kios itu diisi pedagang ayam goreng yang menjajakan lewat bak warung kaki lima (di area ini pemandangan macam lumrah ditemui).

Melissa berkisah, selama delapan tahun terakhir, toko-toko di sekitarnya kerap berganti. Rata-rata hanya bertahan dua tahun. Setelah itu kosong atau berganti fungsi.

Melissa tak berniat pindah. Ia percaya pembeli bisa terus datang untuk mencari busana musim dingin yang ia jual dari harga Rp500 ribu sampai Rp3 juta. Dagangannya tampak kontras dari kios-kios lain yang rata-rata menjual pakaian terusan mini dan terbuka, kemben berbagai warna, atasan-atasan transparan, lingerie berbentuk seragam pelayan Perancis, dan kaus ketat yang panjangnya sampai ke bagian ulu hati.

Efek ramainya Kalcit pun dimanfaatkan oleh Stefi, dokter gigi berusia 25 tahun, untuk membuka klinik estetika gigi yang melayani veneer dan bleaching. Dua bulan lalu ia mulai memanfaatkan kios milik orangtuanya di lantai dasar salah satu unit apartemen. Ia tak menyangka bakal punya tugas baru. Para wanita datang dengan keluhan veneer rusak akibat pemasangan yang kurang tepat. Mereka terkejut melihat daftar harga veneer satu gigi yang mencapai Rp2,5 juta. Mungkin mereka tak paham bahwa di luar sana, harga yang dipatok bisa mencapai Rp5 juta.

Satu orang yang juga tampak bergairah di Kalcit adalah pemilik klinik kecantikan. Para wanita penghuni Kalcit ternyata punya minat melakukan tanam benang, filler, dan botoks. Klinik itutak ragu menawarkan high intensity focused ultrasound (Hifu), teknologi kecantikan yang bertujuan memperbaiki kontur wajah lewat pancaran gelombang.

“Di sini mayoritas perempuan. Dua tahun terakhir kami harus menambah unit supaya bisa melayani 10-25 tamu per hari,” kata Santi, tim pemasaran Rinanda Skin Care Center. Satu hal yang harus ia jaga adalah persepsi masyarakat tentang klinik.

“Kami pernah dianggap sebagai klinik plus-plus karena image kawasan ini, kan, begitu ya,” katanya.

Tempat Dakwah dan Pendidikan

Fathurohman masih mengingat reaksi seorang kawan saat mengetahui ia hendak pindah ke Jakarta untuk bekerja di Kalibata City. Kata kawannya, Kalcit adalah "kawasan yang gelap." Kawan-kawan lain pun sempat khawatir dan menyarankan Fathur, sapaan pria ini, datang ke Jakarta seorang diri tanpa membawa istri dan dua anaknya.

Mereka cemas bila anak-anak Fathur harus dibesarkan di Kalcit yang mereka anggap menyandang citra miring: prostitusi, narkoba, imigran gelap, dan aksi bunuh diri. Anggapan itu tak membuatnya gentar. Ia tetap datang bersama keluarga dari Semarang dan menjalankan tugas sebagai kepala sekolah Darul Quran (Daqu). Sekolah ini berbasis pendidikan agama Islam milik Ustaz Yusuf Mansyur.

Sekolah tersebut sudah berdiri selama lima tahun. Bangunannya menempati area utama Green Palace, yang dianggap penghuni di sana sebagai kawasan "elite" di Kalcit. Area ini cenderung tenang. Tidak seperti kawasan downtown yang ramai orang, restoran, dan mobil lalu-lalang. Darul Quran menempati unit Raffles, satu dari tujuh unit apartemen Green Palace.

“Saya ingin orang di sini tahu ada sekolah Daqu. Keberadaan kami saya rasa bisa mewarnai lingkungan sini,” katanya dengan aksen Tegal yang kental.

Fathur berupaya membantu misi pemilik yayasan dalam menciptakan apa yang dia sebut "generasi penghafal Alquran." Setiap hari, murid-murid Sekolah Dasar Daqu diminta untuk menghafal dan melafalkan ayat, diajarkan berpenampilan menutupi aurat, dan mengingat salat lima waktu.

Hal itu dilakukan sembari Fathur memikirkan cara menjaga keamanan anak-anak. Area apartemen yang terbuka memungkinkan siapa pun bisa berlalu-lalang di kawasan sekolah. Bila sedikit lengah, bisa saja ada pihak tak bertanggungjawab yang melakukan tindakan-tindakan buruk terhadap anak-anak, menurut Fathur.

Meski demikian, hal itu tak terlalu jadi kekhawatiran Eka Ubayanti, ketua paguyuban orangtua murid Daqu. Ia merasa aman menyekolahkan anak di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal. Tadinya Eka adalah penghuni Kalibata City. Gedung tempat tinggalnya bersebelahan dengan gedung sekolah. Kedekatan lokasi jadi faktor utama Eka dalam memilih sekolah anak. Dan ia punya keinginan kuat untuk membuat sekolah anaknya jadi dikenal dan terkesan kian bermutu.

“Di sini citra negatif lebih banyak dari sisi positifnya. Sekolah ini sebenarnya bisa mengubah citra itu. Kami merancang aktivitas-aktivitas seperti sedekah buku, menerbitkan buletin dengan konten dakwah, menyelenggarakan education fair. Semua agar Daqu dikenal lewat kompetensi para siswa,” katanya.

Ia tidak menampik ada rasa jengkel saat melihat anaknya yang harus memandang orang lalu-lalang dengan busana minim, yang tak sesuai ajaran sekolah. Sang anak kerap mengomentari hal itu. Di sisi lain, Eka mencoba bersyukur karena anak bisa melihat langsung hal-hal yang dilarang dalam buku teks.

Komentar-komentar serupa diungkapkan siswa iSeed, sebuah sekolah dasar dan taman bermain yang terletak di seberang Daqu. Anita, staf sekolah, kerap kali harus menanggapi komentar anak-anak itu.

“Untungnya tahun ini sudah berkurang. Di selasar depan sudah sepi orang lalu-lalang karena peraturan sudah diperketat. Tidak seperti dulu,” katanya.

iSeed adalah sekolah berbasis kurikulum Cambridge International, penyedia kurikulum internasional dengan ujian dan kualifikasi yang kini dipakai oleh 218 sekolah di Indonesia. Jiji Dela Cruz, pemilik yayasan, sengaja membangun sekolah di kawasan apartemen yang ramai.

“Saya merasa lingkungan ini potensial. Fasilitas yang ada di sini baik dan sesuai kebutuhan anak sekolah. Terlepas dari kabar negatif yang terdengar, setidaknya kami menyediakan hal yang dibutuhkan manusia yakni sarana pendidikan,” tutur Dela Cruz yang menilai lingkungan di sekitar sekolah cukup damai.

Kesan serupa juga didapat Lisa, salah satu orangtua murid iSeed yang juga penghuni apartemen Green Palace. “Orang-orang di luar bicara kesannya di sini tuh gimana banget. Padahal ya gini biasa aja. Aman, tenang. Saya malah lebih merasa aman tinggal di sini. Sebelumnya saya tinggal di Kemang dan potensi dirampoknya justru gede."

Infografik HL Indepth Kalcit

Bertemu di 'Downtown' Kalcit

Cecil Mariani, desainer grafis dan peneliti yang tak sengaja bertemu di Kalcit, mengungkapkan Kalcit "seperti pusat kebudayaan baru."

"Ada berbagai macam orang dan tempat yang coexist tapi oke-oke aja. Ruang-ruangnya bisa diakses tanpa memunculkan tendensi untuk menghakimi kelas sosial seseorang,” lanjutnya.

Cecil bukan warga Kalcit. Ia tinggal di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Dalam seminggu ia biasanya datang ke Kalcit empat kali untuk keperluan kerja, rapat, dan diskusi. Ia bisa menghabiskan setengah hari di sini.

Kami bertemu di Sama Dengan Coffee, salah satu kafe di downtown Kalcit yang hampir selalu ramai sepanjang hari. Beberapa penyebabnya mungkin karena tempat ini tampak kekinian. Terkesan artsy dan sejuk. Dindingnya diisi pelbagai ilustrasi, dan pot-pot tanaman tergantung di langit-langit. Tak bisa dipungkiri, duduk bersandar di pojok area semi terbuka sambil melihat lukisan dan tanaman, mendengarkan musik Curtis Mayfield dan rekan-rekan sezamannya sembari diterpa angin, memang terkesan menenangkan di tengah suasana Kalcit yang sumpek.

Sore itu Cecil memesan tiga jenis minuman. Es Cokelat. Es teh. Kopi panas. Ia butuh amunisi sambil menunggu waktu rapat yang masih empat jam lagi. Ia berkata beberapa kawannya yang tadinya tinggal di daerah pusat kini pindah ke Kalcit.

“Mungkin bisa dibilang tidak manusiawi. Kamar terlalu kecil dan tanpa jendela. Tapi harga miring rasanya jadi pertimbangan utama. Dan banyak tempat makan yang buka 24 jam. Saya rasa keragaman Kalcit terlihat dari tempat makan yang ada di sini. Mulai dari masakan Aceh, Lapo, Padang, Makassar, Manado,” katanya.

Saya juga bertemu Geger Riyanto, penulis, peneliti, dan dosen, yang tinggal di Depok tapi rutin ke Kalcit seminggu dua kali untuk olahraga basket bersama kawan-kawannya. Sembari menunggu waktu olahraga, ia biasanya menghabiskan waktu di kafe untuk bekerja atau berjumpa.

Saya bertemu dengan Geger di Upnormal, kedai kopi yang juga terletak di downtown Kalcit dan selalu ramai pengunjung. Saya datang lebih dulu dan punya waktu menunggu cukup lama. Para pengunjung bicara cukup kencang seolah memberi pilihan: ingin fokus mendengarkan musik atau menyimak obrolan.

Namun, seberapapun asyiknya lagu Cantaloupe Island-Herbie Hancock atau Desafinado- Antonio Carlos Jobim, yang diputar kafe saat itu, suara kencang perempuan rupanya tengah menginterupsi obrolan bisnis dua pria. Si perempuan itu menawarkan multi level marketing pil pencegah kanker prostat dan masalah ereksi.

Kali lain, obrolan saya dan Geger terpaksa terhenti karena perkelahian antara pengunjung pria di sebelah kami dan pelayan wanita. Mereka saling berteriak dan nyaris berkontak fisik.

“Ini baru lihat sekali yang seperti ini," ujar Geger, tak bisa menutupi keterkejutannya. "Ya, Kalcit memang terkesan semrawut dan padat. Sudah pasti ada hal yang dikorbankan dari harga yang terjangkau, yaitu kenyamanan."

Kenyamanan baginya kini lapangan basket area Green Palace. Tempatnya menemukan komunitas basket yang pendiri dan anggotanya adalah para aktivis dari pelbagai lembaga swadaya masyarakat, yang dekat dengan lingkaran pergaulan Geger. Belakangan, anggota komunitas berubah. Geger punya teman-teman baru dari latar belakang berbeda.

Saya mengingat obrolan saya dengan Hizkia Yosie Polimpung. Betapapun lingkungannya padat dan kamar-kamar unitnya kecil, tapi Yosie—yang jadi bagian dari rakyat Kalcit—memandang tempat ini "cocok menjadi creative hub."

Kalibata City bisa menghubungkan banyak pekerja kreatif yang memang tinggal di sini, ujar Yosie. "Selama ini pemerintah bicara tentang ekonomi kreatif tetapi terkesan tidak peduli dengan kondisi para pekerjanya. Yang diperhatikan hanya hasil kerja dan insentifnya. Pemerintah bisa saja beli area downtown Kalcit untuk tempat tinggal para pekerja kreatif."

"Tempat ini bisa jadi hub pekerja kreatif yang hakiki!” ujar Yosie tanpa ragu.

Baca juga artikel terkait KALIBATA CITY atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam