Menuju konten utama

Selalu Ada Jatah Menteri Bagi yang Tak Betah Jadi Oposisi

Sepanjang sejarah politik Indonesia pasca-Reformasi, presiden selalu mau merangkul oposisinya.

Selalu Ada Jatah Menteri Bagi yang Tak Betah Jadi Oposisi
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) sebelum memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (6/3/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Gelagat Demokrat, PKS, dan PAN menunjukkan mereka tidak lagi betah berada di koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga usai hasil hitung cepat menyatakan Jokowi-Ma'ruf memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Akhir April 2019, Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN Bara Hasibuan mengatakan partainya membuka peluang merapat ke Jokowi-Ma'ruf. Awal Mei 2019, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengharamkan penggunaan #2019GantiPresiden, salah satu tagar utama kampanye Prabowo-Sandiaga. Sedangkan Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menemui Jokowi di Istana Negara.

Memang tidak ada koalisi partai di Indonesia yang abadi. Partai pengusung Prabowo-Hatta, pasangan calon (paslon) yang kalah di Pilpres 2014, adalah bukti gamblangnya. Usai pemenang Pilpres 2014 diumumkan, mereka mendeklarasikan diri sebagai koalisi permanen. Namun, dalam waktu beberapa tahun satu per satu partai tersebut berubah haluan mendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Bukan sesuatu yang mengejutkan jika Demokrat, PAN, dan PKS pada akhirnya berbalik arah.

Merangkul Lawan adalah Biasa

Di Pilpres 2004, Golkar dan PPP mengusung paslon yang pada akhirnya kalah di putaran pertama. Golkar mengusung Wiranto-Salahuddin, sedangkan PPP mengusung Hamzah-Agum. Setelah itu keduanya mengalihkan dukungan kepada Megawati-Hasyim yang ujungnya juga keok di putaran kedua oleh SBY-JK.

Ketua Umum (Ketum) PPP Hamzah Haz dan Ketum Golkar Akbar Tandjung menolak masuk koalisi partai pendukung pemerintahan SBY-JK. Namun, JK sendiri merupakan kader Golkar. Mulanya dia ikut konvensi capres Golkar. Namun, saudagar berdarah Bugis itu mundur dari konvensi dan menjadi cawapres SBY. Politikus-politikus Golkar dan PPP, yang menunjukkan dukungannya kepada SBY atau JK, turut dapat jatah di kabinet susunan SBY-JK.

Dari PPP, ada Bachtiar Chamsyah (menteri sosial) dan Suryadharma Ali (menteri koperasi dan usaha kecil dan menengah). Dari Golkar, ada Aburizal Bakrie (menko perekonomian; lalu kesra), Fahmi Idris (menteri tenaga kerja dan transmigrasi), Rachmat Witoelar (menteri lingkungan hidup), dan Paskah Suzetta (menteri negara perencanaan pembangunan nasional).

Sepanjang lima tahun pemerintahan SBY-JK, lanskap politik internal partai juga berubah. JK terpilih sebagai Ketum Golkar pada 2004 dan Suryadharma Ali sebagai Ketum PPP pada 2007. Sedangkan Wiranto dan Prabowo Subianto, dua kader Golkar, mendirikan partai baru, masing-masing Hanura dan Gerindra.

Golkar bersama Hanura mengusung JK-Wiranto di Pilpres 2009. Sedangkan PDIP dan Gerindra mengusung Megawati-Prabowo. Dua paslon ini kalah oleh petahana, SBY-Boediono, yang diusung lima partai.

Tanpa ada perdebatan panjang, Golkar mengalihkan dukungannya untuk pemerintahan SBY-Boediono. Beberapa kadernya pun dapat posisi menteri: Agung Laksono (menko kesra), Muhammad Sulaeman Hidayat (menteri perindustrian), serta Fadel Muhammad dan Sharif Cicip Sutarjo (menteri kelautan dan perikanan).

Selama sepuluh tahun SBY menjabat presiden, PDIP menempatkan diri sebagai oposisi, walaupun sejumlah kadernya ingin merapat dan SBY pun mengajak PDIP bergabung mendukung pemerintahannya. Hanura dan Gerindra mengikuti jejak PDIP sebagai oposisi di periode kedua pemerintahan presiden SBY. Walhasil, tiga partai ini tidak dapat jatah menteri kala presiden dijabat SBY.

Berebut Jatah Jokowi ala Golkar, PPP, dan PAN

Dan Slater menuliskan dalam “Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition” (2018) bahwa SBY menjalankan permainan politik reciprocity (timbal balik) dalam menyusun kabinet berjuluk Indonesia Bersatu tersebut: menawarkan pembagian kuasa kepada semua partai, termasuk yang beroposisi dengannya. Permainan politik ini berkebalikan dengan victory (kemenangan), yakni ketika presiden membagikan kuasa kepada partai pengusungnya saja.

Menurut peneliti politik Indonesia yang berkantor di University of Michigan itu, SBY justru melancarkan permainan-politik victory saat membentuk pemerintahan periode keduanya.

Pola victory juga dimainkan Jokowi saat menghimpun Kabinet Kerja usai memenangkan Pilpres 2014. Sebelum mengalami perombakan, hanya satu politikus PPP yang menjadi menteri, Lukman Hakim Saifuddin (menteri agama), disamping JK yang juga politikus Golkar. Baik PPP dan Golkar merupakan partai pengusung Prabowo-Hatta, lawan Jokowi-JK di Pilpres 2014.

Infografik Jatah Bagi Oposisi

Infografik Jatah Bagi Oposisi

Namun, kader partai pengusung Prabowo-Hatta yang sempat mendeklarasikan koalisi permanen berangsung-angsur masuk Kabinet Kerja Jokowi-JK seiring berubahnya kebijakan internal partai setelah kepemimpinan partai dipegang para pendukung Jokowi atau JK.

Pada tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK, Golkar, PPP, dan PAN telah menyatakan keluar dari koalisi oposisi dan menjadi pendukung pemerintahnya. Politikus ketiga partai pun berbondong-bondong masuk Kabinet Kerja. Dari Golkar, ada Luhut Binsar Panjaitan (sekarang menko kemaritiman), Airlangga Hartarto (menteri perindustrian), Idrus Marham dan Agus Gumiwang Kartasasmita (menteri sosial). Dari PAN, ada Asman Abnur (menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi). Dari PPP, Lukman masih menjadi menteri agama.

"Dengan perombakan kabinet yang ditunggu-tunggu pada Juli 2016, Jokowi bergeser dari bermain victory murni ke permainan campuran antara reciprocity untuk memutuskan siapa yang masuk dan victory untuk menentukan siapa mendapatkan apa," sebut Slater.

Sekarang, pemenang Pilpres 2019 belum diketahui secara resmi, meskipun Jokowi-Ma'ruf dinyatakan sebagai pemenangnya menurut hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei.

Suara dua partai baru pendukung Jokowi (Perindo, PSI) dan tiga partai lama (Hanura, PBB, PKPI) diprediksi hitung cepat tak melebihi ambang batas parlemen. Dengan kata lain, partai-partai ini tidak dapat mengirimkan wakilnya di DPR. Suara partai pengusung Jokowi lainnya relatif tidak berbeda dengan hasil Pemilu 2014. Konstelasi partai ini tentu mempengaruhi keputusan Jokowi dalam merancang kabinetnya nanti.

Sementara itu, pembagian jatah menteri kepada partai tengah hangat dibahas. Juru bicara Presiden, Johan Budi, memberi sinyal akan ada perombakan kabinet setelah Idul Fitri tahun ini.

Sekarang hingga masa penetapan perolehan suara Pemilu 2019 hasil penyelesaian sengketa yang sedianya digelar sekitar Juni-Juli nanti memberikan waktu yang cukup panjang bagi oposisi, pendukung Jokowi, dan Jokowi sendiri untuk bernegosiasi. Melihat permainan-politik victory dan reciprocity yang dilancarkan presiden-presiden Indonesia, tidak mustahil Demokrat, PAN, PKS, dan bahkan Gerindra bersalin menjadi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Selalu ada jatah menteri bagi oposisi yang "bertobat".

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf