Menuju konten utama

Selamat Datang di Entikong: Jalur Padat Perdagangan Manusia

Dari kampung halaman, Anda berbekal impian penuh bisa mengangkat kemiskinan. Anda tahu terlambat telah terjebak pasar gelap TKI ilegal.

Sejumlah buruh migran Indonesia menunggu pendataan oleh petugas Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan TKI saat tiba di Pos Lintas Batas Negara Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Minggu (27/5/2018). ANTARA FOTO/Reza Novriandi

tirto.id - Kisah mereka adalah kisah perjalanan ribuan kilometer, terdorong oleh kesempatan yang terbatas dan sulitnya pekerjaan, yang membuat mereka harus menyeberangi pulau, mendarat di sebuah lokasi yang tak mereka ketahui, dan belakangan menyadari mereka telah ditipu dan menjadi korban dari rantai dan jaringan perdagangan manusia.

Pada pertengahan Juli lalu saya datang ke sebuah lokasi itu, persis di tepi batas wilayah Serawak, sebuah daerah bernama Entikong, Kalimantan Barat. Dari Cengkareng, Anda mendarat di Pontianak, lalu melanjutkan perjalanan selama 5 jam dengan mobil untuk sampai ke wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia tersebut.

Di sana saya bertemu dengan Budi, bukan nama sebenarnya, seorang warga Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia terpincut oleh cerita-cerita dari para tetangganya yang bekerja sebagai buruh migran yang mendapatkan gaji gede sehingga dengan cepat, dalam beberapa tahun, mampu membangun dan memoles rumah di kampung halaman.

Impian muluk itu mendorong tekad Budi mendaftar pada agen setempat. Tanpa banyak persiapan, beberapa hari kemudian, ia bersama enam orang lain berangkat menuju Malaysia melewati Pontianak, lalu menyeberang lewat jalur darat. Pria lulusan sekolah dasar ini tanpa sadar tengah dikadali. Ia menjadi satu dari seribuan "pekerja migran Indonesia ilegal" yang setiap hari jadi masalah para pegawai perbatasan kedua negara, bahkan dalam kasus-kasus terburuk memicu ketegangan nasional.

Budi dibawa oleh tekong, sebutan warga setempat untuk calo buruh migran ilegal.

Semula ia senang bisa berangkat ke Malaysia tanpa biaya di muka, dan boleh membayar saat mulai bekerja. Semua pengeluarannya sebelum tiba ke Malaysia ditanggung tekong.

Ia dan beberapa orang lain diantar dari satu tempat ke tempat lain oleh orang berbeda. Dari kampung ia dibawa seorang pria; setibanya di Pontianak, sudah ada pria lain yang menjemput mereka.

“Kami tidak kenal siapa orang-orang itu,” ujarnya, tanpa merasa curiga pada awalnya.

Rombongan Budi melakukan perjalanan darat sekitar enam jam bersama pria kedua menuju Segumun, sebuah desa di Kabupaten Sanggau, satu dari lima kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak. Sampai di sana, orang-orang yang mengendarai sepeda motor sigap membawa mereka menyeberangi perbatasan. Namun, ojek yang ditumpangi Budi tidak melewati jalan utama menuju tempat pemeriksaan imigrasi Pos Lintas Batas tradisional di desa tersebut, melainkan berbelok ke jalan kecil menerabas hutan.

Sekitar setengah jam kemudian, rombongan pencari kerja migran itu berhenti mendadak karena berpapasan dengan patroli petugas gabungan. Kejadian selanjutnya bisa ditebak: Budi diinterogasi, ditanyai kelengkapan dokumen, dan akhirnya digiring menuju kantor imigrasi setempat.

Budi gagal kerja di Malaysia. Ia harus bersiap kembali ke kampung halaman tanpa membawa modal untuk membangun rumah.

“Agen utamanya berada di Malaysia, jadi tak bisa ditangkap,” ujar Tri Hananda Reza, Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Entikong saat menjawab soal tantangan menghadapi buruh migran ilegal.

Reza mengatakan, untuk bisa bekerja di Malaysia, orang seperti Budi cukup membayar Rp3-7 juta kepada agen. Uang ini akan dibayar ketika tiba di Serawak. Para buruh migran ilegal jamak disalurkan untuk kerja-kerja kasar seperti buruh kebun, bangunan, dan pembantu rumah tangga, profesi yang ogah dikerjakan dan dipandang sebelah mata oleh warga Malaysia.

"Tapi, tenaga warga Indonesia dimanfaatkan oleh oknum," ujar Reja, sedikit menghela napas. "Karena minim kesempatan kerja di daerah asal."

src="//mmc.tirto.id/image/2018/07/27/01-pekerja-migran-ilegal--indepth--lugas_1.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Perbatasan" /

Nasib Buruh Migran Ilegal: Jadi Mainan Tekong, Ditipu Majikan

“Kami gunduli mereka (buruh migran bermasalah) ketika tiba di Indonesia. Kami hajar. Kami perlakukan seperti penjahat. Benar-benar tidak manusiawi."

Begitulah Eeng Suwendi, Wakil Kepala Kepolisian Sektor Entikong, menuturkan kembali caranya memperlakukan buruh migran ilegal dan bermasalah yang dideportasi ke Indonesia. Tapi, kejadian itu sudah puluhan tahun lalu, tepatnya pada 1986 saat pertama kali ia bertugas menjaga wilayah perbatasan.

Saat itu Pos Lintas Batas Negara Indonesia di Entikong belum dibangun, bentuknya masih palang kayu yang dijaga personel polisi dan tentara. Mereka menjulukinya sebagai "Pos Monyet."

“Dulu belum punya pemahaman yang benar," tambah Suwendi, "kami hanya tahu didikan keras menghadapi perang."

Sudah lama Entikong dijadikan salah satu jalur keluar-masuk buruh migran ilegal. Sebagai perlintasan darat terpadat di Indonesia, setiap hari PLBN Entikong menjadi jalur dari 1.000-1.500 pelintas. Dari jumlah itu, 1.000-1.200 orang adalah pelintas WNI, sementara sisanya adalah WNA. Meski pengawasan sudah lebih ketat dibandingkan zaman Pos Monyet, masih ada saja praktik tekong dan pekerja ilegal yang berusaha melewati perlintasan resmi kedua negara.

Nasib buruh migran ilegal tak hanya sial di negeri sendiri. Meski penyiksaan di masa Suwendi telah berlalu, mereka masih menerima kepahitan-kepahitan lain. Jika Suwendi menceritakan perlakuan buruk yang pernah negara ini berikan kepada para pekerja ilegal, kisah Viktor Fernando Parulian menggambarkan tipu licik tekong dan polisi Malaysia.

“Seringkali mereka kabur karena disiksa, berhari-hari berada di hutan, sulit membedakan wilayah Indonesia atau Malaysia, padahal sudah bertemu dengan petugas kita. Ada yang sampai terkena gangguan jiwa,” tutur Parulian, Koordinator Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Entikong.

Alur perjalanan buruh migran ilegal macam Budi bermula saat majikan di Malaysia butuh tenaga kerja. Lazimnya, si majikan akan mengontak tekong dari Indonesia, meminta buruh dalam jumlah besar untuk panen sawit atau proyek pengerjaan konstruksi. Setelah menerima pesanan, tekong mencari calon buruh migran Indonesia di daerah perdesaan, bahkan terpencil. Logika tekong, orang-orang ini, yang kebanyakan berpendidikan rendah dan tak terampil dan di daerahnya minim lapangan pekerjaan, mudah dibohongi.

Pada lima kabupaten di Kalimantan Barat terdapat peta jalur-jalur ilegal yang sering digunakan penyelundup barang dan pangan, yakni Kecamatan Sanggau, Sambas, Bengkayang, Sintang, dan Kapuas Hulu. Pada Kabupaten Sanggau, mencakup Kecamatan Entikong dan Sekayam, ada 12 jalur ilegal dari Malaysia ke Indonesia.

Peta yang memperlihatkan jalur-jalur ilegal itu diberi penanda warna, tampak biasa. Detailnya, para buruh migran ilegal harus melewati sedikitnya 20 desa yang tidak dikenali, melintasi jalan berbukit, jurang, dan hutan, demi menghindari petugas border dari Indonesia dan Malaysia.

"Saat menyeberangi perbatasan biasanya sore atau malam hari ketika border mau tutup. Jalur ilegal yang dipilih serupa dengan jalur barang,” ujar Parulian.

Bila berhasil melewati perbatasan, tekong menyerahkan para buruh migran ilegal itu kepada si majikan. Dari sinilah nasib mereka kembali dipertaruhkan. Tenaga mereka diperas; majikan mengabaikan hak-hak pekerja.

Malah, untuk menghindari kewajiban membayar upah, seringkali selepas panen atau proyek hampir selesai, si majikan menghubungi polisi Malaysia agar menangkap buruh Indonesia.

“Polisi sana lebih fokus mengusir pendatang haram. Mereka tidak urus majikan yang juga melanggar aturan,” ujar Viktor Parulian.

Kantong buruh migran di Kalimantan Barat kebanyakan dari kabupaten Kubu Raya, Sambas, Mempawah, dan Singkawang. Sebelum lebaran tahun ini, Malaysia telah mendeportasi 80 orang buruh migran Indonesia yang bermasalah. Dari jumlah itu, 14 orang adalah satu keluarga dari Singkawang. Mereka ditangkap sebelum sempat bekerja, dikurung selama dua minggu, dan dipulangkan karena hanya memiliki paspor tanpa dokumen pelengkap lainnya.

Pada Maret lalu, Eeng Suwendi memergoki tujuh migran yang bermasalah, semuanya dari Pulau Jawa, yang kabur karena menghindari razia di pos penampungan di Malaysia. Mereka bertahan dua hari di tengah hutan untuk menyeberangi perbatasan tanpa membawa sehelai pakaian ganti, tanpa uang.

Sebagai buruh migran ilegal, tentu saja mereka tak mengantongi izin kerja. Masalah ini jadi penyumbang terbesar dalam kasus-kasus deportasi, sekitar 60 persen. Tiga puluh persen lain masalah seputar dokumen keimigrasian seperti paspor dan visa; sisanya perkara kriminal, sakit, atau meninggal dunia.

Pos Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan TKI di Entikong menyebut hingga Juni 2018 sudah ada 1.300-an buruh migran "bermasalah" yang dideportasi. Kantor Imigrasi Entikong menyebut kebanyakan buruh migran ini berasal dari Kalimantan Barat, lalu Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah.

“Nah, kalau sudah begitu bagaimana mau kami proses? Kami tidak tega karena saudara sendiri," ujar Suwendi. "Bisa selamat dan tidak tertangkap polisi Malaysia saja sudah syukur."

Suwendi mengatakan sikap polisi setempat terhadap "saudara sendiri" yang bermasalah telah berubah. Sekarang, ujarnya, paling banter hanya meminta surat perjanjian agar mereka tak mengulangi perbuatan tersebut.

Pemerintah Indonesia, termasuk kantor penempatan TKI di Entikong, sebetulnya terus berupaya mengatasi modus dan rantai jaringan perdagangan manusia di wilayahnya.

Viktor Paulian mengatakan pihaknya melakukan negosiasi dengan para tekong supaya menjadi agen legal yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja setempat. Tujuannya, agar mudah mengawasi praktik jasa penyalur buruh migran, sembari mengulik modus-modus pasar gelap penyelundupan manusia. Tetapi, ujar Paulian, upaya ini macet; banyak tekong yang menolak.

Mereka yang mau bekerjasama pun sulit membantu mengungkap para agen besar. Sebabnya, penyelundupan manusia punya skema seperti penyelundupan narkoba: putus kurir. Pengirim dan penerima dari satu tempat ke tempat lain dilakukan oleh orang yang berbeda dan tak saling mengenal.

Tapi, masalah paling pokok yang diakui Viktor adalah ketidakmampuan pemerintah kita membuka lapangan pekerjaan bagi warga yang minim pendidikan dan keahlian.

"Selama itu belum beres," ujarnya, "masyarakat miskin di perdesaan dan daerah terpencil selalu jadi sasaran empuk calo-calo nakal."

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN MANUSIA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam
-->