Menuju konten utama

Selama Ada Terasi dan Sambal, Indonesia Akan Baik-Baik Saja

Meski ada anggapan bahwa terasi adalah bahan makanan untuk kelas rendah, di Indonesia ia dikonsumsi oleh warga lintas-kelas. Bagi banyak orang Indonesia, selama ada sambal (terasi), beratnya rutinitas sehari-hari bisa tertanggungkan.

Selama Ada Terasi dan Sambal, Indonesia Akan Baik-Baik Saja
Pembuatan terasi di Karawang, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Saat dunia seperti dibakar perlahan, orang yang kamu kenal baik mendadak berubah jadi bigot, saudara-saudaramu yang dulunya manis kemudian jadi sangar dan gemar mengkafirkan saudara lain, mungkin hal yang terbaik yang bisa kamu lakukan adalah: pergi ke dapur, ambil cobek, sisihkan tomat, cabai, gula, garam, dan tentu saja terasi.

Ada beberapa petuah yang diajarkan ibumu saat kau ingin belajar membuat sambal yang enak. Sambal yang bisa membuatmu lupa perihal politik dan segala urusan yang tak mengenakkan.

"Kamu mau sambal mentah atau sambal matang? Kalau mentah, langsung saja diulek. Kalau sambal matang, lebih enak kalau tomat dan cabainya digoreng terlebih dulu. Lebih enak lagi kalau digorengnya pakai minyak jelantah."

"Kalau mau sedikit lebih kaya rasa, boleh tambahkan bawang putih dan bawang merah yang sudah digoreng hingga layu."

Dan tentu yang paling kamu ingat adalah perihal terasi.

"Kalau kamu ingin sambalmu jadi lebih aromatik, jangan lupa bakar terasimu hingga wanginya menguar di udara. Kalau tekstur terasimu rapuh, tentu lebih enak kalau digongso dengan sedikit minyak."

Pertama kali masuk dapur waktu umur belum menginjak 10 tahun, mungkin kamu akan merasa aneh sekaligus heran. Bagaimana mungkin ada bongkahan, atau remahan, benda berwarna cokelat tua yang berbau demikian tajam; tapi ketika dibakar sedikit, aromanya begitu menghipnotis. Ia begitu cocok ketika dipadukan dengan tomat dan cabai. Untuk ukuran garam dan gula, tangan ibumu tak pernah salah.

"Kalau sudah biasa, tak perlu pakai alat ukur. Pakai perasaan, sudah pasti enak," kata ibumu yang sudah memasak sejak usianya baru 7 tahun.

Siang itu, ibumu memasak makanan sederhana untuk keluarga. Sepiring tempe goreng, telur dadar yang diberi banyak daun bawang dan cabai, perkedel, sop ayam, dan secobek sambal terasi. Cuaca sedang panas di luar. Matahari di bulan Maret memang lebih garang ketimbang biasanya. Kamu mengambil secentong nasi, menyiramnya dengan kuah sop, mengambil beberapa ceker ayam, tempe goreng, telur dadar, dan dua sendok besar sambal terasi favoritmu.

Melihat makanan kesukaan di hadapanmu, mendadak kamu ingat ayahmu. Kalau ibu mengajarkan cara masak dan membuat sambal enak, maka ayahmu yang seringkali mengajarkan adab maupun apa-apa soal makanan enak. Misalkan suatu ketika dia bersabda, "Bagian paling enak dari ayam itu brutu. Yang paling gurih kalau digoreng adalah sayap dan paha. Sedangkan yang paling tawar dan nyaris tak memberikan kebahagiaan adalah bagian dadanya."

Kamu tentu saja cukup mengangguk dan membawa nilai itu hingga kau mati kelak. Kemudian kau belajar kebijaksanaan lain yang nyaris serupa. Bagian paling enak dari sapi itu bukanlah sandung lamur, has dalam, tanjung, ganding, samcan, ataupun lemusir. Melainkan buntut, otak, dan paru. Titik.

Suatu kali ayahmu bilang: makan itu sama saja dengan minum wine. Bagaimana bisa, tanyamu. Apalagi kamu tak pernah melihat ayahmu minum wine, kecuali anggur kolesom bergambar bapak tua dengan janggut putih yang ia simpan di rak lemari pendingin. Kamu tahu kalau ayahmu hanya berkelakar sembari mengombinasikannya dengan pengetahuan perihal boga yang dia baca atau dengar. Tapi lalu kau paham kalau ayahmu serius, saat ia menatap matamu ketika berbicara.

"Kamu harus menggunakan semua indera untuk menikmati makanan. Kuping untuk mendengarkan bunyi cabai digoreng, bawang ditumis, atau ketika ulekan menumbuk cobek. Setelah sambal matang, kau tengok warnanya pakai matamu," katanya memberi pengandaian.

"Kalau terlalu merah, artinya sambal itu bisa terlalu banyak tomat atau terlalu banyak cabai dan kurang terasi. Kalau warnanya cokelat, terlalu banyak terasi. Bisa pahit dan bikin kamu misuh-misuh. Warnanya harus seimbang, perpaduan antara merah dan cokelat."

Kau manggut-manggut sembari menantikan petuah berikutnya.

"Setelah itu kau hirup wanginya dulu. Biarkan aroma itu masuk ke hidungmu. Hirup hingga bintik-bintik di kepalamu seolah ngaceng, memberikan sensasi kesemutan di kepala," katanya.

"Biar apa?"

"Anak pekok. Ya itu tandanya otakmu sudah menerima wangi dari pedasnya sambal. Semacam pemanasan sebelum lidahmu merasakan makanan."

Kamu tentu lagi-lagi hanya mengangguk dan kemudian mengingatnya hingga belasan tahun kemudian. Meski ayahmu sudah lama meninggal dan kuburannya harus disiangi tiap beberapa bulan sekali. Tapi cara makan sambal seperti itu tak pernah kamu tinggalkan.

"Kunci untuk membuat sambal terasi ya tentu terasinya," kata ayahmu lagi.

Ia terus berbicara. Katanya, terasi yang bagus adalah yang berwarna gelap atau hitam kecokelatan. Di Jawa Timur, terasi yang baik berwarna cokelat tua, atau kadang ada pula yang kehitaman.

"Kalau kamu ketemu terasi yang warnanya merah mencolok, jangan dibeli. Biasanya itu pakai pewarna." Lalu teksturnya, kata ayahmu, tidak keras tapi tidak juga rapuh. Jangan lupa pakai hidungmu untuk membaui terasi itu. Aroma yang kuat adalah ciri khas terasi yang baik, asal tak berbau tengik.

Petuah ayahmu itu sedikit banyak benar. Belakangan, kamu mendapat banyak informasi soal terasi dari makalah berjudul "On the Origins, Diffusion and Cultural Context of Fermented Fish Products in Southeast Asia yang ditulis Kenneth Ruddle dan Naomichi Ishige." Makalah ini menjelaskan kalau bahan makanan berbasis fermentasi ikan dan udang ini amat jamak ditemui di kawasan Asia.

"Di kawasan Asia timur, orang-orangnya mengonsumsi nasi dalam jumlah banyak sebagai sumber energi yang murah. Maka pelengkap yang vital adalah lauk dengan cita rasa asin, atau kondimen yang melengkapi nasi," tulis mereka. Hasil fermentasi ikan atau udang cocok sebagai kondimen, karena harganya murah, mudah dibuat, mempunyai umur pakai yang panjang, dan mempunyai cita rasa gurih.

Dari makalah itu, setidaknya ada 10 negara yang mempunyai terasi dengan beragam cara pembuatan maupun cita rasa. Di Indonesia tentu saja ada terasi, baik yang dibuat dari ikan ataupun udang, atau campuran keduanya. Warga Bangladesh mengenal nappi. Kamboja punya kapi. Cina punya xia jiang.

Menurut buku Feeding the Dragon: A Culinary Travelogue Through China with Recipes, xia jiang adalah "saus berwarna perpaduan merah muda dan abu-abu yang dibuat dari fermentasi udang dan garam. Ia punya aroma yang amat kuat, dan rasa yang tajam. Saat digunakan pada masakan, bau dan aromanya menghilang, digantikan oleh rasa makanan yang lebih kaya."

Di Korea, mereka mengenal sae woo jeot (saeujeot). Orang Melayu di Malaysia dan Singapura memakai istilah belacan. Istilah ini juga dipakai di Indonesia. Di Myanmar ada ngapi seinsa. Filipina punya bagoong alamang. Di Thailand ada kapi. Di Vietnam ada mam ruoc dan mam tom.

Terasi di berbagai negara mempunyai cara pembuatan dan bahan yang berbeda. Di Jepang, fermentasi udang atau hewan laut kecil lain, dinamakan shiokara. Bentuknya lebih mirip petis di Indonesia, yakni pasta. Dikonsumsinya biasa dicampur dengan air untuk dijadikan kaldu atau cocolan. Hasil fermentasi serupa bisa ditemui di kawasan Kamboja, laos, beberapa daerah di Filipina (daerah Luzon dan Visaya), Korea, juga bagian bawah Myanmar.

Sedangkan di kawasan seperti Bangladesh, Myanmar, Indonesia, juga Filipina, terasi digolongkan sebagai pasta udang setengah solid. Agar bisa dibentuk, maka kadar airnya harus dihilangkan dengan cara dijemur. Dan karena itu, terasi punya rasa yang amat kuat.

Terasi menjadi penting bagi warga Asia karena ia menjadi kawan makan yang baik. Rasanya yang gurih bisa menjadi penggugah selera makan. Terasi juga amat penting bagi "warga yang secara ekonomi kurang mampu, yang mengonsumsinya dalam jumlah besar."

Menurut Kenneth dan Naomichi, seiring berkembangnya tingkat ekonomi, terasi tradisional perlahan digantikan oleh produk pabrikan yang lebih mudah didapat. Di Indonesia, pendapat itu masih perlu penelitian lebih lanjut. Sebab di daerah, pengusaha terasi tradisional masih bisa bertahan. Di beberapa daerah seperti Bangka atau Lombok, terasi malah dijadikan buah tangan karena kualitasnya yang premium.

Yang pasti, menurut penelitian MARS Indonesia, bisnis terasi adalah bisnis yang menggiurkan. Nilainya meningkat rata-rata 26,7 persen per tahun. Pada 2008, nilai bisnis terasi ini adalah Rp220,8 miliar. Pada 2013, nilainya mencapai Rp714,1 miliar.

Infografik Terasi

Terasi yang menurut Kenneth dan Naomichi adalah makanan khas warga ekonomi kelas rendah, dikonsumsi oleh warga lintas kelas di Indonesia. Tentu untuk kelas menengah, mereka nyaris tak akan mencari terasi tradisional. Kesempatan ini tentu dicium oleh banyak perusahaan besar. Perusahaan ABC yang selama ini dikenal sebagai produsen saus sambal botolan, membuat terasi dalam kemasan. Menurut MARS, mereka adalah penguasa pasar terasi di Indonesia dengan meraih 27 persen dari total nilai pasar terasi. Nama lain yang kuat di pasar terasi adalah Mamasuka dan Samhok.

Jika di banyak negara maju terasi adalah makanan kelas bawah, di Indonesia terasi adalah bahan makanan penting. Terutama untuk sambal. Sayur tak akan enak jika tanpa garam, sambal pun akan terasa kurang lengkap kalau tak ada terasi. Maka wajar belaka, walau tingkat perekonomian Indonesia terus meningkat, terasi masih tetap akan jadi bahan makanan vital. Terasi dalam sambal adalah juru selamat, yang membuatmu lupa masalah-masalah berat dalam hidup.

Lalu kamu ingat kalau siang itu, di bulan Maret yang gerah, kamu menghadap sebongkah nasi yang sudah basah dibanjiri kuah sop, tempe goreng yang masih hangat, telur dadar penuh bawang dan cacahan cabai, serta sambal terasi yang anggun. Mendadak kamu ingat petuah ayahmu yang sudah meninggal 7 tahun lalu.

Kau lihat warnanya: seimbang. Kombinasi anggun dari merah cabai yang galak dan cokelat teras yang anggun dan misterius. Kau hirup wanginya. Lalu terasa ada yang meremang di kepalamu. Mendadak keringat sedikit keluar. Kamu yakin ini waktunya. Kamu membuka mulut dan menyuapkan sesendok makanan.

Kamu tersenyum. Bahagia. Mendadak dunia jadi terasa baik-baik saja.

Baca juga artikel terkait MASAKAN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani